tirto.id - Keinginan Pemerintah Indonesia untuk mewujudkan swasembada pangan rasanya sulit dicapai selama mafia-mafia impor pangan belum tuntas diberantas. Eksistensi mereka secara tidak langsung menjadi benalu sekaligus menghambat upaya pemerintah untuk mencukupi sendiri kebutuhan pangan masyarakat.
Mafia impor pangan kerap memanipulasi harga dengan cara memainkan pasokan pangan domestik. Mereka secara sengaja menciptakan kelangkaan dengan cara menahan pasokan pangan lokal sehingga mendorong kebutuhan impor yang lebih tinggi.
Para mafia ini juga memiliki pengaruh dalam proses pengadaan barang impor melalui mekanisme lelang yang tidak transparan.
Jika melihat data beberapa tahun terakhir, harus diakui bahwa Indonesia masih mengalami ketergantungan tinggi terhadap impor pangan. Mulai dari beras, jagung, kedelai, hingga produk hortikultura seperti bawang putih.
Untuk beras, misalnya, hingga Oktober 2024, pemerintah sudah mengimpor sebanyak 2,9 juta ton. Impor ini berasal dari beberapa negara produsen, yaitu Myanmar sebesar 451 ribu ton, Pakistan sebesar 388 ribu ton, Thailand 1,04 juta ton, lalu Vietnam 1,02 juta ton.
Pada 2023, volume impor beras bahkan mencapai 3,06 juta ton—seturut Katadata, itu tercatat sebagaiyang tertinggi dalam kurun lima tahun terakhir. Impor beras saat itu didominasi semi-milled or wholly milled rice sebesar 2,7 juta ton atau 88,1 persen dari total impor beras 2023.
Kemudian, ada pula impor broken ricesebesar 345,7 ribu ton (11,29 persen), dan impor basmati rice 7,13 ribu ton (0,23 persen).
Sementara untuk jagung, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), total impornya selama periode Januari-September 2024 mencapai 967,9 ribu ton dengan nilai US$247,9 juta. Pada periode yang sama, Pemerintah Indonesia juga mengimpor kedelai sebanyak 2,16 juta ton atau senilai US$1,15 miliar.
Ketergantungan Indonesia pada produk bawang putih impor juga tergolong tinggi. Ini terlihat dari meningkatnya kapasitas impor bawang putih periode Januari-September 2024 yang menyentuh angka 345.500 ton atau setara dengan Rp7,08 triliun.
Di balik lonjakan impor pangan tersebut, muncul sejumlah mafia yang disebut "mafia pangan". Mereka mengambil keuntungan dari kebijakan-kebijakan pelonggaran impor pangan.
Para mafia pangan disebut memiliki jaringan kuat. Jaringan itu menggurita dengan melibatkan pejabat pemerintah, pengusaha, hingga pedagang besar. Jaringan itulah yang digerakkan untuk mengendalikan aliran barang masuk ke Indonesia.
“Mafia impor pangan sulit diberantas karena menghasilkan dana rent seeking puluhan triliun. Dana ini yang digunakan untuk membeli pengaruh, apakah itu politisi, pejabat, aparat penegak hukum, bahkan partai politik,” ujar ekonom senior dari Universitas Paramadina, Wijayanto Sarmin, kepada Tirto, Rabu (6/11/2024).
Menurut Wijayanto, tanpa back up yang kuat dari tokoh-tokoh berpengaruh, mafia pangan—juga mafia-mafia sektor lain—tentu bisa dengan mudah diberantas. Terlebih, Indonesia punya banyak regulasi, punya aparat penegak hukum, bahkan punya mata-mata di mana-mana.
“Yang sering kali kita tidak punya adalah mata hati,” imbuh dia.
Kerugian Petani dan Efek Negatif Swasembada Pangan
Di luar dari konteks tersebut, Peneliti Center of Reform on Economics (CORE), Eliza Mardian, menilai bahwa mafia impor pangan membuat nasib petani lokal dan produsen pangan Indonesia semakin terjepit. Pasalnya, banyak petani yang kesulitan bersaing dengan harga pangan impor yang lebih murah, meskipun kualitasnya kadang kurang memadai.
“Karena disparitas harga antara harga pangan di dalam negeri dengan harga global cukup tinggi,” jelas Eliza kepada Tirto, Rabu (6/11/2024).
Eliza mengatakan bahwa hal ini dapat terjadi karena mafia pangan biasanya mendapatkan akses impor dengan harga subsidi atau keringanan bea masuk. Sementara itu, petani lokal terpaksa menjual hasil pertanian mereka dengan harga yang lebih rendah agar bisa bersaing dengan produk impor.
“Harga di global ini relatif lebih murah dibandingkan di dalam negeri sehingga para rent seeker ini akan mendapatkan keuntungan dengan mengimpor dan menjualnya di dalam negeri. Meski di domestik surplus, tetapi terkadang impor karena rentenya menggiurkan,” ujarnya.
Sementara itu, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, mengatakan bahwa dengan tekanan impor yang besar, petani akan mengalami kerugian. Hal ini terlihat dari data BPS yang menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir, jumlah petani gurem naik menjadi 3 juta rumah tangga petani.
“Ketika rugi terus, salah satu hal yang paling dilakukan petani mengkonversi lahan pertaniannya atau bahkan banyak yang menjualnya,” ujar Said kepada Tirto, Rabu (6/11/2024).
Kondisi tersebut mengakibatkan ketersediaan lahan pertanian semakin sedikit. Dengan inovasi teknologi yang terbatas, produksi jadi tidak maksimal. Oleh karenanya, produksi pangan ke depan tidak bisa naik secara signifikan.
Jika mafia impor pangan terus dibiarkan leluasa beroperasi, upaya untuk mencapai swasembada pangan akan semakin jauh dari kenyataan. Maka dalam hal ini, Pemerintah Indonesia dianggap perlu membuat kebijakan yang lebih tegas untuk menanggulangi praktik-praktik yang merugikan petani dan meningkatkan daya saing pangan lokal.
“Kalau pemerintah mau mengikis mafia impor, permainan impor, kartel, atau apalah namanya, salah satu yang bisa dilakukan adalah mengubah kebijakan impor berbasis kuota menjadi berbasis tarif,” ujar pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, kepada Tirto, Rabu (6/11/2024).
Dengan berbasis tarif, impor pangan ke depan akan lebih terbuka, transparan, dan adil. Skema impor berbasis tarif memberi keuntungan melalui pemasukan ke kas negara. Sementara itu, impor berbasis kuota yang selama ini diterapkan selalu menimbulkan masalah dan kerap jadi “mainan” para mafia impor pangan.
“Karena, kita dan publik tidak bisa memastikan bahwa di balik kuota yang diterbitkan itu tidak ada kick back, tak ada suap, dan sejenisnya,” jelas Khudori.
Apalagi, lanjut Khudori, untuk mendapatkan kuota itu biasanya importir berkewajiban mengantongi rekomendasi dari kementerian teknis. Rekomendasi ini juga menyediakan ruang gelap yang jauh dari pantauan publik.
Karena publik relatif tidak terlibat atau dilibatkan dalam pengawasan, rekomendasi ini potensial juga jadi ajang permainan mafia.
“Sudah terlalu banyak contoh kasus impor yang demikian,” tukas Khudori.
CORE sendiri mengamini bahwa selama basis impor masih menggunakan kuota, potensi celah korupsi di impor pangan ini tidak bisa dihindarkan. Pasalnya, di dalamnya ada permainan yang mana pemerintah membagi jatah impor kepada importir sesuai dengan kebutuhan di dalam negeri.
“Karena kuota itulah, celah persoalan terjadi. Ada masalah hukum, baik pidana atau persaingan usaha. Karena kuota itulah berpotensi terjadi persekongkolan mafia,” pungkas Eliza.
Di luar dari masalah struktural, tindakan yang lebih tegas dari pemerintah untuk membongkar jaringan mafia pangan ini sangat diperlukan. Tindakan ini meliputi pengawasan yang lebih ketat terhadap kebijakan impor pangan, penerapan transparansi dalam proses pengadaan barang, serta memperkuat koordinasi antara berbagai instansi terkait dalam hal distribusi dan pengendalian pasokan pangan.
Menteri Pertanian (Mentan), Andi Amran Sulaiman, telah meminta dukungan kepada seluruh anggota Komisi IV DPR RI untuk bekerja sama dalam upaya pemberantasan mafia impor pangan.
Amran bahkan siap mundur dari jabatannya jika tidak mampu menuntaskan masalah mafia impor pangantersebut.
"Mafia impor, insyaallah, kami butuh dukungan. Kalau kami temukan, kami bereskan. Kalau kami tidak bisa bereskan, saya mundur," tegas Amran dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, dikutip Rabu (6/11/2024).
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi