Menuju konten utama

Bansos Tak Cukup Atasi Masalah Penurunan Jumlah Kelas Menengah

Jumlah kelas menengah turun menjadi alarm ihwal bahaya ekonomi. Tapi pemerintah berusaha menangkalnya dengan bansos yang tak menyelesaikan akar masalah. 

Bansos Tak Cukup Atasi Masalah Penurunan Jumlah Kelas Menengah
Warga menunggu panggilan saat penyaluran dana bantuan Program Sembako tahun 2022 di Kantor Pos Besar, Kota Kediri, Jawa Timur, Selasa (22/2/2022). ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/foc.

tirto.id - Apapun masalahnya, bantuan sosial (bansos) selalu dianggap ujung tombak oleh pemerintah dalam mengatasi pelbagai persoalan, termasuk penurunan jumlah kelas menengah.

Jumlah penduduk kelas menengah pada 2024 turun menjadi 47,85 juta jiwa atau sekitar 17,13 persen dari total populasi Indonesia. Penurunan ini terlihat jika dibandingkan periode sebelum pandemi Covid-19.

Pada 2019, porsi penduduk kelas menengah masih sebesar 21,45 persen atau sekitar 57,33 juta jiwa dan turun menjadi 19,82 persen (53,83 juta jiwa) pada 2021.

"Berbagai bansos sekarang kami gelontorkan, kemudian memperluas angkatan kerja. Itulah langkah kami agar kami [bisa] dorong lagi mereka untuk naik ke kelas menengah," kata Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, di Plaza BP Jamsostek, Jakarta, Kamis (12/9/2024).

Niat pemerintah memberikan bansos kepada kelas menengah bisa dipahami Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet. Menurutnya, karena selama ini bansos umumnya hanya diberikan pada kelompok kategori pendapatan bawah atau masyarakat miskin. Sementara penyaluran bansos untuk kelompok kelas menengah hanya terjadi ketika pandemi Covid-19.

“Saat itu (pandemi Covid-19) pemerintah memperluas stimulus tidak hanya terbatas pada kelompok pendapatan bawah, tetapi juga kepada kelompok pendapatan menengah,” ujarnya kepada Tirto, Jumat (13/9/2024).

Menurut Yusuf, pemberian bansos pada nominal tertentu akan memberikan tambahan daya beli untuk kelompok pendapatan menengah, sehingga mereka bisa lebih leluasa untuk melakukan konsumsi.

Pemberian bansos, tambahnya, juga dapat menopang pertumbuhan konsumsi rumah tangga secara umum dan muaranya bisa berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.

Namun masalahnya, jika pemerintah mengggelontorkan bansos kepada kelas menengah, apakah itu adil? Masalah bansos yang tujuannya adalah untuk membantu masyarakat kelas menengah dikhawatirkan memicu persoalan baru. Dengan kata lain memberikan bantuan kepada kelas menengah, namun mengabaikan hak-hak masyarakat miskin.

Tak Selesaikan Akar Masalah

Peneliti Institute For Demagraphic and Poverty Studies (IDEAS), Muhammad Anwar, melihat bansos selalu menjadi senjata andalan pemerintah untuk mengatasi persoalan krisis ekonomi, terutama dalam meredam dampak mendalam yang dialami oleh masyarakat luas. Salah satunya di kalangan kelas menengah yang rentan tergelincir ke kelas bawah.

Namun yang harus diperhatikan, kata Anwar, bansos pada dasarnya hanya solusi jangka pendek yang tidak dirancang untuk mengatasi akar permasalahan ekonomi yang lebih mendalam, seperti ketidakadilan dalam akses kesempatan ekonomi, ketidakmerataan distribusi kekayaan, atau kelemahan struktural dalam perekonomian nasional.

“Oleh karena itu, bansos jangan dijadikan satu-satunya solusi dalam mengatasi masalah ketidakstabilan ekonomi, terutama bagi kelas menengah yang rentan terhadap penurunan status ekonomi,” kata Anwar kepada Tirto, Jumat.

