tirto.id - Susu ikan sedang ramai dibicarakan usai diwacanakan sebagai alternatif susu sapi untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) besutan Presiden Terpilih Prabowo Subianto. Inovasi susu ikan tersebut dikembangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Koperasi UKM (Kemenkop UKM).
Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP), Budi Sulistyo, menyampaikan bahwa susu ikan tersebut merupakan produk turunan dari hidrolisat protein ikan (HPI) yang diolah dan disajikan menyerupai susu. HPI sendiri merupakan ekstrak protein ikan hasil penelitian tim bioteknologi Litbang KKP pada 2017.
“Kalau di dunia perdagangan, kira-kira itu namanya susu analog. Susu analog adalah susu yang berbahan baku bukan dari hewan yang memiliki kelenjar [susu],” jelas Budi kepada Tirto saat ditemui di Gedung Mina Bahari III, Kompleks KKP, Jakarta, Kamis (12/9/2024).
Budi menambahkan bahwa HPI merupakan upaya untuk membantu peningkatan asupan gizi harian masyarakat, terutama protein, yang saat ini masih tertinggal jauh dibanding negara-negara ASEAN. Dia menyebut bahwa saat ini asupan gizi masyarakat Indonesia masih di bawah rata-rata, yakni 62,3 gram per kapita per hari. Sementara di negara maju, asupan gizi masyarakatnya telah melampaui 100 gram per kapita per hari.
“Ini adalah momentum yang bagus. Kami sekarang bergerak menyediakan protein. Berbagai macam jenis ikan pasti sudah mengandung protein. Kita konsumsi segar, kita konsumsi sebagai olahan, bisa konsumsi sebagai HPI,” ungkapnya.
Budi juga mengatakan bahwa susu ikan tersebut sudah diluncurkan KKP dan Kemenkop UKM di Indramayu pada 2023. Saat ini, PT Berikan Teknologi Indonesia yang berlokasi di Indramayu menjadi pabrik susu ikan yang sudah berdiri sejak 2021.
Berdasarkan pantauan Tirto di loka pasar Tokopedia, produk susu ikan tersebut dibanderol seharga Rp129 ribu (tanpa diskon) per kemasan dengan berat 350 gram dan total kalori sebesar 123 kkal.
Selain susu ikan, KKP juga menggagas cemilan cookies yang juga terbuat dari protein ikan. Cookies ini diproduksi oleh Oriyane yang berlokasi di Bandung dan dibanderol seharga 14.500 untuk satu kemasan dengan berat 70 gram dan mengandung total 350 kkal.
Dalam sesi wawancara dengan Budi Sulistyo, Tirto juga diberikan kesempatan untuk mencicipi susu ikan varian rasa coklat dan juga cookies ikan. Tak seperti yang dibayangkan semula, susu ikan tersebut ternyata tidak berkesan amis. Rasa cookiesnya pun sama persis seperti rasa cookies pada umumnya.
Apakah dengan demikian, susu ikan sudah layak dijadikan alternatif susu bagi program MBG? Tentunya, masih banyak hal yang perlu dikupas terkait alternatif susu ikan bagi program MBG tersebut. Dalam wawancara ini, Tirto berupaya mengupas masalah ini secara lebih detail. Berikut petikannya.
Kenapa membuat susu ikan? Apakah benar visinya adalah untuk hilirisasi perikanan sekaligus upaya menyejahterakan nelayan?
Jadi, susu ikan ini berangkat dari hasil penelitian KKP pada 2017 di bidang bioteknologi yang telah menemukan ekstrak protein ikan dengan metode HPI. Nah, ini adalah ekstraknya protein ikan. Hasil penelitian tersebut dikembangkan lagi. Ternyata, ini bisa dicampurkan ke bahan-bahan pangan yang lain dan bahan minuman.
Nah, pada 2021, para peneliti dan juga para pelaku usaha yang menekuni ini, karena juga nanti akan disampaikan masyarakat, itu telah menemukan minuman berprotein tinggi dengan tekstur dan kandungan mirip susu.
Kalau di dunia perdagangan, ada yang disebut susu analog. Susu analog adalah susu yang berbahan baku bukan dari hewan yang memiliki kelenjar susu. Nah, contohnya ada susu kedelai, susu almond, dan sebagainya. Lalu, ini ada susu berbahan baku protein ikan. Maka dikenal sebagai susu ikan.
Kehadiran susu ikan ini ide awalnya adalah bagaimana kita sebagai bangsa Indonesia bergerak bersama untuk mencapai kemandirian protein. Karena, asupan protein di masyakat kita juga masih kurang.
Tercatat di BPN, pada 2023, asupan protein masyarakat itu 62,3 gram per kapita per hari. Nah, itu kami bandingkan dengan angka-angka negara tetangga di ASEAN. Terlihat kondisinya ternyata Vietnam itu sudah 94 gram per kapita per hari. Itu angka yang tinggi. Makanya generasi-generasi mereka sekarang kelihatan tangguh di kompetisi olahraga.
Berapa angka asupan protein di negara industri atau negara maju? Angkanya sudah di atas 100 gram per kapita per hari.
Nah, kesempatan ini adalah momentum yang sangat bagus. Kami sekarang sedang bergerak menyediakan protein. Berbagai jenis ikan pasti sudah mengandung protein. Kita bisa konsumsi segar atau sebagai olahan. Kita konsumsi sekarang sebagai HPI dan HPI ini sudah menghasilkan lagi turunan produksinya, yaitu susu ikan.
Ada program-program pemerintah yang akan datang, salah satunya program Makan Bergizi Gratis. Ini suatu sebuah transformasi tata kelola gizi masyarakat. Bahwa kita desain bersama tata kelola nutrisi untuk masyarakat, untuk anak-anak kita. Iya, kan? Nah, inilah salah satu upaya kami untuk meningkatkan asupan protein masyarakat.
Jadi, sebenarnya ini semuanya positif, ya. Kadang-kadang orang bertanya, kenapa tidak ikan segar saja? Di daerah pantai atau pesisir, masyarakat mungkin mudah mendapatkan ikan segar. Namun, setelah radius 5 kilometer dari pesisir, kita perlu alat pendingin karena ikan itu mudah rusak. Setelah 4 jam, itu selalu mulai muncul kuman pengurai. Maka ikan itu selalu disimpan dalam rantai dingin.
Oleh karena itulah, kami mengambil ekstrak proteinnya menjadi HPI. Dengan begitu, protein ikan itu punya kesempatan untuk disebarkan lagi dalam berbagai macam wujud. Ada dalam bentuk susu, kue, kukis, dan macam-macam.
Berarti susu ikan itu merupakan inovasi agar masyarakat bisa mengkonsumsi ikan lewat cara baru?
Iya. Jadi, itu satu terobosan atau satu inovasi anak bangsa. Kalau kita lihat kandungannya, setiap takaran saji 35 gram, total energinya itu 123 KKL. Kemudian, kalsiumnya sudah 28 persen, DHA-nya 33 mg, EPA-nya 9 mg, Omega 3-nya 49 mg, dan berbagai macam kandungan nutrisi lainnya.
Lalu, yang membedakan dengan susu formula apa? Kalau susu formula, DHA dan EPA itu sebenarnya hasil dari fortifikasi minyak ikan. Kalau ini [susu ikan], dari bahan bakunya sudah mengandung omega, DHA, dan EPA.
Kemudian, bau amis dihilangkan dari awal. Dengan uji filtrasi, bau amis sudah hilang. Kemudian, alergen juga sudah dihilangkan.
Lantas, bagaimana tanggapan Bapak soal ahli gizi yang mempertanyakan, “Mengapa harus susu ikan, bukankah menaikkan asupan gizi masyarakat bisa dengan mendorong konsumsi ikan segar saja?”
Itu satu pendapat yang bagus kalau kita lihat dari kondisi ruang dan wilayah Indonesia. Bahwa, masyarakat itu bisa mengonsumsi langsung ikan segar atau ikan beku. Namun, hal itu bisa memungkinkan kalau ada rantai dingin. Masalahnya, tidak semua wilayah itu ada tempat penyimpanan beku. Atau, tidak semua keluarga punya freezer.
Kami sebagai pemerintah harus memikirkan, “Kalau tidak ada itu, apa yang harus dilakukan?”
Selama ini, masyarakat sudah mengolah ikan jadi bakso ikan atau sosis ikan. Itu 30 persen bahannya mengandung ikan. Lalu, kalau jarak distribusinya lebih jauh lagi, misalnya di atas pegunungan, bagaimana? Kadang, infrastruktur listriknya juga masih terbatas. Padahal, masyarakat juga harus bisa mendapatkan asupan protein.
Yang penting, sumber protein ikan harus kami berikan. Salah satu jalannya ialah ekstra protein ikan yang bisa dicampurkan atau difortifikasi dengan bahan-bahan baku makanan masyarakat. Kami sudah coba mencampur ekstrak protein ikan dengan tepung dan sagu. Mereka makan seperti makan sagu biasa, tapi sebenarnya di situ sudah mengandung protein.
Jadi, ini adalah salah satu strategi agar asupan protein masyarakat itu dapat terjangkau. Bisa melalui ikan segar. Bagi masyarakat yang jauh dari pesisir, bisa dengan variasi makanan ikan olahan. Susu ikan juga termasuk alternatif variasi olahan itu yang distribusinya lebih mudah. Ekstrak protein ikan itu mudah dicampurkan dengan bahan-bahan makanan pokok makanan masyarakat.
Sebelumnya, Bapak sempat menyebut susu ikan itu sudah alergen-free. Lalu, bagaimana keamanannya untuk anak-anak yang mempunyai intoleransi laktosa? Apakah sudah diuji untuk itu? Akankah ada efek samping ringan hingga berat?
Susu ikan itu kandungan proteinnya berasal dari ikan yang mana tidak mengandung protein laktosa. Ikan sendiri tidak mengandung laktosa. Para pakar yang mengatakan itu. Jadi, sebenarnya susu ikan itu lactose-free.
Kalau boleh tahu, pakar yang mengatakan demikian itu siapa atau dari mana, Pak?
Petugas BRIN, dari perguruan tinggi, ahli-ahli yang dulu bekerja di sini [PDSPKP]. Ada proses penelitiannya dulu. Kemudian, kami mengupayakan agar kelayakan pengolahan dan semua aspeknya disertifikasi. Prosesnya sudah selesai, bahkan sertifikasinya sudah dapat. Untuk inovasi dan semuanya, kami bekerja sama dengan para ahli. Ada yang dari perguruan tinggi, misalnya UNDIP, untuk menguji. Juga dari badan riset dan sebagainya.
Dari Perguruan Tinggi hanya UNDIP?
Salah satunya UNDIP. Ada juga ahli dari IPB, tergantung tema yang akan dibahas di sini.
Berarti, susu ikan itu sudah diuji coba kepada anak-anak dan memang tidak akan ada efek samping?
Jadi, kemarin, kami sudah selesaikan uji cobanya. Kami ajak anak-anak untuk mencoba. Kami menyelenggarakan beberapa kegiatan. Yang sifatnya nasional itu adalah Hari Anak Nasional, kemudian Hari Keluarga Nasional. Ada juga event-event tertentu, ada pameran, ada ekspo.
Kami melakukan edukasi kepada masyarakat, khususnya anak-anak-anak. Kami undang, lalu kami jelaskan apa itu protein, apa itu protein ikan, hasilnya apa saja yang mereka bisa konsumsi. Itu adalah susu, ada kukis, ada juga cilok yang sudah difortifikasi dengan HPI. Mereka coba semua. Dari cemilan-cemilan tersebut dan susu, mereka tidak merasakan ada efek samping.
Kegiatan tersebut diselenggarakan di kota apa saja?
Waktu itu, yang besar di Semarang. Kemudian, ada di Bekasi. Itu acara-acara yang sifatnya melibatkan anak-anak.
Dalam sosialisasi, yang sudah mencoba itu anak-anak sekolah?
Yang kemarin itu, anak-anak sekolah TK, SD, SMP.
Apakah susu ikan itu bisa untuk semua kalangan?
Untuk semua kalangan, iya.
Tapi, sosialisasinya baru kepada siswa TK sampai SMP saja?
Iya. Karena waktu itu di pameran di Tegal, jadi kami yang harus mendatangkan audiens. Nah, di situ kemudian, ibu-ibu juga ikut mencoba. Ibu-ibu yang hamil juga.
Susu ikan itu adalah susu alternatif untuk program Makan Bergizi Gratis yang dicanangkan Pak Prabowo. Tapi, adakah wacana memproduksinya untuk diperjual-belikan ke publik?
Sekarang pun, publik sudah bisa beli di market place di Berikan Protein. Tapi, di offline belum.
Menurut Bapak, sudah bisakah susu ikan menggantikan susu sapi?
Kalau bicara menggantikan susu sapi itu seolah-olah kami selalu bersinggungan. Sementara itu, kondisi Indonesia perlu protein yang masih sangat banyak. Sumber proteinnya banyak? Iya, betul. Susu ikan itu datang sebagai penguat sehingga kebutuhan Indonesia akan semakin terpenuhi dan semakin tinggi.
Ini juga menjadi substitusi impor nantinya. Kami tidak bicara sekarang. Kami sekarang masih fokus pada bagaimana mengembangkannya menjadi salah satu sumber protein di Indonesia.
Untuk harga susu ikan saat ini apakah kira-kira terjangkau untuk masyarakat ekonomi menengah ke bawah?
Nanti dicek saja di market place ya, saya tidak begitu tahu harganya.
Lalu, akankah susu ikan itu kontradiktif dengan program Gemarikan?
Sebenarnya, susu ikan itu bagian dari penguatan Gemarikan. Gemarikan itu mengenalkan konsumsi ikan, dari yang segar, olahan, dan terfortifikasi.
Penulis: Nabila Ramadhanty
Editor: Fadrik Aziz Firdausi