tirto.id - Sherly (27), karyawan swasta, masih menanti nasib permohonan Kredit Kepemilikan Apartemen (KPA) yang ia ajukan sejak Juni lalu. Hingga November, permohonan kredit untuk rumah di kawasan Bintaro masih menggantung lantaran bank mematok sederet syarat tambahan.
Sherly sebenarnya sudah menyetor uang muka sebesar 10% ke sebuah bank swasta. Tapi bank memintanya menambah lagi jumlah DP dengan alasan agar kemungkinan pengajuan KPA disetujui lebih besar. “Menurut dia (bank) DP kami kurang. Kalau mau tambah Rp6 jutaan lagi,” ucap Sherly kepada reporter Tirto, Selasa (17/11/2020) lalu.
Awalnya permohonan ia ajukan dalam skema single income atau penghasilan dari satu orang. Satu bulan kemudian, Juli, bank memberitahukan kalau permohonannya perlu disokong dengan syarat join income alias harus memperhitungkan penghasilan suami-istri. Bila syarat itu dipenuhi, bank mengatakan peluang permohonan kreditnya disetujui lebih besar. Masalahnya itu tak mudah. Sherly bilang, “soalnya gaji suami kena potong 35% sejak COVID-19.”
Di luar itu, bank juga berulang kali meminta salinan slip gaji tiap tiap bulan berikut rekening koran. Ada juga peringatan dari bank agar sementara waktu tidak menambah cicilan dari mana pun.
Sherly sempat terpikir untuk mengurungkan niatnya. Namun ia belum mau mundur karena kadung menyetorkan DP 10%.
Faid (30), warga Magelang, Jawa Tengah juga bernasib sama. Ia dan suami telah mengajukan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) jauh sebelum pandemi COVID-19 tetapi hingga November tak kunjung disetujui bank pelat merah. Kepada Tirto, Faid bilang, “persyaratan sudah lengkap tapi bank nunda-nunda terus akad kreditnya.”
Belakangan bank menghubungi Faid membawa kabar kreditnya disetujui, namun besarannya hanya 50% harga rumah dengan alasan ada instruksi dari kantor pusat untuk memperketat penyaluran kredit. Ditambah DP 30% yang sudah dibayarkan di awal permohonan kredit, Faid masih kekurangan 20%.
Faid menyayangkan keputusan tersebut lantaran dia sebenarnya mampu membayar kredit. Bank juga seharusnya mempermudah kredit bagi debitur yang masih aman secara finansial. Faid bilang, “sebagai konsumen kami dirugikan.”
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengatakan pandemi COVID-19 memang membuat bank lebih berhati-hati menyalurkan kredit dengan menambahkan sejumlah syarat. “Mereka (bank) melihat daya beli. Sekarang kredit tetap ada tapi selektif,” ucap Aviliani kepada reporter Tirto, dihubungi Senin (16/11/2020).
Per September, kredit masih mengalami pertumbuhan meski mendekati nol persen, yaitu 0,12%. Angka itu memburuk dari Agustus yang masih 1,04% yoy.
Perlambatan ini sedikit banyak terkait kemampuan membayar yang saat ini diperhatikan perbankan. Sebagai perbandingan, rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) sudah naik signifikan dari 2,5% di akhir Desember 2019 menjadi 3,15% per September 2020.
Jumlah Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) juga terus meningkat. CKPN merupakan cara bank menalangi kredit yang belum atau gagal dilunasi sehingga uang nasabah yang disimpan tak terganggu. CKPN biasa diambil dari kantong bank itu sendiri sehingga memiliki konsekuensi menggerus laba.
Data Statistik Perbankan Nasional milik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat CKPN bank umum swasta naik dari 2,93% di akhir 2019 ke 5,06% per Agustus 2020. Bank pelat merah juga sama. Angka CKPN mereka naik dari 3,58% di akhir 2019 ke 6,66% per Agustus 2020.
Bank skala buku IV (modal inti di atas Rp30 triliun) pun juga ikut mengerem. Bank Central Asia (BCA) misalnya, mencatatkan penurunan kredit tempat tinggal baru (new booking mortgage). Menurut laporan Q3 2020, angkanya turun dari Rp7,1 triliun di Desember 2019 menjadi Rp4,4 triliun (Q12020), Rp3,7 triliun (Q2 2020) dan Rp3,5 triliun (Q3 2020).
Sejalan dengan itu, komposisi NPL sektor konsumsi (kredit perumahan dan kendaraan) juga meningkat. Akhir 2019, kredit konsumer hanya menyumbang 21,5% dari total NPL tetapi naik menjadi 23,8% (Maret 2020), 29,9% (Juni 2020), dan 34,2% (September 2020).
Aviliani bilang bank saat ini lebih memilih konsumen dari kalangan pegawai tetap. Bahkan jika perlu hanya mereka yang termasuk kelas menengah-atas. Prospek tempat usaha pun juga ikut dihitung untuk memastikan debitur tidak sampai kehilangan penghasilan di tengah jalan.
Hal ini memang sedikit banyak menyulitkan konsumen lantaran banyak dari mereka 'turun kelas' status pekerjaan, belum lagi penghasilan. Data BPS mencatat per Agustus 2020 9,46 juta orang kehilangan pekerjaan penuh dan rata-rata upah menurun 5,18% menjadi hanya Rp2,76 juta per bulan.
Tren perlambatan kredit terutama KPR dan KPA pun masih akan terjadi sampai 2021, katanya. “Situasi ini tidak bisa dipaksakan khususnya untuk KPR,” ucap Aviliani. Mau tak mau penyaluran kredit harus menunggu ekonomi pulih. Dengan kata lain, segala bentuk intervensi seperti penjaminan kredit, penempatan dana pemerintah, dan subsidi bunga belum tentu akan efektif.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino