Menuju konten utama

Pajak Rumah Mewah Dipangkas, Investor Properti yang Untung

Pemerintah berencana melonggarkan kebijakan PPnBM untuk rumah mewah dalam rentang Rp5-30 miliar. Seberapa besar dampak kebijakan ini?

Pajak Rumah Mewah Dipangkas, Investor Properti yang Untung
Sebuah rumah disewakan disekitar perumahan Kemang Selatan. Kawasan pemukiman Kemang Selatan banyak dihuni para ekspatriat yang bekerja di Indonesia. tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Jelang akhir tahun, biasanya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertujuan mengamankan target penerimaan pajak dengan menyasar wajib pajak. Namun, di penghujung 2018, pemerintah justru akan mengobral insentif pajak khususnya di sektor properti. Insentif yang diberikan tidak langsung terasa dampaknya kepada dunia usaha, tapi akan berdampak kepada pembeli, tepatnya orang kaya atau investor properti.

“Kami berharap sektor konstruksi akan menjadi meningkat dari segi kegiatan usahanya,” kata Sri Mulyani, Menteri Keuangan dikutip dari laman Sekretariat Kabinet pada 21 November 2018.

Insentif pajak yang diberikan kepada sektor properti adalah untuk rumah mewah. Ada dua insentif yang diberikan untuk rumah mewah ini, yakni insentif dari pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) dan pajak penghasilan pasal 22.

Untuk PPnBM, insentif yang diberikan pemerintah berupa dinaikkannya batas harga rumah yang terkena pajak, dari sebelumnya Rp20 miliar menjadi Rp30 miliar. Tarif PPnBM untuk rumah mewah sebesar 20 persen. Sementara itu, untuk Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22, insentif yang diberikan terhadap rumah mewah adalah diturunkannya besaran pungutan oleh pengembang menjadi hanya 1 persen dari sebelumnya 5 persen.

Berbeda dengan PPnBM, batas minimal untuk PPh pasal 22 adalah rumah seharga lebih dari Rp5 miliar atau luas bangunan lebih dari 400 meter persegi. Aturan itu tertuang di dalam PMK No. 90/2015 tentang WP badan Tentang Wajib Pajak Badan Tertentu Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Dari Pembeli Atas Penjualan Barang Yang Tergolong Sangat Mewah.

“Kami sambut positif rencana pemerintah ini. Tentunya, kami harap bisa menggerakkan lagi industri properti yang tiga tahun terakhir ini berjalan stagnan,” kata Sekretaris Jenderal Real Estate Indonesia (REI) Totok Lusida kepada Tirto.

Seberapa besar dampak insentif itu bila sudah berlaku? Apalagi segmen rumah dalam rentang harga semacam ini identik dengan rumah untuk investasi.

Mari berhitung, misalnya investor "A" berencana membeli rumah seharga Rp20 miliar di Jakarta Selatan. Saat sebelum insentif pajak berlaku, rumah yang akan dibeli oleh Investor A kena PPN 10 persen dan PPnBM 20 persen.

Untuk PPN, rumus perhitungannya adalah PPN = 10 persen x (harga rumah – PPnBM) atau PPN = 10 persen x (Rp20 miliar – (Rp20 miliar x 20 persen). Dari rumus ini, Investor A wajib membayar PPN sebesar Rp1,6 miliar dan PPnBM sebesar Rp4 miliar.

Selain PPN dan PPnBM, Investor A juga wajib membayar PPh pasal 22 dimana dipungut oleh pengembang. Rumusnya adalah PPh Pasal 22 = 5 persen x Rp20 miliar. Dari rumus itu, maka PPh pasal 22 yang wajib dibayar sebesar Rp1 miliar.

Artinya, total kocek yang harus dikeluarkan Investor A untuk mendapatkan rumah seharga Rp20 miliar itu mencapai Rp26,6 miliar. Jumlah ini belum memasukkan pajak lainnya seperti Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Nah, jika insentif pajak sudah berlaku, Investor A hanya berkewajiban untuk membayar PPN saja karena batas minimum untuk PPnBM rumah mewah sudah dinaikkan menjadi Rp30 miliar, bukan lagi Rp20 miliar. Selain itu, tarif PPh pasal 22 yang diturunkan menjadi 1 persen membuat kewajiban yang harus dibayar hanya Rp200 juta. Dengan demikian, Investor A hanya perlu mengeluarkan uang Rp22,2 miliar untuk mendapatkan rumah seharga Rp20 miliar. Bisa dibilang, dari insentif pajak itu, pembeli dapat diskon 16 persen.

“Selisih Rp4 miliar itu angka yang besar buat pemodal. Saya kira bisa menambah keyakinan pemodal untuk berinvestasi, di mana selama ini cenderung menahan,” kata Anton Sitorus, Head of Research Savills Indonesia kepada Tirto.

Namun, Anton pesimistis jika insentif semacam ini bisa menggerakkan industri properti hunian secara keseluruhan. Alasannya, dampak yang dirasakan hanya terbatas untuk kalangan tertentu saja, yakni orang kaya atau investor yang jumlahnya sangat terbatas.

Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), akun yang memiliki tabungan di atas Rp5 miliar per Agustus 2018 hanya 0,03 persen atau 91.293 akun dari total jumlah akun rekening sebanyak 263,99 juta di Indonesia.

Begitu juga jika membeli rumah mewah secara kredit (KPR). Menurut konsultan keuangan Oneshildt, idealnya nilai rumah yang ingin dibeli konsumen adalah seharga 3-4 kali dari nilai penghasilannya setahun.

Dengan kata lain, apabila konsumen ingin membeli rumah mewah seharga lebih dari Rp5 miliar, maka nilai penghasilannya harus mencapai di atas Rp1,25 miliar per tahun atau Rp104 juta per bulan.

Infografik Barang super Mewah

Tak Signifikan

Kebijakan insentif bisa menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak negatif yang potensial adalah tergerusnya penerimaan negara dari sektor pajak terutama bidang properti.

Potensi penerimaan tergerus akibat insentif tersebut diakui Direktorat Jenderal Pajak. Namun, menurut mereka, tergerusnya penerimaan pajak dari insentif properti tidak akan signifikan karena sumbangannya ke penerimaan negara terbilang kecil.

“PPnBM dari rumah mewah itu kecil. Paling banyak dari kendaraan bermotor,” tutur Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama kepada Tirto.

Dalam penelusuran Tirto, penerimaan pajak dari PPnBM memang terbilang kecil ketimbang PPh atau PPN. Dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2017, penerimaan pajak dari PPnBM hanya sekitar Rp17 triliun, atau 1,3 persen dari total penerimaan pajak sebesar Rp1.304 triliun.

Penerimaan pajak dari PPnBM cenderung menanjak sepanjang pemerintahan Jokowi. Pada 2015, penerimaan pajak dari PPnBM sekitar Rp13 triliun, lalu menanjak menjadi Rp16 triliun pada 2016. Penerimaan pajak dari PPnBM berpotensi tergerus, tak menutup kemungkinan insentif ini justru mendongkrak penerimaan pajak di tempat lain, dengan syarat permintaan rumah mewah ikut terdongkrak.

Apabila permintaan rumah mewah bisa terdongkrak dari insentif tersebut, maka sumbangan dari PPN atau PPh tentunya ikut meningkat. Sayangnya, Ditjen Pajak belum memiliki hitung-hitungan terkait dampak dari insentif itu.

“Sebenarnya, kalau dari dunia usaha, yang paling diinginkan dari perpajakan itu adalah dari sisi kenyamanan. Sekarang ini, orang susah investasi properti lantaran takut dikejar petugas pajak,” jelas Totok.

Namun, pada akhirnya yang menerima insentif ini adalah orang-orang berkantong tebal, terutama investor properti yang selama ini dianggap punya andil menggairahkan pasar dan sekaligus mengerek harga properti yang terus naik.

Baca juga artikel terkait PENERIMAAN PAJAK atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Bisnis
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra