Menuju konten utama

Mimpi Punya Rumah Sendiri saat Daya Beli Turun & Pajak Melonjak

Rencana kenaikan PPN 12% yang akan mengerek pajak Kegiatan Membangun Rumah Sendiri menjadi 2,4% lagi-lagi membebani rakyat di tengah turunnya daya beli.

Mimpi Punya Rumah Sendiri saat Daya Beli Turun & Pajak Melonjak
warga bergotong-royong membangun rumah panggung di desa pattotongan, kecamatan mandai, maros, sulawesi selatan, selasa (11/8). budaya gotong royong dalam membangun rumah merupakan tradisi yang masih dilakoni oleh masyarakat setempat guna meringankan beban dan sebagai sikap kebersamaan sesama warga. antara foto/sahrul manda tikupadang/foc/15.

tirto.id - Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Kegiatan Membangun Rumah Sendiri (KMS) bakal mengalami kenaikan imbas naiknya tarif PPN menjadi 12 persen yang bakal diterapkan mulai 1 Januari 2025. Kenaikan tarif PPN ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan alias Undang-Undang (UU) HPP.

Kegiatan membangun rumah sendiri adalah kegiatan membuat bagunan yang dilakukan oleh orang pribadi, dan bangunan tersebut digunakan sendiri atau oleh pihak lain. Artinya, bangunan yang dihasilkan tidak digunakan untuk kegiatan usaha atau pekerjaan apapun.

Hitungan PPN atas membangun rumah sendiri didasarkan dari Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61/PMK.03/2022 tentang PPN atas KMS.

“Besaran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian 20% (dua puluh persen) dengan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan dasar pengenaan pajak,” tulis beleid tersebut, dikutip Tirto, Selasa (17/9/2024).

Artinya, dengan tarif PPN 11 persen yang berlaku saat ini, maka saat wajib pajak (WP) membangun rumah sendiri akan dikenakan PPN sebesar 2,2 persen (20 persen x tarif PPN 11 persen). Dus, jika per Januari nanti pemerintah mengerek PPN menjadi 12 persen, PPN atas KMS yang ditanggung WP akan menjadi 2,4 persen (20 persen x tarif PPN 12 persen).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Dwi Astuti, mengatakan untuk menghitung berapa PPN KMS yang harus dibayar, WP dapat menggunakan rumus tarif PPN x besaran tertentu (20%) x jumlah biaya untuk membangun. Total biaya pembangunan di sini tidak termasuk harga pembelian tanah.

Sebagai contoh, Tuan A mulai membangun rumah pribadinya yang memiliki luas bangunan 310 m2 pada November 2022. Dalam proses pembangunan rumah, Tuan A menghabiskan dana sebesar Rp250 juta untuk membeli tanah, Rp200 juta untuk membeli bahan baku bangunan, dan Rp80 juta untuk upah mandor dan buruh bangunan.

Perlu diingat, pada penghitungan PPN KMS, biaya yang dikeluarkan atas pembelian tanah dikecualikan, sehingga total biaya membangun rumah yang dikeluarkan Tuan A adalah sebesar Rp280 juta. Dengan begitu, PPN terutang atas kegiatan membangun rumah yang dilakukan Tuan A adalah sebesar Rp6,16 juta (tarif PPN 11 persen x 20 persen x Rp280 juta).

Mengutip klikpajak.id (https://klikpajak.id/blog/cara-hitung-lapor-tarif-ppn-atas-kegiatan-membangun-sendiri-kms/), setelah melakukan penghitungan PPN KMS, WP dapat menyetorkan pajaknya ke bank persepsi atau kantor pos, dengan pembayaran paling lambat hingga 15 bulan setelah rumah selesai dibangun.

“Sesuai dengan PMK-61/PMK.03/2022, PPN KMS dikenakan bagi kegiatan membangun bangunan baru maupun perluasan bangunan lama yang diperuntukkan bagi tempat tinggal atau kegiatan usaha, dan memiliki luas keseluruhan paling sedikit 200 meter2,” kata Dwi, saat dihubungi Tirto, Selasa (17/9/2024).

Sementara dalam hal renovasi, namun tidak menambah luas bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (4) PMK 61 Tahun 2022, tidak dikenakan PPN KMS.

Dwi menjelaskan, PPN KMS sebenarnya bukan jenis pajak baru, karena telah diberlakukan sejak 1995 berdasarkan Pasal 16C Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang PPN dan Pajak Pertambahan Nilai atas Barang Mewah (PPnBM).

“Kebijakan ini ditetapkan untuk memberi asas keadilan, agar kegiatan membangun yang dilakukan sendiri maupun melalui kontraktor/developer sama-sama dikenakan Pajak Pertambahan Nilai,” imbuhnya.

Ilustrasi Membangun Rumah

Ilustrasi Membangun Rumah. foto/IStockphoto

Pajak Naik, Daya Beli Turun

Baru mengetahui PPN KMS, Nurul Ika Prasetyaningrum merasa mimpinya untuk memiliki rumah sendiri makin jauh. Pasalnya, dengan profesinya sebagai guru honorer di SD Negeri Doplang, Purworejo, gaji yang tak lebih dari Rp1 juta per bulan tak sebanding dengan harga rumah di pasaran yang saat ini berada di kisaran Rp150-200 juta.

Pada mulanya, perempuan 24 tahun itu ingin membangun sendiri huniannya, berbekal petak tanah di Kecamatan Kaligesing dari orang tuanya. Jauh memang dari tempatnya kini bekerja, namun demi mimpinya, membangun rumah dengan biaya lebih murah rela dilakoninya.

“Ada tambahan dari ngelesin (menjadi guru les) anak-anak di sekitaran rumah orang tua, di Kaligesing juga. Lumayan lah sebulan tambah-tambah Rp500 ribuan. Tapi kalau nanti bangun rumah ada PPN [KMS] yang 2,4 persen, terus bahan bangunan juga kena pajak (PPN). Apa nggak tambah mahal, toh?” keluh Nurul saat dihubungi Tirto, Selasa (17/9/2024).

Jika memilih membeli rumah dengan Kredit Pemilikan Rumah (KPR), perempuan asli Kaligesing itu sudah takut terlebih dulu dengan bayangan kredit yang harus dibayarkannya kepada bank, setidaknya selama 20-25 tahun ke depan. Lebih penting dari itu, dia menganggap bunga KPR sebagai riba yang dilarang oleh agamanya.

“Kan, kalau ditotal njuk jatuhnya malah lebih mahal kayake kalau KPR daripada bangun rumah sendiri. Tapi kalau bangun rumah sendiri, kok mahal banget pajaknya juga,” katanya bingung.

Berbeda dengan Nurul, Eko Wahyudi (30) merasa lebih beruntung karena telah selesai membangun rumahnya sendiri. Selain telah berjanji dengan istrinya, membangun rumah sendiri juga menjadi pilihan karena jika dengan KPR membutuhkan waktu lama untuk melunasi kredit pembelian rumah.

“Aku bangun rumah sendiri di daerah Pondok Aren yang terbilang aksesnya bagus dan cukup strategis. Jadi bingung juga mahal mana sama KPR. Karena KPR masih ada yang Rp200-an juta, sedangkan aku bangun sendiri dengan tanah 98 meter, kalau dihitung sama lahannya, udah 3 kali KPR subsidi. Ada juga KPR yang mahal bisa Rp1 miliar lebih, jadi tergantung kawasan dan tipe rumahnya,” jelas pekerja media tersebut kepada Tirto, Selasa (17/9/2024).

Meski begitu, agar bisa membangun rumah sendiri, dia harus gotong-royong, patungan dengan sang istri. Sebab, dengan mengandalkan gaji yang hanya sedikit di atas UMR Jakarta atau bahkan dua kali UMR, akan sangat sulit memiliki hunian sendiri, baik dengan KPR maupun membangun rumah sendiri.

“Kalau secara kenaikan pajak nggak bakal mengubah pola pikir. Mungkin kalau dari aturan yang aku baca-baca, ketentuan yang kena luasan 200 meter up, orang mungkin bakal mikirnya mending aku bikin rumah di bawah itu biar gak kena [PPN KMS]. Kan tren rumah sekarang ringkas-ringkas dengan lahan terbatas. Nggak terbeli dengan gaji dua kali UMR pun [di kota],” imbuh Eko.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Bidang Informasi dan Telekomunikasi Digital DPP REI, Bambang Eka Jaya, menilai kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen yang kemudian mengerek PPN KMS menjadi 2,4 persen jelas akan menyebabkan harga rumah naik. Sebab, PPN 12 persen berlaku untuk semua barang, termasuk bahan bangunan dan semua kaitannya dalam membangun, termasuk upah tenaga kerja.

“Multiplier efeknya biaya membangun naik, harga rumah naik dan dikenakan PPN 2,4 persen,” katanya kepada Tirto melalui aplikasi perpesanan, Selasa (17/9/2024).

Dengan peningkatan harga rumah dan bahan bangunan, dia khawatir, daya beli masyarakat, khususnya golongan kelas menengah ke bawah yang saat ini sedang turun akan semakin melemah. Pada gilirannya, kondisi ini akan merambat pula ke pasar properti.

Pada golongan masyarakat kelas atas, minat untuk membeli properti akan tetap tumbuh meski PPN naik menjadi 12 persen, pun dengan PPN KMS yang akan menjadi 2,4 persen. Sebab, selain untuk hunian, masyarakat kelas menengah ke atas membeli properti untuk usaha ataupun investasi.

“Hanya golongan menengah yang sedikit ke atas yang akan lebih berpikir untuk membeli atau membangun properti yang sampai dengan Rp2 miliar. Karena selain kena PPN 12 persen dan 2,4 persen (PPN KMS), daya belinya juga menurun karena semua barang yang kena PPN akan naik,” sambungnya.

CAPAIAN PROGRAM SATU JUTA RUMAH

Pekerja membangun rumah bersubsidi program satu juta rumah di Desa Sambirejo, Kediri, Jawa Timur, Jumat (19/10/2018). ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/foc.

Dihubungi terpisah, CEO Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghanda, mengungkapkan, dengan membangun rumah sendiri, artinya masyarakat bakal dikenakan pajak dobel: PPN saat membeli bahan bangunan dan PPN atas aktivitas membangun sendiri. Kondisi ini jelas bakal memberatkan masyarakat yang ingin memiliki hunian dengan membangun sendiri.

“Dampaknya pasti ada, tapi ini untuk luas 200 m2 jadi tidak terlalu masalah. Membeli dari developer pun sudah ada pajaknya. Dari kontraktor sudah kena pajak juga,” ujar Ali kepada Tirto, Selasa (17/9/2024).

Meski hanya terutang kepada bangunan dengan luas minimal 200 m2, dia keberatan dengan kebijakan ini, karena dapat menurunkan minat masyarakat dalam memiliki rumah pribadi. Dia mengungkapkan, sudah sejak lama dirinya menyatakan ketidaksetujuan atas kebijakan ini, namun tidak pernah sekalipun didengar pemerintah.

Menaikkan tarif PPN berikut PPN KMS memang diakuinya sebagai salah satu cara pemerintah untuk mengejar target penerimaan di tengah rendahnya rasio pajak Indonesia. Namun, di saat daya beli masyarakat sedang menurun, kenaikan PPN 12 persen menurutnya wajib untuk dikaji kembali, agar tidak semakin menekan daya beli masyarakat.

“Saya sudah kritik dari dulu tapi memang tidak terlalu diperhatikan karena pemerintah lagi mengejar pajak juga. Tapi rasio pajak rendah, dari semua yang bisa dikenakan pajak,” imbuhnya.

Alih-alih menaikkan besaran tarif pajak, pemerintah seharusnya bisa memikirkan cara agar bagaimana pasar properti bisa tumbuh lebih tinggi. Pemberian insentif PPN Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) sebesar 100 persen untuk sektor properti yang berlaku sejak September-Desember adalah salah satu yang bisa menggairahkan pasar properti di tahun depan.

Namun, insentif PPN DTP saja tak cukup untuk meningkatkan minat masyarakat untuk membeli atau membangun rumah. Apalagi, jika di tahun 2025 pula pemerintah mengerek tarif PPN menjadi 12 persen, sehingga menaikkan pula PPN KMS menjadi 2,4 persen sebagai konsekuensinya.

“Perlu di ramu kembali [insentif PPN DTP 100 persen] karena PPN DTP yang sekarang hanya untuk rumah ready stock. Juga insentif KPR [perlu dipertimbangkan], misal untuk Gen Z, ada subsidi bunga KPR-nya dengan syarat dan ketentuan yang reasonable,” tegas Wakil Ketua Umum Bidang Informasi dan Telekomunikasi Digital DPP REI, Bambang Eka Jaya.

Sementara itu, Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo menyebutkan, kenaikan PPN menjadi 12 persen di tahun 2025 masih belum final. Dengan demikian, PPN KMS yang dinarasikan bakal naik menjadi 2,4 persen juga belum tentu akan terealisasi.

Menurutnya, apakah kebijakan ini akan diimplementasikan atau tidak sangat bergantung pada keputusan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Periode 2024-2029, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

“Jadi kita serahkan ke kebijakan pemerintahan mendatang saja. Saya yakin semua variabel akan dipertimbangkan dengan baik. Maka narasi [tarif PPN dan PPN KMS] akan naik itu menurut saya opsional,” kata Yustinus kepada Tirto, Selasa (17/9/2024).

Baca juga artikel terkait PAJAK RUMAH atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Irfan Teguh Pribadi