Menuju konten utama

Di Balik Upaya Prabowo Utak-atik Struktur Organisasi Kemenkeu

Prabowo mengubah struktur organisasi Kemenkeu serta berada di bawah koordinasi langsung presiden. Apa tujuannya?

Di Balik Upaya Prabowo Utak-atik Struktur Organisasi Kemenkeu
Presiden Prabowo Subianto memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (6/11/2024). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/sgd/foc.

tirto.id - Presiden Prabowo Subianto tengah meramu atau mengutak-atik Kementerian Keuangan. Di bawah kendalinya, mantan menteri pertahanan di era Jokowi itu, melakukan beberapa perubahan di tubuh Kemenkeu. Bahkan untuk pertama kalinya, Kemenkeu saat ini memiliki tiga wakil menteri keuangan.

Sekilas tidak ada yang berubah dari komposisi sebelumnya saat masa transisi dari pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi ke Prabowo. Kursi tertinggi Kemenkeu masih dipercayakan kepada Sri Mulyani Indrawati. Begitu pula dengan dua wamenkeu, yakni Suahasil Nazara dan Thomas Djiwandono. Prabowo hanya menambah satu kursi wamenkeu yang diisi Anggito Abimanyu, sehingga totalnya menjadi tiga.

Di tangan Prabowo, jalur koordinasi Kemenkeu pun diubah, tak lagi di bawah komando Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian. Lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 158 Tahun 2024 tentang Kementerian Keuangan, Prabowo resmi mengatur Kemenkeu bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

“Kementerian berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden,” tulis salinan Perpres tersebut sebagaimana dikutip Tirto, Kamis (7/11/2024).

Lewat Perpres yang sama, pengganti Perpres Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan sebelumnya, Prabowo juga menghapus Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dari tubuh Kemenkeu. Sebaliknya, ada dua Direktorat Jenderal baru yang dibentuk oleh Prabowo.

Pertama, Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal. Kedua, Direktorat Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan. Selain itu, ada pula Badan Teknologi, Informasi, dan Intelijen Keuangan yang juga baru dibentuk.

Hal ini tertuang dalam Pasal 7 Perpres 158/2024 yang di dalamnya mengatur tentang struktur organisasi Kementerian Keuangan yang terdiri dari 10 Direktorat Jenderal, Inspektorat Jenderal, dua Badan, dan sembilan Staf Ahli.

“Pertama saya membacanya Pak Prabowo mencoba untuk mengoptimalkan peran dari Kementerian Keuangan. Dan saya melihat Pak Prabowo belum berubah dari rencananya untuk membentuk Badan Penerimaan Negara,” ujar Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah, merespons perubahan di tubuh Kemenkeu, kepada Tirto, Kamis (7/11/2024).

Piter mengatakan, penambahan satu kursi wamenkeu di tubuh Kemenkeu sehingga menjadi tiga sudah direncanakan sebelumnya. Di mana penempatan Anggito Abimanyu dipersiapkan untuk membentuk Badan Penerimaan Negara. Anggito nantinya akan membawahi tiga ditjen, di antaranya Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Bea dan Cukai, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

“Yang lain tentunya akan dibagi ada yang terkait dengan anggaran dan belanja. Jadi dengan demikian, fokus dari Prabowo tetap coba untuk meningkatkan penerimaan dengan melalui Badan Penerimaan Negara,” ujar Piter.

Menurut Piter, tentu saja ini masih sejalan dengan rencana awal Prabowo di mana penerimaan itu harus dikelola sendiri dan terpisah. Dan ini menjadi cikal bakal daripada Badan Penerimaan Negara itu sendiri.

“Di mana badan ini, kan, janji politik Prabowo. Dan yang saya dengar dari teman-teman lingkaran di dalamnya tetap akan dibentuk. Cuma masalahnya pembentukan tidak mudah, perlu persiapan panjang, apakah satu tahun, dua tahun. Makanya ditempatkan dulu Pak Anggito,” ujar dia.

Di luar itu, perubahan jalur koordinasi Kemenkeu yang kini berada di bawah langsung presiden dinilai Institute for Development of Economics and Finance (Indef) sebagai upaya untuk memudahkan dalam mengkomunikasikan kondisi fiskal dan pengambilan keputusan. Terlebih tugas Kemenkeu strategis karena mengatur fiskal negara.

“Sehingga dengan berada di bawah Presiden, ini akan dapat memudahkan dalam mengkomunikasikan kondisi fiskal,” ujar peneliti ekonomi makro dan keuangan dari Indef, Riza Annisa Pujarama, kepada Tirto, Kamis (7/11/2024).

Menurut Riza, jalur koordinasi di bawah presiden memang perlu dilakukan apalagi saat ini kondisi fiscal Indonesia kapasitasnya terbatas, fleksibilitas semakin sempit karena belanja bunga utang dan subsidi energi yang tinggi. Di sisi lain, penerimaan perpajakan justru cenderung turun, tapi kebutuhan belanja semakin tinggi.

Maka dengan dibentuknya dua direktorat baru tersebut, diharapkan Riza, dapat lebih fokus dan memberikan terobosan baru yang lebih baik untuk mendorong transformasi ekonomi dan transformasi fiskal.

“Ini harus didukung juga dengan stabilitas sektor keuangan sehingga ekonomi dan fiskal dapat lebih baik dan sejumlah program dan target ekonomi yang dijanjikan bisa tercapai,” kata Riza.

APBN pada Agustus 2024 defisit 153,7 triliun

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (tengah) didampingi dua Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara (kiri) dan Thomas Djiwandono (kanan) bersiap memberikan pemaparan pada konferensi pers APBN KiTa di Kemenkeu, Jakarta, Senin (23/9/2024). Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan APBN pada Agustus 2024 defisit Rp153,7 triliun atau 0,68 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) namun defisit tersebut masih sesuai dengan Rancangan Undang-Undang APBN 2024 yakni 2,29 persen dari PDB. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww.

Ambisi Pertumbuhan Ekonomi dan Penerimaan Negara

Di sisi lain, Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Achmad Hanif Imaduddin, justru melihat perubahan-perubahan yang dilakukan di tubuh Kemenkeu kemungkinan besar dipengaruhi oleh ambisi Prabowo untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen. Dalam hal ini, maka ada dua kritik utama dari ambisi ini.

Pertama, ambisi ini cenderung utopis apabila ingin dicapai dalam waktu singkat, lima tahun saja. Pertumbuhan ekonomi kuartal III-2024 saja, keok pada angka 4,95 persen. Artinya butuh kerja dan reformasi ekstra jika ambisi tersebut ingin diwujudkan.

“Lebih menarik lagi, sebenarnya mimpi 8 persen ini tidak tercantum dalam dokumen visi-misi Prabowo-Gibran yang tersebar di publik. Pada dokumen tersebut, pemerintahan Prabowo hanya menargetkan pertumbuhan 6 persen hingga 7 persen. Alhasil, mimpi 8 persen ini seakan mengada-ada,” ujar dia kepada Tirto, Kamis (7/11/2024).

Kedua, demi mewujudkan ambisi tersebut, Prabowo akhirnya dengan berani meletakkan Kemenkeu tepat di bawah komando presiden. Ini bisa dibaca sebagai langkah presiden untuk memastikan anggaran negara benar-benar sejalan dengan program prioritasnya sehingga, dalam satu dan lain cara, dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Namun, dalam hal ini, Prabowo memiliki pertaruhan yang sangat besar. Pasalnya, mimpi 8 persen ini berulang kali ia gaungkan selama kampanye. Ia memiliki janji dan beban politik yang harus ditepati kepada masyarakat. “Apabila ini tidak tercapai, bukan tidak mungkin, ini akan menjadi kritik dan cibiran publik sepanjang masa kepresidenannya,” ujarnya.

Lebih lanjut, Achmad juga menyoroti soal pembentukan direktorat baru. Dari perspektif organisasi, ini jelas tidak efisien. Sebab organisasi yang tambun punya langkah dan birokrasi yang lebih lambat. Terlebih kehadiran direktorat baru berarti ada potensi penambahan pegawai, pembangunan fasilitas baru, hingga pengangkatan kepala-kepala bidang baru.

“Artinya, banyak anggaran negara yang harus diinvestasikan untuk sekadar membentuk direktorat baru,” jelas dia.

Apabila tujuannya adalah meningkatkan penerimaan negara, maka pembentukan direktorat baru menurutnya bukanlah solusi yang tepat. Pemerintah seharusnya menaikkan penerimaan negara dengan menaikkan rasio pajak di sektor pertambangan yang masih sangat minim kontribusi. Terlebih, sektor ini memiliki keuntungan yang tinggi, dengan dampak lingkungan yang tinggi pula, tetapi belum dioptimalisasi penerimaan pajaknya.

“Pemerintah perlu mengejar para pengusaha tambang yang mengabaikan kewajiban pajak, dan memperkuat peraturan perpajakan di bidang tambang,” kata dia.

Di sisi lain, langkah progresif yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah adalah mengenakan pajak khusus pada orang-orang super kaya di Indonesia. Pajak orang kaya ini juga diterapkan di Spanyol.

Sebagai contoh, Spanyol mengenakan pajak khusus terhadap total kekayaan individu sebesar 1,7 persen apabila ia tergolong dalam 0,5 persen orang terkaya di negara tersebut. Jika ia termasuk dalam 0,1 persen orang terkaya, maka besaran pajaknya meningkat menjadi 2,1 persen.

“Di Indonesia, pemerintah tampaknya belum berani menerapkan skema perpajakan serupa karena para pengusaha ini juga terlibat atau menjadi pelindung daripada politisi saat ini,” ujarnya.

Padahal, dengan skema ini, Indonesia bisa mendapatkan pemasukan tambahan yang besar. Perhitungan terakhir Celios memprediksi negara memiliki penerimaan tambahan sebesar Rp81 triliun per tahun dari hasil memajaki 50 orang terkaya di Indonesia sebesar 2 persen saja.

Baca juga artikel terkait KABINET PRABOWO-GIBRAN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz