tirto.id - Mohamad Utama, seorang dosen di kota Yogyakarta, telah lama berjuang melawan kelebihan berat badan. Sejak tahun 2015 hingga 2020, berat badannya telah naik dari 84 kilogram hingga 98 kilogram. Pola makan yang kurang sehat dan kurangnya aktivitas fisik ditengarai jadi sebabnya.
Kenaikan berat badannya diikuti tingkat asam urat dan kolesterol yang tinggi. Ia sering merasa jantungnya berdebar dengan kencang dan merasakan pegal-pegal di bagian leher. Ia pun merasa cepat lelah saat berjalan menaiki tangga.
Kini, ia berhasil menurunkan berat badannya menjadi 88 kilogram dengan melakukan diet dan memakan produk segar.
“Ya memang intinya, menjaga kesehatan di waktu muda untuk hari tua yang lebih baik, jadi hari tuanya pun tidak sakit-sakitan,” ujar Utama pada Tirto (22/3/2021).
Masalah gizi yang dihadapi Utama bukanlah suatu hal yang langka. Di sisi ekstrim yang berseberangan, hampir seluruh penduduk (95,5 persen) berusia di atas 5 tahun tidak memenuhi porsi konsumsi buah dan sayur harian yang dianjurkan oleh World Health Organization (WHO) dalam seminggu, menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2018. Menurut riset tersebut, konsumsi penduduk dikategorikan kurang apabila mereka mengonsumsi kurang dari 5 porsi sayur dan/atau buah per hari, atau setara 250 gram sayur dan 150 gram buah.
Ini terlihat pula di alokasi jumlah Pengeluaran penduduk Indonesia untuk makanan dan minuman jadi (processed food) lebih tinggi sekitar 3 kali lipat daripada padi-padian per Maret 2020, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Pengeluaran ini juga lebih tinggi sekitar 4 kali lipat daripada sayur-sayuran ataupun ikan, udang cumi, dan kerang.
Padahal, pembekalan nutrisi kepada generasi penerus menjadi genting mengingat Indonesia sedang mengalami masa bonus demografi, ketika jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) jauh lebih besar dibanding jumlah penduduk usia tidak produktif.
Generasi Z, atau sebutan untuk penduduk kelahiran tahun 1997 hingga 2012, mendominasi jumlah penduduk pada 2020 dengan 74,93 juta atau lebih dari seperempat total penduduk 270,20 juta jiwa, berdasarkan sensus penduduk BPS per September 2020.
Di sisi lain, generasi yang lebih muda, atau kelahiran 2013 ke atas, yang disebut oleh BPS sebagai Post-Generasi Z, juga mengikuti dengan jumlah 29,17 juta jiwa di tahun 2020.
Menimbang pola makan masyarakat Indonesia yang kurang sehat, bagaimana sebenarnya kondisi permasalahan gizi di Indonesia saat ini, dan apa dampaknya terhadap masa depan sumber daya manusia (SDM)? Lalu, apa upaya yang sedang digodok berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan masalah ini?
Beban Rangkap Tiga
Indonesia saat ini menghadapi tiga beban masalah gizi sekaligus atau triple burden, menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Beban ini terdiri dari permasalahan gizi kurang seperti stunting dan kurus (wasting); gizi lebih seperti kegemukan (obesitas); serta kekurangan zat gizi mikro seperti anemia. Stunting sendiri adalah kondisi gangguan pertumbuhan pada anak, yang terlihat dari tinggi badan yang di bawah standar, akibat masalah kurang gizi kronis.
Secara garis besar, untuk masalah gizi seperti stunting, Indonesia masih tertinggal dibanding negara-negara di Asia Tenggara, meskipun perbaikan mulai terlihat. Prevalensi stunting pada balita di Indonesia menurun dari 36,8 persen pada 2007 menjadi 27,7 persen pada 2019, menurut Riskesdas dan Studi Status Gizi Balita di Indonesia yang dibuat oleh Kemenkes. Prevalensi kekurangan gizi (underweight) dan wasting pun mengalami penurunan.
Namun, angka ini masih lebih tinggi dari prevalensi stunting di Asia Tenggara tahun 2019 sebesar 25 persen, menurut studi gabungan UNICEF, WHO dan World Bank. Angka prevalensi stunting saat ini juga masih jauh dari target pemerintah untuk mencapai 14 persen pada tahun 2024.
Kemenkes juga mencatat, prevalensi kegemukan pada anak balita menurun dari 14 persen pada tahun 2010 menjadi 8,04 persen pada tahun 2018.
Akan tetapi, prevalensi obesitas di atas 18 tahun justru terus beranjak naik dari 10,5 persen pada tahun 2007 menjadi 21,8 persen pada 2018.
Proporsi anemia pada ibu hamil meningkat pula dari 37,1 persen pada tahun 2013 menjadi 48,9 persen pada 2018, menurut Riskesdas. Artinya, hampir setengah dari seluruh ibu hamil di Indonesia menderita anemia dua tahun yang lalu.
Menurut Ketua Perhimpunan Pakar Gizi dan Pangan Indonesia (PERGIZI PANGAN) Hardinsyah, kondisi geografis yang luas dan jumlah penduduk besar memperlambat perbaikan gizi di Indonesia jika dibandingkan negara lain.
Masalah tata kelola di berbagai level pemerintahan serta kesenjangan logistik dan akses transportasi di berbagai provinsi juga menghambat penanganan masalah gizi, lanjutnya.
Ia menyoroti kurangnya ahli gizi di desa, penyalahgunaan dana maupun pemberian bantuan yang tidak tepat sasaran sebagai beberapa contoh permasalahan di lapangan.
"Kadang-kadang kita lihat, pada waktu pembagian beras miskin, oleh kepala desa dibagi rata karena takut di demo misalnya. Itu kan nggak bener juga, harusnya kepada yang membutuhkan menjadi dibagi rata," cerita Hardinsyah.
Pandemi juga memperburuk kondisi ini. Menurut laporan BPS, situasi pandemi dinilai mempersulit rumah tangga untuk mengakses pangan sehat dan bergizi yang terjangkau. Pandemi COVID-19 yang terus tereskalasi bahkan berdampak pada risiko terhadap pencapaian agenda pembangunan berkelanjutan (SDGs) zero hunger tahun 2030, menurut laporan tersebut, mengutip prediksi Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Lebih lanjut, Dosen Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bandung (IPB) Sri Anna Marliyati menyatakan bahwa masalah gizi memang terjadi juga selama pandemi.
“Dan bahkan kelompok yang rentan seperti balita dan ibu hamil semakin berisiko [mengalami masalah gizi] karena keterbatasan pangan dalam keluarga karena daya beli yang menurun,” jelas Sri dalam konferensi daring (26/2/2021).
Kualitas SDM?
Sri menjelaskan, gizi buruk dalam jangka pendek dapat mengganggu perkembangan otak, pertumbuhan fisik, dan metabolisme tubuh. Dalam jangka panjang, kendala gizi dapat menurunkan kekebalan tubuh, meningkatkan risiko penyakit degeneratif seperti diabetes dan stroke serta menurunkan kemampuan kognitif.
Untuk stunting, kerugiannya dapat meluas. “Stunting ini bisa mengakibatkan kualitas SDM yang rendah karena tentu saja kecerdasan anak juga akan lebih rendah. Dan kemudian kedepannya [...] akan mengakibatkan kerugian ekonomi,” kata Sri.
Masalah gizi juga dapat mendorong adanya siklus stunting yang berkepanjangan. Dokter Spesialis Gizi Klinik Diana Sunardi melalui konferensi (1/2/2021) menjelaskan, gizi buruk pada remaja putri dapat mengganggu kehamilannya saat dewasa. Akibatnya, bayinya pun akan kurang berat badan dan berisiko mengalami stunting saat balita jika asupan gizinya tetap buruk.
Produktivitas yang turun akibat masalah gizi ini pun dapat menghambat rencana Presiden Joko Widodo untuk membangun sumber daya manusia (SDM) yang unggul. Saat ini, beberapa provinsi seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua masih memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang relatif rendah.
Sementara itu, Hardinsyah dari PERGIZI PANGAN juga mengatakan bahwa masalah gizi penting diselesaikan untuk menunjang daya saing Indonesia.
Melansir laporan berjudul “Global Competitiveness Report 2019” yang dirilis World Economic Forum (WEF), peringkat daya saing Indonesia turun sebanyak lima peringkat dan tertinggal dari Singapura, Malaysia dan Thailand.
“Kalau masalah gizi itu banyak, itu indikasi sederhana bahwa kita nanti akan punya sumber daya manusia yang tidak mampu bersaing untuk memajukan Indonesia,” tegas Hardinsyah.
Upaya Perbaikan Gizi?
Pemerintah saat ini mengedukasi tentang nutrisi melalui kampanye seperti Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas). Kampanye ini menyerukan aktivitas fisik, perbaikan kesehatan lingkungan, penguatan edukasi kesehatan, konsumsi makanan bergizi dan deteksi dini penyakit sebagai beberapa pesan kuncinya.
“Bagaimana kita menengahi antara hidden hunger (kelaparan tersembunyi) ke overnutrition (kelebihan gizi), itu dengan cara meningkatkan pendidikan konsumsi makanan bergizi yang lebih baik,” jelas Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan Dhian Dipo dalam diskusi daring (14/10/2020).
Pemerintah juga mendukung pemenuhan mikronutrien dengan memperkaya nutrisi beberapa jenis makanan sejak 1994, ucap Dhian. Yang terbaru, Perum Bulog pada 20 September 2019 meluncurkan nasi dengan kandungan nutrisi lebih tinggi untuk mencegah kurang gizi pada anak, termasuk bagi keluarga penerima bantuan pangan.
Saat ini, pemerintah sedang fokus pada 10 provinsi yang memiliki angka prevalensi stunting tertinggi, ujar Dhian dalam sebuah diskusi daring (26/2/2021). Provinsi ini terdiri dari Sumatera Utara, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Timur dan beberapa provinsi lainnya. Secara umum, pemerintah juga memberikan bantuan sosial dan bantuan pangan untuk membantu keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangannya.
Namun, Indonesia masih memiliki ruang untuk perbaikan. Peneliti SMERU Research Institute Sirojuddin Arif dalam konferensi daring (14/10/2020) menilai bahwa pemerintah perlu memperluas fokus kebijakan untuk mengatasi tidak hanya stunting tetapi juga masalah gizi lain.
Ia juga menyarankan adanya lembaga pemerintahan yang mengkoordinasikan kebijakan ketahanan pangan dan nutrisi. Ia menilai, Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2017 tentang Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi belum merincikan bagaimana pemerintah dapat memperkuat nutrisi dan pangan dalam suatu sistem terpadu.
"Penting bagi pemerintah untuk mengembangkan apa yang kami sebut sebagai sistem pangan yang terdiversifikasi, tangguh, dan peka nutrisi, sehingga beragam makanan dapat tersedia dengan harga yang terjangkau untuk semua segmen populasi,” katanya.
Editor: Farida Susanty