tirto.id - Ini kabar baik, tapi sekaligus bisa menjadi kabar buruk. Indonesia akan mendapat Bonus Demografi, yakni jumlah penduduk berusia produktif mencapai 70 persen dan tak produktif 30 persen. Melimpahnya usia produktif ini bisa menjadi kabar baik karena akan membantu menggenjot pertumbuhan ekonomi. Kabar buruknya, jumlah usia yang produktif itu juga berpotensi meningkatkan jumlah pengangguran dan segudang permasalahannya. Ini jika pemerintah tidak bisa mempersiapkannya dengan baik.
“Bonus demografi ibarat pedang bemata dua. Satu sisi adalah berkah jika kita berhasil mengambil manfaatnya. Satu sisi lain adalah bencana apabila kualitas manusia Indonesia tidak disiapkan dengan baik," kata Presiden Joko Widodo saat memperingati Hari Keluarga Nasional, pada Agustus tahun lalu.
Berdasarkan kalkulasi Badan Pusat Statistik (BPS), bonus demografi akan terjadi antara tahun 2020 hingga 2030. “Bonus demografi puncaknya pada tahun 2028-2030, di mana 100 orang produktif menanggung 44 orang non produktif,” kata Kepala BPS Suryamin kepada tirto.id, pada Jumat (15/7/2016).
Peta penduduk Indonesia saat ini bisa dilihat dari data “Proyeksi Penduduk Indonesia” yang disusun Bappenas dan BPS. Berdasarkan data tersebut, jumlah penduduk pada tahun 2015 tercatat 255,5 juta jiwa. Jumlah itu terdiri dari penduduk usia di bawah 15 tahun sekitar 69,9 juta jiwa (27,4 persen) dan penduduk yang berumur 65 tahun ke atas sekitar 13,7 juta jiwa (5,4 persen). Total usia tak produktif ini sebanyak 32,8 persen. Sedangkan penduduk usia produktif yang berusia 15-64 tahun sekitar 171,9 juta jiwa (67,3 persen).
Begitu memasuki tahun 2020, persentasenya akan berubah dengan jumlah penduduk produktif 70 persen dan tak produktif 30 persen. Persentase akan semakin ideal begitu memasuki masa puncak antara tahun 2028-2030. Setelah itu, komposisi bakal mulai kembali menjauh dari persentase ideal. Oleh sebab itulah, bonus demografi hanya akan terjadi sekali dalam sejarah perjalanan sebuah bangsa.
Lalu apa yang dimaksud Suryamin dengan 100 orang produktif menanggung 44 orang tak produktif?
Terkait dengan analisa seputar bonus demografi, tak boleh diabaikan apa yang disebut dengan rasio ketergantungan (dependency ratio) atau perbandingan antara penduduk usia tak produktif dengan penduduk usia produktif. Nah, pada masa puncak bonus demografi, rasio ketergantungan diprediksi mencapai titik terendah yakni 44 orang tak produktif ditanggung oleh 100 orang usia produktif atau 44 persen.
Sebenarnya, angka rasio ketergantungan nasional terus menurun dan telah melewati ambang 50 persen pada tahun 2012. Persentase terbaik rasio ketergantungan di saat puncak bonus demografi memunculkan sebagai windows of opportunity.
Menurut Sri Moertiningsih Adioetomo, guru besar Ekonomi Kependudukan Universitas Indonesia, windows of opportunity merupakan puncak produktivitas, karena 44 anak atau lansia bakal ditanggung 100 pekerja. “Artinya, sebuah rumah dengan jumlah empat orang, sebanyak tiga bekerja dan satu yang ditanggung. Bandingkan tahun 1970, di mana satu orang bekerja untuk menanggung satu orang," kata Profesor Tuning, panggilan akrabnya, kepada tirto.id, pada Senin (27/6/2016).
Kita Belum Siap
Jumlah penduduk usia produktif hingga 70 persen pada saat puncak bonus demografi memang sangat menguntungkan dari sisi pembangunan. Tingginya jumlah usia produktif tentu saja bakal mendorong pertumbuhan ekonomi. “Sepertiga dari pertumbuhan ekonomi itu disumbang oleh bonus demografi,” kata Razali Ritonga, mantan Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS, seperti dilansir dalam bps.go.id.
Indonesia bahkan berpotensi mendapatkan keuntungan berupa naiknya produk domestik bruto (PDB). Hal itu sudah dirasakan oleh Korea Selatan dan Singapura yang sukses memanfaatkan bonus demografinya.
Berdasaran data United Nation Population Prospect, pada tahun 1960-2000, kontribusi bonus demografi terhadap pertumbuhan ekonomi Korea Selatan mencapai 13,2 persen dan pertumbuhan PDB mencapai 7,3 persen per tahun. Sedangkan Singapura, kontribusi bonus demografi terhadap pertumbuhan ekonominya mencapai 13,6 persen, serta pertumbuhan PDB mencapai 8,2 persen per tahun.
Namun, keuntungan bonus demografi itu bisa diperoleh dengan catatan sudah ada persiapan lapangan kerja, pendidikan yang layak, serta pelayanan kesehatan dan gizi yang memadai. Jika hal-hal itu tidak tersedia, akan muncul setumpuk persoalan. Sebut saja tingkat pengangguran yang tinggi, meningkatnya angka kriminalitas, serta meletusnya konflik sosial.
Kini, pertanyaan paling pentingnya, sudah siapkah Indonesia menghadapi bonus demografi?
Menurut Profesor Tuning, pemerintah tampaknya baru sadar bahwa windows of opportunity sudah di depan mata. “Pemerintah baru sadar. Kesadaran itu karena ada yang mengingatkan, seperti saat pengukuhan saya sebagai profesor soal bonus demografi. Jika tidak, mana ada (peduli)," katanya.
Tuning kemudian menunjukkan fakta, di dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025, hanya menyebut satu paragraf soal demografi. Hal itu mengindikasikan pemerintah tak memikirkan langkah-langkah yang diperlukan untuk menghadapi puncak bonus demografi.
Barulah pada era Presiden Joko Widodo, pemerintah memasukkan bonus demografi ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019. Termasuk menjabarkan kerangka pelaksanaannya.
Hal itu dibenarkan pihak Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). "Iya, baru disiapkan pada 2014. Sebelumnya proyeksi saja. Tidak ada terjemahannya mau buat apa (instansi terkait)," kata Ismet M Suhut, Humas Bappenas kepada tirto.id, di Jakarta, pada Jumat (15/7/2016).
Sejatinya, menurut Tuning, ada enam elemen yang harus disiapkan dan disinergikan agar Indonesia siap ketika memasuki masa windows of opportunity. Pertama, mencermati perubahan struktur penduduk. Kedua, menjaga kesehatan ibu dan anak, sejak ibu mengandung hingga anak berusia sekitar dua tahun. Ketiga, investasi di bidang pendidikan dengan keahlian dan kompetensi, guna meningkatkan kualitas tenaga kerja.
Keempat, kebijakan ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja. Kelima, good governance serta prosedur investasi yang sederhana. Terakhir, pertumbuhan ekonomi yang diindikasikan dengan jumlah produksi yang lebih besar daripada tingkat konsumsi.
“Enam elemen ini harus bersinergi secara bersama-sama. Sebenarnya, elemen ini seperti roda yang saling berhubungan. Mereka harus bergerak secara bersama. Jika salah satu roda macet, maka yang lain juga macet," katanya.
Sekarang mari kita lihat faktanya di bidang pendidikan. Pada tahun 2014, para pekerja di negeri ini ternyata persentase paling besar merupakan lulusan sekolah dasar yakni 47,1 persen. Diikuti lulusan SMA dan SMK sebanyak 25,4 persen, SMP sebesar 17,7 persen, serta diploma 2,6 persen. Sementara sarjana sebanyak 7,2 persen. “Saat ini, jumlah orang muda begitu banyak, tapi kebanyakan lulusan sekolah dasar dan bekerja di sektor informal," kata Tuning.
Dalam hal jumlah penduduk yang berpendidikan sarjana, Indonesia ternyata sangat jauh tertinggal dibading negeri jiran dan bahkan Korsel. Sebanyak 75 persen penduduk Malaysia berpendidikan sarjana, sedangkan Korsel hampir 90 persen. Adapun Indonesia, baru menargetkan memiliki 75 persen penduduk berpendidikan sarjana pada tahun 2051.
Padahal menurut Direktur Eksekutif The United Nations Population Fund (UNFPA) Babatunde Osotimehin, kualitas penduduk menjadi kunci keberhasilan Indonesia dalam memanfaatkan puncak bonus demografi. “Indonesia butuh investasi di edukasi formal dan vokasional, serta kesehatan," katanya.
Jadi kita tunggu saja, apakah pemerintah bakal benar-benar menyiapkan segala sesuatunya sebelum memasuki 2028-2030. Semoga pedang bermata dua itu membawa berkah bagi perekonomian Indonesia.
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti