tirto.id - Susu ikan mencuri perhatian setelah disebut bisa menjadi alternatif pemenuhan kebutuhan susu dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diinisiasi oleh presiden terpilih, Prabowo Subianto. Terbuat dari ekstraksi protein ikan laut, susu ikan hadir dalam bentuk minuman dengan tekstur mirip dengan susu sapi sebagai alternatif sumber protein yang potensial.
Namun, produk ini bukan susu yang benar-benar dihasilkan ikan. Susu ikan merupakan produk diversifikasi pangan. Ikan diproses melalui teknologi modern sehingga dapat menghasilkan Hidrolisat Protein Ikan (HPI). HPI kemudian diolah lebih lanjut sehingga menghasilkan produk minuman berprotein tinggi.
HPI ini dinilai menjadi upaya untuk membantu peningkatan asupan gizi harian masyarakat, terutama protein, yang saat ini masih tertinggal jauh dibanding negara-negara ASEAN. Terlebih, saat ini asupan gizi masyarakat Indonesia masih di bawah rata-rata, yakni 62,3 gram per kapita per hari. Sementara di negara maju, asupan gizi masyarakatnya telah melampaui 100 gram per kapita per hari.
“Ini adalah momentum yang bagus. Kami sekarang bergerak menyediakan protein. Berbagai macam jenis ikan pasti sudah mengandung protein. Kita konsumsi segar, kita konsumsi sebagai olahan, bisa konsumsi sebagai HPI,” kata Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP), Budi Sulistyo, kepada Tirto saat ditemui di Gedung Mina Bahari III, Kompleks KKP, Jakarta, Kamis (12/9/2024).
Alih-alih menyediakan protein, produk alternatif dan inovasi yang sudah dikembangkan sejak tahun lalu oleh PT Berikan Teknologi Indonesia, berpusat di Indramayu itu justru dipertanyakan oleh Ahli Gizi Masyarakat, Tan Shot Yen. Dia menyayangkan kenapa harus ada susu ikan dan bukan mendorong masyarakat untuk memakan ikan secara langsung.
“Kalau bisa makan ikannya kenapa mesti ada pabrik susu ikan?” kata Tan mempertanyakan kepada Tirto, Selasa (17/9/2024).
Menurut Tan, ikan merupakan salah satu makanan hewani yang bisa dikonsumsi tanpa harus diolah menjadi susu. Lagi pula, saat ikan hendak dibuat jadi susu, maka memerlukan pabrik untuk mengolahnya, yang bisa menambah pengeluaran negara.
“Kita butuh literasi dan edukasi. Bukan nambah industri, terapkan ekonomi sirkular, memakmurkan rakyat lokal. Bukan bikin cuan segelintir lingkaran elite,” ujar Tan.
Sebagai pembanding saja, harga produk susu ikan yang sudah menjadi kemasan dibanderol seharga Rp129 ribu (tanpa diskon) per kemasan dengan berat 350 gram dan total kalori sebesar 123 kkal. Maka, ketimbang membeli susu ikan dengan harga tersebut, lebih baik membeli ikan secara langsung.
“Harga segini dapat berapa kilogram ikan? Bisa dimakan seisi rumah,” imbuh dia.
Ketua Komite Advokasi Percepatan Penurunan Stunting, Kesehatan Ibu dan Anak, SDG’s Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Agussalim Bukhari, menilai mengonsumsi ikan segar jauh lebih baik daripada susu ikan. Karena ikan sendiri merupakan salah satu sumber protein terbaik, terutama ikan laut yang kaya akan omega-3, vitamin D, dan mineral penting seperti selenium dan iodine.
“Saya ini ahli gizi dan semua sekira orang mengatakan bahwa [ikan] yang segar itu tentunya lebih bagus dalam hal tentunya kandungan vitamin dan mineralnya masih utuh," kata Agussalim dalam diskusi media secara daring, Jumat (13/9/2024) lalu.
Kenapa Mesti Susu Ikan dan Bukan Konsumsi Ikan?
Sementara itu, Budi Sulistyo menjelaskan, alasan kenapa memilih produk alternatif susu ikan ketimbang mendorong masyarakat mengonsumsi ikan. Salah satunya karena pemerintah ingin memperluas ekstra protein yang ada pada kandungan ikan kepada masyarakat.
Jika dilihat dari kondisi ruang dan wilayah Indonesia, kata Budi, masyarakat itu sebenarnya bisa saja mengonsumsi langsung ikan segar atau ikan beku. Hal itu bisa memungkinkan kalau ada rantai dingin. Tapi masalahnya tidak semua wilayah itu ada tempat penyimpanan beku, atau tidak semua keluarga memiliki pendingin seperti freezer.
“Kami sebagai pemerintah harus memikirkan, kalau tidak ada itu, apa yang harus dilakukan?” ujar dia.
Selama ini, kata Budi, masyarakat sebenarnya sudah mengolah ikan jadi bakso atau sosis yang mana hampir 30 persen bahannya mengandung ikan. Maka susu ikan ini menjadi alternatif sumber protein ikan yang pemerintah coba tawarkan dan berikan kepada masyarakat.
“Jadi, ini adalah salah satu strategi agar asupan protein masyarakat itu dapat terjangkau. Bisa melalui ikan segar. Bagi masyarakat yang jauh dari pesisir, bisa dengan variasi makanan ikan olahan. Susu ikan juga termasuk alternatif variasi olahan itu yang distribusinya lebih mudah,” kata dia.
Hanya Menguntungkan Pihak Tertentu?
Peneliti Institute For Demagraphic and Poverty Studies (IDEAS), Muhammad Anwar, melihat jika dilihat dari hitung-hitungan bisnis, penguasaan teknologi dan kapasitas produksi susu ikan saat ini hanya dimiliki oleh segelintir pihak. Teknologi yang diperlukan untuk mengolah ikan menjadi susu sangat spesifik dan membutuhkan investasi besar, baik dari segi riset maupun infrastruktur.
“Dengan hanya sedikit pihak yang menguasai teknologi ini, peluang bisnis yang tercipta justru berpotensi menguntungkan sekelompok elite produsen besar yang mampu mendanai operasional berskala besar. Sementara nelayan kecil dan produsen lokal lainnya kurang mendapatkan manfaat langsung dari rantai nilai yang terbentuk,” kata Anwar kepada Tirto, Selasa (17/9/2024).
Anwar mengatakan, sekalipun secara teknis produksi susu ikan sebenarnya bisa dilakukan, skala produksinya masih menjadi pertanyaan besar. Kapasitas untuk memproduksi susu ikan dalam jumlah besar secara konsisten belum tentu bisa dipenuhi oleh industri yang ada saat ini.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santoso, mengamini dari sisi kapasitas produksi susu ikan sendiri memang masih kecil. Paling-paling kapasitas PT Berikan Teknologi Indonesia hanya mampu mencapai 30 ton ikan segar yang diolah menjadi susu setiap bulannya. Sedangkan jika program MBG dilaksanakan kebutuhannya adalah 20,7 juta liter per hari.
“Bisa bayangkan 20,7 juta liter per hari. Bagaimana cara memenuhinya? Lalu kalau perusahaan kecil-kecilan seperti itu, enggak akan mungkin lah [bisa jadi alternatif],” kata Andreas saat dihubungi Tirto.
Lain soal, jika produksi susu ikan tersebut dilakukan oleh perusahaan skala besar seperti Indofood, Mayora, ataupun Unilever. Karena, selama produksinya terbatas, maka produk alternatif atau inovasi ini sulit dikembangkan apalagi memenuhi kebutuhan protein masyarakat.
“Kalau perusahaan ecek-ecek kecil-kecilan itu ya pasti tidak mungkin. Jadi itu bagi saya ya secara kritis sajalah, dan tidak masuk akal kalau itu kemudian diterapkan,” jelas dia.
Susu Ikan Belum Tentu Diterima Masyarakat
Dari sisi lainnya, Periset Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian, mengatakan dari sisi konsumen juga belum tentu bisa menerima produk alternatif susu ikan. Apalagi rasa daripada susu ikan belum cukup familiar bagi anak anak.
“Khawatir malah tidak dikonsumsi dan berujung menjadi sampah. Ini kan mubazir minuman dan juga anggaran dan tujuan pemenuhan gizi jadi tidak terpenuhi,” kata Eliza kepada Tirto, Selasa (17/9/2024).
Maka, lanjut Eliza, daripada ikannya diolah jadi minuman, memang lebih baik anak-anak didorong mengkonsumsi ikannya secara langsung. Jangan justru kemudian yang seharusnya protein dari ikan itu lebih sering jadi menu utama dalam program MBG malah diberikan lewat susu untuk menggantikan susu sapi.
“Pemerintah jangan melihat dari aspek karena bisa menggantikan susu sapi, tapi seberapa besar penerimaan anak-anak yang akan jadi target pemberian MBG. Kebijakan mestinya jangan dipandang dari satu sisi, mestinya mempertimbangkan kondisi sosial dan psikologis anak-anak SD yang menjadi sasaran utama program ini,” kata dia.
Maka dalam situasi ini, menurut Anwar dari IDEAS, sangat penting untuk mempertimbangkan alternatif yang lebih ekonomis dan dapat diakses oleh masyarakat luas. Produk-produk susu berbahan baku nabati, seperti susu kedelai, merupakan contoh yang layak dipertimbangkan.
Susu kedelai, kata Anwar, sudah terbukti mudah diproduksi, menggunakan teknologi sederhana, dan dapat diproduksi dalam skala besar dengan biaya yang jauh lebih rendah.
Selain itu, susu kedelai juga memiliki manfaat kesehatan yang signifikan, seperti kandungan protein yang cukup tinggi, rendah lemak jenuh, dan tidak mengandung laktosa, sehingga menjadi alternatif yang lebih inklusif bagi masyarakat yang intoleran terhadap laktosa.
“Dengan skala produksi yang mudah diperluas, susu nabati seperti susu kedelai memiliki potensi besar untuk memenuhi kebutuhan susu nasional dengan cara yang lebih efisien dan terjangkau,” jelas Anwar.
Pada akhirnya, kata Anwar, diversifikasi sumber susu, terutama dari bahan nabati yang lebih mudah diproduksi dan terjangkau, menjadi solusi yang tidak hanya memperkuat ketahanan pangan nasional tetapi juga menciptakan ekosistem ekonomi yang lebih adil.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz