tirto.id - Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bustanul Arifin, melihat tanda-tanda penurunan kelas menengah di Indonesia telah muncul sejak 1995. Tanda-tanda tersebut berupa terjadinya transformasi ekonomi Indonesia yang tadinya berbasis pertanian menjadi industri, manufaktur, dan jasa.
"Transformasi ekonomi adalah pergeseran atau perpindahan dari ekonomi berbasis pertanian menjadi industri manufaktur dan jasa. Sektor manufakturnya saya tambah dengan tambang supaya lebih besar," ujarnya dalam diskusi daring Indef berjudul “Kelas Menengah Turun Kelas”, dikutip Tirto dari akun Youtube Indef, Senin (9/9/2024).
Pasca transformasi kinerja industri manufaktur nasional semakin menyusut dari tahun ke tahun, alih-alih kian membaik. Dari catatan Bustanul, kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencapai 41,8 persen pada 1995. Kontribusi sektor itu melanjutkan tren penurunan pada 2005 menjadi 38,5 persen dan 28,9 persen di 2023.
Penurunan kontribusi sektor manufaktur ini membuat kebutuhan akan tenaga kerja Indonesia menjadi berkurang. Padahal, kondisi stagnasi atau bahkan pengurangan tenaga kerja akan membuat kelas menengah jatuh miskin karena kehilangan pekerjaan.
"Cikal bakal deindustrialisasi sudah terlihat dari share PDB. Turun terus. Secara teori, ini bukan proses pembangunan ekonomi yang baik," imbuhnya.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah kelas menengah pada 2024 mencapai 47,85 juta orang atau setara 17,13 persen dari total populasi Indonesia. Jumlah tersebut turun dibandingkan total kelas menengah pada 2019 yang masih sebesar 21,45 persen dari populasi atau sekitar 128,85 juta orang.
Namun pada saat yang sama, jumlah kelompok menuju kelas menengah atau aspiring middle class mengalami peningkatan. Tahun 2019 berjumlah 128,85 juta atau 48,20 persen dari total penduduk, menjadi 137,50 juta orang atau 49,22 persen dari total penduduk di 2024.
Selain itu, kelompok penduduk miskin juga naik dari 25,14 juta orang atau setara 9,41 persen dari total populasi di 2019, menjadi 25,22 juta orang atau setara 9,03 persen pada 2024.
Penurunan kelas menengah, lanjut Bustanul, penting untuk diwaspadai untuk menghindari revolusi yang telah terjadi di berbagai negara di Amerika Latin.
"Kekosongan kelas menengah juga jelek. Kalau turun terlalu jauh lalu menjadi kosong, kita ngeri revolusi," kata dia.
Sebab menurutnya, ketika terdapat jurang kelas menengah, sebuah negara hanya akan diisi oleh tuan tanah atau orang-orang kaya dan penduduk miskin yang bekerja di sektor informal seperti pertanian. Kondisi ini akan membuat negara lebih mudah runtuh jika terjadi goncangan.
"Ini berbahaya. Teorinya sudah cukup solid. Kalau struktur perekonomian hollow middle [class] seperti Amerika Latin, itu tidak baik," sambungnya.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Irfan Teguh Pribadi