tirto.id - Masa depan dan nasib para pekerja di seluruh Indonesia semakin berada di ujung tanduk. Negara telah mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja dan berdasarkan proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS), di saat bersamaan, Indonesia telah memasuki fase bonus demografi yang berarti angkatan kerja produktif akan melimpah.
Presiden Jokowi berulang kali menyatakan bahwa bonus demografi ibarat pedang bermata dua bagi Indonesia. Karenanya, Jokowi selalu menggarisbawahi pembangunan sumber daya manusia sebagai kunci dalam menghadapi lonjakan jumlah angkatan kerja produktif.
Berbagai kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan SDM dan ketenagakerjaan telah dirumuskan selama periode pertama pemerintahan Jokowi. Sayangnya, tidak sedikit kebijakan yang justru menyusahkan para pekerja. Puncaknya terjadi saat pemerintah dan DPR menyepakati Undang-Undang Cipta Kerja yang dianggap sebagai senjata pamungkas dalam mengatasi persoalan tenaga kerja.
Jika menilik kembali Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, kita akan menemukan bagaimana rezim Jokowi sejak awal berkuasa sudah keblinger menetapkan kebijakan strategis dalam menghadapi bonus demografi. Kita juga bisa melihat asumsi fleksibilitas pasar tenaga kerja yang diagung-agungkan, justru hanya berguna secara teoretis.
Semangat Fleksibilitas dalam RPJMN 2015-2019
Dalam buku I RPJMN 2015-2019 tentang agenda pembangunan nasional, pemerintahan Jokowi menetapkan bonus demografi sebagai bagian dari lingkungan strategis yang harus dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan.
Badan Pusat Statistik (BPS), dalam laporan Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035, menyebut bonus demografi akan dimulai pada 2020 dan mencapai titik rendahnya pada 2028 sampai 2030, ketika 100 penduduk usia produktif akan menanggung sekitar 46-47 penduduk usia non produktif.
Sementara hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015-2045 menunjukkan rasio ketergantungan pada 2020 sebesar 45,4 dan mencapai titik terendahnya pada tahun 2029 dengan rasio ketergantungan sebesar 46,7.
Pemerintahan Jokowi menyambut fase bonus demografi ini dengan menetapkan beberapa kebijakan strategis dalam bidang pembangunan ekonomi dan tenaga kerja. Di antaranya meningkatkan fleksibilitas pasar tenaga kerja dan memperluas lapangan kerja. Namun kebijakan ini banyak ditentang karena dianggap merugikan para pekerja.
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, misalnya, menjadi salah satu kebijakan yang paling diprotes keras oleh para pekerja. Demontrasi besar-besaran pun terjadi setelah disahkannya regulasi ini.
Para pekerja menilai regulasi ini merupakan salah satu bentuk politik upah murah yang memperkecil daya tawar mereka, meskipun tetap mempertimbangkan rekomendasi dari dewan pengupahan. Namun, adanya formula penghitungan upah minimum yang ditetapkan berdasarkan tingkat inflasi membuat kenaikan upah akan sangat kecil. Sehingga regulasi ini dianggap hanya menguntungkan perusahaan.
Jika melihat kembali RPJMN 2015-2019, pengesahan peraturan pemerintah ini tentunya tidak mengherankan mengingat asumsi pemerintah bahwa pasar tenaga kerja yang fleksibel akan menggenjot investasi serta memperbaiki peringkat Indonesia dalam laporan daya saing global (The Global Competitiveness Report) yang diterbitkan setiap tahun oleh World Economic Forum (WEF).
Salah satu indikator yang diperhitungkan dalam laporan ini adalah seberapa fleksibel penentuan upah. Artinya, penentuan upah harus disesuaikan dengan kondisi perekonomian. Jika ada regulasi yang mengekang perubahan upah, maka itu akan mempengaruhi penilaian dalam laporan tersebut.
Dihantam Regulasi
Iyanatul Islam dalam jurnal Beyond Labour Market Flexibility: Issues and Options for Post-Crisis Indonesia, memaparkan keunggulan pasar tenaga kerja fleksibel adalah para pencari kerja memiliki keleluasaan untuk memilih pekerjaan yang upahnya sesuai dengan kebutuhan mereka. Sementara pemberi kerja juga bebas memilih pekerja yang sedang dibutuhkan. Dengan demikian, kedua pihak akan saling mengisi kebutuhannya satu sama lain.
Di atas kertas, pemberi kerja akan lebih leluasa memberhentikan dan merekrut tenaga kerja baru, sedangkan pencari kerja pun tidak akan bingung karena akan selalu ada pemberi kerja yang membutuhkan dan menawarkan pendapatan yang lebih baik.
Padahal Indonesia memiliki kelebihan populasi yang tidak terserap ke dalam lapangan kerja. Alih-alih mendapat kebebasan memilik pekerjaan sesuai kehendaknya, para pengangguran ini justru difungsikan oleh pasar tenaga kerja sebagai bagian dari populasi yang dapat menekan kenaikan upah.
Pengangguran sangat butuh pekerjaan, bahkan tidak sedikit yang rela bekerja di posisi yang tidak sesuai dengan tingkat pendidikannya. Sehingga asumsi para pekerja kontrak, alihdaya, dan pencari kerja dapat berganti-ganti pekerjaan jadi terbantahkan.
Meminjam pembagian kategori yang dilakukan oleh Muhtar Habibi dalam bukunya Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran, para pekerja ini masuk ke dalam kategori mengambang (floating) yang berarti mereka dapat direkrut sewaktu-waktu jika dibutuhkan, tapi dapat disingkirkan begitu saja ketika tidak dibutuhkan.
Dengan disahkannya Undang-Undang Cipta kerja, nasib para pekerja dan pencari kerja ini semakin terombang-ambing. Misalnya dalam ketentuan soal Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Dalam Undang-Undang 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, PKWT awalnya dibatasi jangka waktunya selama 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun. Sementara dalam UU Cipta Kerja pasal tersebut dirubah dan jangka waktu perjanjian kerja diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Permasalahan lainnya, UU Cipta Kerja menghapus pasal 65 UU 13/2003 yang melarang kegiatan yang berkaitan langsung dengan proses produksi dikerjakan oleh pekerja dari perusahaan alih daya. Sehingga bukan tidak mungkin pabrik-pabrik nantinya akan menggunakan jasa para pekerja kerah biru ini dengan sistem outsourcing yang secara hitung-hitungan finansial lebih murah dibandingkan mempekerjakan dengan status kontrak.
Legitimasi bagi Sistem Kontrak dan Outsourcing
Dalam kertas posisi berjudul Fleksibilitas Pasar Kerja dan Tanggung Jawab Negara (PDF), Hari Nugroho dan Indrasari Tjandraningsih menyatakan jika konsep keamanan lapangan kerja (Employment Security) lebih diutamakan dibanding keamanan kerja (Job Security). Ini karena adanya asumsi bahwa berpindahnya pekerja dalam waktu yang singkat akan terus membuka peluang kesempatan kerja bagi para pencari kerja lainnya.Asumsi dari fleksibilitas pasar kerja pada akhirnya menjadi legitimasi bagi sistem kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan outsourcing.
Sayangnya, fleksibilitas pasar tenaga kerja yang juga meliputi fleksibilitas penentuan upah tidak seindah di atas kertas. Sepanjang periode pertama kepemimpinan Jokowi, secara statistik penurunan jumlah pengangguran terbuka belum begitu signifikan. Dalam laporan keadaaan angkatan kerja Indonesia pada Agustus 2015, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia berada di angka 6,16 persen atau sekitar 7,56 juta orang.
Setiap tahunnya angka TPT ini fluktuatif. Pada Agustus 2019 atau akhir masa periode pertama Jokowi, BPS mencatat masih ada 7,05 juta orang pengangguran terbuka. Sementara dalam bahan tayang siaran pers BPS saat merilis laporan keadaan angkatan kerja Agustus 2020, BPS menyebut angka yang sedikit berbeda yaitu TPT Agustus 2019 sebesar 5,23 persen atau 7,10 juta orang.
Dari total 7,05 juta orang pengangguran terbuka, kelompok umur 20-24 tahun berkontribusi paling banyak dengan jumlah sebesar 2.356.810 orang. Sementara untuk tingkat pendidikan, tamatan sekolah menengah umum dan sekolah menengah kejuruan mendominasi pengangguran terbuka dengan masing-masing berjumlah 740.750 orang dan 666.309 orang
Dengan kondisi ketenagakerjaan seperti ini, sulit rasanya membayangkan bagaimana fleksibilitas pasar tenaga kerja bisa jadi sehebat teori yang mendasarinya.
Editor: Nuran Wibisono