Selain itu, tambahnya, bansos juga memiliki risiko ketergantungan. Apabila pemerintah terlalu fokus pada pemberian bansos tanpa diiringi kebijakan yang mendorong kemandirian ekonomi, maka masyarakat berisiko menjadi pasif dan bergantung pada bantuan pemerintah.

Penyaluran bansos pangan akan berlanjut hingga Juni 2024

Pekerja menjahit karung berisi beras paket bantuan sosial pangan ukuran 10 kilogram di gudang Bulog Serang, Banten, Jumat (1/3/2024). Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo menyatakan penyaluran bantuan beras 10 kilogram akan berlangsung hingga Juni 2024 untuk mempercepat penghapusan kemiskinan ekstrem bagi 22 juta masyarakat berpendapatan rendah dengan pagu sasaran sebesar 220 ribu ton perbulan. ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/tom.

Kondisi tersebut, kata Anwar, bisa melemahkan semangat berinovasi dan daya saing ekonomi, terutama bagi kelas menengah yang seharusnya menjadi penggerak utama dalam pembangunan ekonomi.

“Ketergantungan ini tidak hanya membebani penerima bansos, tetapi juga membebani anggaran negara dalam jangka panjang, menciptakan siklus ketidakberdayaan yang sulit diputus,” ujarnya.

Untuk diketahui, alokasi anggaran perlindungan sosial pada 2024 mencapai Rp496,8 triliun. Jumlah alokasi anggaran itu lebih tinggi dibandingkan dengan alokasi pada 2021 hingga 2022 saat pembatasan sosial diterapkan guna meminimalkan dampak pandemi Covid-19.

Sementara di 2025, pemerintah mengalokasikan anggaran perlindungan sosial (perlinsos) Rp504,7 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025. Nilainya meningkat 4 persen dibanding anggaran serupa dalam outlook APBN 2024.

Berdasarkan RAPBN, sebagian besar anggaran perlinsos 2025 akan disalurkan melalui belanja pemerintah pusat, yakni melalui belanja kementerian/lembaga (K/L) Rp151,4 triliun dan belanja non-K/L Rp342,67 triliun. Kemudian sisanya akan disalurkan melalui transfer ke daerah (TKD) senilai Rp10,65 triliun.

Butuh Kebijakan Komprehensif Jangka Panjang

Daripada memberikan bansos, kata Anwar, pemerintah perlu mencari alternatif lain yang bisa mengatasi permasalahan penurunan kelas menengah. Sebab masyarakat kelas menengah saat ini membutuhkan kebijakan yang komprehensif yang dirancang untuk menciptakan transformasi ekonomi jangka panjang. Bukan justru hanya menangani persoalan di hilir.

"Kelas menengah membutuhkan kebijakan yang tidak hanya reaktif, seperti bansos, tetapi juga kebijakan preventif dan transformatif yang mendorong kemandirian ekonomi,” jelasnya.

Dia menuturkan, investasi dalam sektor pendidikan, pengembangan keterampilan, peningkatan kualitas tenaga kerja, serta dukungan terhadap UKM yang merupakan tulang punggung kelas menengah adalah langkah yang diperlukan.

Dengan demikian, kelas menengah akan memiliki kemampuan untuk mempertahankan posisinya dan menghindari penurunan status ekonomi meskipun menghadapi tantangan eksternal.

Di sisi lain, pemerintah juga perlu menunda atau membatalkan kebijakan yang membebani kelas menengah. Ini juga menjadi hal yang harus diperhatikan pemerintah, terutama dalam situasi ekonomi yang rentan.

“Kebijakan yang membebani mereka akan memperburuk kondisi ekonomi secara keseluruhan dan mempercepat penurunan daya beli serta kestabilan sosial,” kata dia.

Peneliti ekonomi makro dan keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Riza Annisa Pujarama, mengatakan untuk membantu middle class lebih baik dengan perluasan lapangan kerja yang sesuai dengan karakter middle class income. Pemerintah juga perlu memberikan akses pendidikan yang berkualitas dan terjangkau, serta pelayanan kesehatan yang baik.

“Karena middle class dari segi preferensi dan kebutuhan akan berbeda dengan lower income class. Jadi bantuannya bukan ke bansos,” kata dia kepada Tirto, Jumat.

PENYALURAN BANTUAN SUBSIDI UPAH PEKERJA

Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah (kanan berdiri) didampingi Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indah Anggoro Putri (kedua kiri) dan Direktur Hubungan Kelembagaan Bank Mandiri Rohan Hafas (kedua kanan) menyaksikan proes pengurusan administrasi pegawai untuk penerima Bantuan Subsidi Upah (BSU) di halaman PT Perusahaan Industri Ceres, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Jumat (10/9/2021). ANTARA FOTO/Novrian Arbi/wsj.

Subsidi dan Perluasan Lapangan Kerja

Sementara itu, Yusuf Rendy Manilet menambahkan, pemerintah perlu memberikan subsidi kepada kelas menengah terutama untuk kelompok barang dan jasa yang dikonsumsi secara umum. Ini bisa menjadi tambahan ataupun bentuk lain dari bantuan yang diberikan pemerintah untuk kelompok kelas menengah.

Lebih jauh, kata Yusuf, diperlukan upaya perbaikan struktur perekonomian. Pemerintah harus mendorong perekonomian didominasi oleh sektor formal dengan terciptanya lapangan kerja yang bisa menyerap angkatan kerja nasional yang jumlahnya cukup besar.

"Ini merupakan pekerjaan rumah lain yang juga perlu dibenahi oleh pemerintahan berikutnya dalam konteks mencegah agar kelas menengah tidak turun kasta menjadi calon kelas menengah," jelas Yusuf.

Upaya lain yang bisa dilakukan pemerintah adalah melakukan reformasi struktural dan mendorong realisasi investasi di sektor industri manufaktur, terutama kepada sektor-sektor yang sifatnya padat karya.

Menurutnya, ini tidak kalah penting karena meskipun realisasi investasi dalam lima tahun terakhir mencatatkan pertumbuhan, namun masih realisasi investasi di sektor padat karya masih jadi PR.

"Saya kira masih punya ruang untuk ditingkatkan dalam konteks menyerap angkatan kerja dalam jumlah yang besar," pungkasnya.

Di sisi lain, Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziah, menyampaikan pemerintah telah menyiapkan langkah jangka panjang untuk mengatasi penurunan angka kelas menengah. Salah satunya adalah dengan memastikan masyarakat tersebut menerima jaminan sosial.

"Kepesertaan mereka dalam program BPJS kesehatan, BPJS naker itu adalah salah satu pilihan. Misalnya mereka yang mengikuti program BKK JKN, mereka mendapatkan JHT, mereka berhak untuk mendapatkan jaminan sosial kehilangan pekerjaan," ungkap Ida.

Ia juga meyakinkan mengenai perluasan lapangan pekerjaan bisa mengatasi penurunan itu karena semakin banyaknya investasi. Selain itu, pemerintah juga mendorong pasar usaha bagi masyarakat yang tidak berkenan masuk bursa pasar kerja.

"Makanya kita dorong terus apa namanya, peningkatan kompetensi melalui balai-balai vokasi kita, ada Perpres 68 tahun 2022 yang mendorong agar ada revitalisasi pendidikan vokasi agar mereka ini benar-benar siap masuk pasar kerja dengan skill dan kompetensi yang kita siapkan," tutur perempuan yang juga kader PKB itu.

Baca juga artikel terkait KELAS MENENGAH atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Irfan Teguh Pribadi