Menuju konten utama

Beda Korsel, Amerika Latin, dan Soekarno

Korea Selatan sukses menyambut kedatangan masa puncak bonus demografi di negerinya. Sejak 30 tahun silam, mereka mengirim para pemudanya untuk belajar di negara-negara maju. Kini, mereka menikmati hasil dan menjadi salah satu kekuatan ekonomi di Asia dan bahkan dunia.

Beda Korsel, Amerika Latin, dan Soekarno
Iilustrasi [Antara Foto/Reuters/Brendan MC Dermid]

tirto.id - Korea Selatan mencatat sukses dalam menghadapi bonus demografi. Salah satu kiatnya adalah menginvestasikan pendidikan bagi anak-anak muda. Selain memperbanyak sekolah kejuruan, para pemuda juga dikirim untuk belajar ke berbagai negara, termasuk ke Amerika Serikat (AS).

"Korsel salah satu negara yang berhasil menghadapi bonus demografi. Mereka sudah sadar sejak tahun 1950. Buktinya, pemerintah mengirim anak mudanya ke AS untuk mengenyam pendidikan. Dan setelah lulus, mereka balik ke negaranya. Dengan kesadaran itu, akhirnya mereka memetik hasilnya sekarang," kata Sri Moertiningsih Adioetomo, Guru Besar Ekonomi Kependudukan Universitas Indonesia kepada tirto.id.

Berdasarkan kajian Kementerian PPN/Bappenas tentang "Mengantisipasi Peluang Bonus Demografi", disebutkan bahwa Korsel pada sekitar tahun 1950-1960, mengubah strategi pendidikannya dari compulsory primary education menjadi production oriented education yang fokus pada peningkatan pengetahuan dan keahlian guna mendukung program pembangunan ekonomi.

Negara gingseng pun kemudian menyiapkan berbagai sarana pendidikan kejuruan. Tujuannya, agar generasi mudanya menjadi pekerja yang terampil dan produktif. Ekonomi Korsel pun mulai menggeliat karena sektor industri mendapat suntikan SDM yang memiliki semangat belajar, terdidik dan terlatih. Belum lagi kebijakan mengirim para pemuda yang berpotensi untuk belajar ke luar negeri.

Hasilnya, Korsel menjadi salah satu negara di Asia yang mengalami peningkatan pendapatan per kapita tinggi. Berdasarkan data Bank Dunia pada 2014, pendapatan per kapita Korsel sebesar 24.565 dolar AS. Padahal di tahun 1970, angkanya hanya 284 dolar AS. Selama 44 tahun terjadi kenaikan sebesar 24.281 dolar AS. Bandingkan dengan Indonesia yang angkanya di tahun 1970 sebesar 150 dolar AS menjadi 3.492 dolar AS, atau bertambah hanya 3.342 dolar AS.

Tahun 1962 menjadi masa peralihan yang penting bagi Korsel. Saat itu, produk dosmetik bruto (PDB) rata-rata 2,7 miliar dolar US. Angka itu melonjak jadi 230 miliar dolar AS pada tahun 1989. Terobosan ekonomi yang dikenal dengan sebutan "Keajaiban di Sungai Han" berbuah kesuksesan bagi Korea.

Amerika Latin Gagal

Beberapa negara di Amerika Latin sebenarnya juga mengalami bonus demografi pada periode antara 1960 hingga 1990. Namun, mereka tidak menuai hasil seperti yang dicapai oleh negara-negara di Asia Timur seperti Korea Selatan atau Jepang. Di saat PDB per kapita Asia Timur meningkat rata-rata di atas 6,8 persen per tahunnya, negara-negara di Amerika Latin rata-rata hanya tumbuh 0,7 persen per tahunnya.

Para ekonom menganalisa, penyebab lambatnya pertumbuhan ekonomi di Amerika Latin --meski mengalami bonus demografi-- tak lain masih tertutupnya negara-negara di sana dari aktivitas perdagangan dunia. Mereka pun kehilangan peluang dalam memanfaatkan bonus demografi secara optimal. Hal itu berbeda dengan negara-negara di Asia Timur yang lebih membuka diri terhadap aktivitas perekonomian dunia.

Selain itu, negara–negara tersebut gagal memanfaatkan bonus demografi karena pemerintahnya tidak berhasil membuat sebuah kebijakan yang dapat mendukung penyediaan lapangan kerja, tidak berinvestasi untuk meningkatkan kualitas SDM, serta belakangan kesulitan mendapat investor.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Sebenarnya di awal terbentuknya negeri ini, Presiden Soekarno yang memiliki program Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) telah mengirim para pemuda berpotensi untuk sekolah di luar negeri. Mereka belajar ke negera-negara di Eropa, Uni Soviet, atau Amerika Serikat. Tujuannya, setelah lulus mereka akan kembali ke tanah air dan kita memiliki memiliki modal SDM yang andal untuk membangun negeri.

Para pemuda tadi belajar di berbagai bidang pengetahuan seperti mesin, fisika, nuklir, dan ekonomi. BJ Habibie merupakan salah satu ilmuwan yang lahir berkat kebijakan Presiden Soekarno ini.

Sayangnya, meletusnya peristiwa G-30-S/PKI mengubah peta politik di tanah air. Program pengiriman pelajar oleh Soekarno pun berantakan. Banyak pemuda yang kemudian takut atau tak berani kembali karena dicap sebagai antek Soekarno oleh rezim Orde Baru.

“Investasi sumber daya manusia di bidang pendidikan dan kesehatan memang tak bisa dirasakan secara langsung. Prosesnya lama hingga memetik hasil. Investasi baru dapat dirasakan setelah 30 tahun,” kata Toening.

Jika bonus demografi akan terjadi pada 2020, maka Indonesia seharusnya sudah bersiap sejak 1990-an. Kalau persiapannya baru dimulai pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo mulai 2014, rasanya investasinya akan terlambat. Tapi tentu saja, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Baca juga artikel terkait BONUS DEMOGRAFI atau tulisan lainnya dari Kukuh Bhimo Nugroho

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti