tirto.id - Satuan Tugas (satgas) Perumahan tengah menggodok opsi perpanjangan tenor kredit Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) hingga 40 tahun. Perpanjangan ini menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan daya beli masyarakat sekaligus mengurangi backlog perumahan.
Angka backlog perumahan Indonesia saat ini memang masih terbilang tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2023 angkanya mencapai 12,7 juta unit. Naik dari tahun 2022 yang saat itu berada di level 11 juta unit. Angka ini menunjukkan kebutuhan hunian yang layak dan terjangkau untuk masyarakat berpotensi meningkat jika tak dilakukan intervensi.
"Kalau kita perpanjang [tenor] 40 tahun itu terbukti bahwa cicilan bisa lebih murah," ujar Anggota Satgas Perumahan Presiden Prabowo Subianto, Bonny Z Minang, saat dihubungi Tirto, Kamis (31/10/2024).
Dengan biaya cicilan yang lebih murah, maka diharapkan akan terjadi permintaan yang tinggi. Pada gilirannya akan membantu pemerintah untuk mengurangi backlog perumahan.
"Tapi nanti keputusannya kita sedang kaji. Saya juga sedang rapat dengan Bank Indonesia (BI) dan pihak terkait," imbuhnya.
Meski masih dalam tahap kajian, rekomendasi opsi perpanjangan ini diklaim sudah sampai ke telinga Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP), Maruarar Sirait. Nantinya, opsi ini akan dilempar kepada publik untuk disosialisasikan terlebih dahulu sebelum dijalankan.
"Jika ini diterapkan, tentu menteri [PKP] untuk berdialog kepada ekosistem. Setiap kebijakan diturunkan harus disosialisasikan, sehingga setiap kebijakan diturunkan itu masyarakat akan suka," kata dia.
Pada prinsipnya, lanjut Bonny, kemudahan dan pemberian tenor panjang hingga 40 tahun itu sudah dipertimbangkan secara matang. Baik dari sisi perbankan selaku penyalur pembiayaan, hingga stakeholder lainnya termasuk para pengembang perumahan. Termasuk juga perihal masalah batas usia yang diperbolehkan.
"Jadi kami juga harus lihat dari sisi perbankan, kami juga harus lihat dari sisi usernya. Jadi makanya ini tidak langsung serta-merta harus dilakukan," ujarnya.
"Jadi pemerintah akan mencari jalan keluar mana yang paling baik semuanya win win solution," imbuhnya.
Untung Rugi Tenor KPR 40 Tahun
Peneliti Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS), Muhammad Anwar, melihat rencana perpanjangan tenor Kredit Pemilikan Rumah (KPR) hingga 40 tahun membawa perspektif dan konsekuensi. Terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang menjadi target program ini.
Jika melihatnya dari sudut pandang kebutuhan masyarakat akan akses kepemilikan rumah yang terjangkau, memperpanjang tenor kredit tentu saja sebagai langkah baik terutama bagi kelompok masyarakat menengah bawah. Karena dengan tenor yang lebih panjang, angsuran bulanan menjadi lebih kecil, sehingga banyak keluarga mungkin merasa beban keuangannya lebih ringan setiap bulan.
"Hal ini, secara sekilas, membuka kesempatan lebih luas bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk bisa mengakses KPR dan memiliki rumah," kata Anwar kepada Tirto, Kamis (31/10/2024).
Namun, meskipun perpanjangan tenor KPR ini mengurangi cicilan bulanan, langkah ini tidak terlepas dari kelemahan besar yang harus juga dipertimbangkan secara mendalam jika kebijakan ini diambil.
Pertama, dengan tenor hingga 40 tahun, akumulasi total bunga yang harus dibayar akan sangat besar. Ini pada akhirnya bisa berarti biaya total kepemilikan rumah menjadi jauh lebih mahal daripada tenor yang lebih singkat.
"Ini justru berisiko membuat masyarakat terjebak dalam jangka waktu pembayaran yang lama, di mana mereka pada akhirnya tetap membayar harga rumah yang jauh lebih tinggi dari nilai pasarnya saat ini," kata Anwar.
Anwar mengatakan bagi mereka yang berpenghasilan rendah dan harus mengatur keuangan untuk kebutuhan lain, ini bisa menjadi beban finansial yang signifikan. Terutama, jika ada kenaikan suku bunga di masa depan atau kondisi ekonomi yang tidak stabil.
Kedua, tenor kredit yang sangat panjang juga cenderung menghabiskan masa produktif debitur. Banyak dari mereka yang berpenghasilan rendah mungkin sudah memasuki usia 30-an atau bahkan 40-an saat mengambil kredit ini. Dengan tenor KPR 40 tahun, mereka berpotensi masih memiliki cicilan di usia senja, bahkan mungkin saat mereka tidak lagi memiliki pendapatan tetap.
Pertimbangan ketiga, jangka waktu cicilan yang terlalu lama dapat berisiko mengurangi kepastian atas status kepemilikan rumah bagi ahli waris atau generasi selanjutnya. Pasalnya, apabila debitur meninggal dunia sebelum menyelesaikan cicilan, keluarga yang ditinggalkan mungkin harus menanggung beban kredit yang masih tersisa.
"Atau, dalam kasus terburuk kehilangan hak atas rumah jika tidak mampu meneruskan pembayaran," kata Anwar.
Peneliti Next Policy, Dwi Raihan, menambahkan rencana perpanjangan tenor kredit FLPP hingga 40 tahun bukan solusi bagi backlog kepemilikan rumah MBR. Ini justru menjadi beban bagi masyarakat dari segi cicilan maupun jangka waktu.
Hal ini karena jika diakumulasi, tenor yang semakin lama memberatkan masyarakat termasuk beban biaya administrasi provisi maupun kenaikan biaya operasional.
"Jika MBR mengajukan KPR di usia 25 tahun, MBR baru memiliki rumah secara penuh pada usia 65 tahun. Artinya, masyarakat perlu menyisihkan sebagian uangnya selama usia produktif untuk membayar cicilan rumah,” jelas Raihan kepada Tirto, Kamis (31/10/2024).
Pemerintah Perlu Atur Harga Rumah Lebih Terjangkau
Alih-alih memperpanjang masa KPR 40 tahun, kata Raihan, lebih baik pemerintah mengatur harga rumah yang semakin tidak terjangkau. Di samping pemerintah juga perlu melakukan screening yang tepat bagi MBR. Mengingat tidak jarang fasilitas ini dinikmati oleh non MBR.
“Selain itu, pemerintah dapat memaksa perbankan untuk efisiensi seperti menurunkan margin maupun bunga KPR agar tidak terlalu besar bagi MBR,” ujar Raihan.
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengatakan selama tidak ada mekanisme kontrol harga rumah, mau tenor diperpanjang pun masih akan memberatkan penerima program. Karena, akar masalahnya pertumbuhan harga rumah saat ini lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pendapatan masyarakat.
"Harga rumah naik hingga 3 persen, pendapatan masyarakat naiknya hanya 1,8 persen, semakin tinggi gap antara harga rumah dengan pendapatan masyarakat,” ujar Huda kepada Tirto, Kamis (31/10/2024).
Saat ini pun, kata Huda, masyarakat berpendapatan Rp8-9 juta per bulan sudah kesulitan membeli rumah, sedangkan mereka tidak memenuhi syarat untuk FLPP. Sedangkan bagi yang di bawah Rp8 juta, memenuhi syarat mendapatkan fasilitas FLPP, namun harga rumah sudah terlampau sulit dijangkau.
Sementara bagi IDEAS jelas, meningkatkan porsi subsidi perumahan adalah salah satu solusi yang lebih efektif daripada memperpanjang tenor kredit. Keengganan pemerintah meningkatkan bantuan langsung atau subsidi bunga bagi masyarakat berpenghasilan rendah, bisa disiasati mengurangi beban finansial secara signifikan sehingga harga rumah yang harus dibayar oleh masyarakat menjadi lebih terjangkau.
"Misalnya, subsidi dapat diterapkan pada sebagian besar bunga KPR, sehingga angsuran tetap ringan tanpa harus memperpanjang waktu pembayaran," kata Anwar.
Solusi lain, bisa juga pemerintah mempertimbangkan opsi sewa-beli yang lebih fleksibel. Dalam skema ini, masyarakat memiliki kesempatan untuk menyewa rumah dalam jangka waktu tertentu dengan opsi untuk membelinya di akhir periode sewa.
"Dengan program ini, mereka dapat mengalokasikan dana yang lebih rendah di awal dan mempersiapkan diri untuk membeli properti ketika kondisi keuangan sudah lebih stabil," pungkas Anwar.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto