tirto.id - Presiden Prabowo Subianto memerintahkan jajarannya dalam Kabinet Merah Putih untuk menghentikan impor beras, jagung untuk pakan ternak, garam, dan gula konsumsi 2025. Melalui upaya ini, Indonesia diharapkan dapat lebih cepat mencapai swasembada atau kemandirian pangan.
"Tadi dalam ratas (rapat terbatas) yang pertama, kita sudah memutuskan tidak impor beras, Pak Mentan (Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman), ya. Tahun depan tidak (impor). Tidak impor beras, kemudian jagung, gula untuk konsumsi, dan garam,” kata Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, kepada awak media, di Istana Negara, Senin (30/12/2024).
Untuk mendukung rencana ini, pemerintah tak mengalokasikan kuota impor empat komoditas pangan tersebut di 2025. Tekad pemerintah untuk menyetop impor beras, jagung, garam, dan gula nampaknya telah bulat. Karena dalam sepekan terakhir, beberapa pejabat negara di bidang pangan juga turut menggaungkan rencana besar ini. Terakhir, Wakil Menteri Pertanian, Sudaryono, menegaskan, pemerintah sudah mulai melakukan berbagai upaya untuk mencapai target ambisius tersebut.
“Yang masih kita upayakan kan jagung, beras. Itu kita upayakan tahun ini tidak ada impor. Presiden sudah memerintahkan untuk tidak impor beras dan jagung di tahun 2025 ini. Ada empat, kita ditarget tidak impor beras, tidak impor jagung, tidak impor garam konsumsi, dan tidak impor gula untuk konsumsi,” kata Sudaryono, dalam kunjungan kerjanya di Banyuwangi, dikutip Kamis (9/1/2025).
Beberapa upaya yang tengah ditempuh pemerintah untuk mencapai target ini adalah melalui peningkatan produksi dalam negeri dan penguatan rantai pasok. Mas Dar, sapaan Sudaryono, optimis bahwa kedua upaya itu dapat membawa Indonesia mencapai swasembada seperti layaknya yang telah terjadi pada telur, ayam, sayuran, dan buah-buahan.
“Telur kita sudah swasembada, ada ayam, kita sudah swasembada. Sayuran sudah swasembada buah kita juga cukup,” sambungnya.
Soal beras, tidak perlunya impor didukung oleh produksi rata-rata yang diperkirakan bakal mencapai 30,5-31 juta ton. Kemudian, ada pula tambahan 2 juta ton dari optimalisasi lahan (oplah) oleh Kementerian Pertanian. Selanjutnya, Badan Pangan Nasional (Bapanas) juga memperkirakan panen raya akan terjadi pada Februari-Maret 2025, yang mana diharapkan dapat menghasilkan gabah sekitar 13 juta ton dan beras mencapai 5,5-6 juta ton.
“Dan sangat besar kemungkinan dan keyakinan saya, 2025, kita tidak akan impor beras lagi,” kata Prabowo saat menyampaikan pengantar Sidang Kabinet Paripurna, di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (2/1/2025).
Sementara itu, penghentian impor beras, jagung, garam, dan gula dinilai tak cuma menjadikan Indonesia mandiri pangan pada 2027, melainkan juga bisa menghemat devisa negara hingga 5,2 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp84,24 triliun (asumsi kurs Rp16.200 per dolar AS).
Penghematan devisa ini, kata Menteri Perdagangan, Budi Santoso, dapat digunakan untuk keperluan lain seperti menambah anggaran pupuk untuk pertanian maupun kebutuhan produksi perikanan.
“Dalam lima tahun terakhir (2020–2024), Indonesia mengimpor komoditas beras, gula, garam, dan jagung dengan nilai yang cukup besar,” kata dia, dalam keterangan resminya, dinukil Kamis (9/1/2025).
Sebagai catatan, berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), total volume impor beras dari Januari-November sebanyak 3,85 juta ton, dengan nilai impor mencapai 2,36 miliar dolar AS. Jumlah tersebut melonjak dari volume impor beras 2020 yang hanya sebesar 356,29 ribu ton.
Kemudian, untuk volume impor jagung pada periode Januari-November 2024 tercatat sebesar 1,3 juta ton, dengan nilai 247,9 juta dolar AS. Nilai impor jagung tersebut meningkat pula dari realisasi tahun 2020 yang sebesar 172,64 juta dolar AS.
Sementara impor garam sepanjang 2020 mencapai 2,61 juta ton, dengan nilai 94,5 juta dolar AS. Realisasi impor garam ini naik menjadi 2,81 juta ton, dengan nilai mencapai 135,30 ribu ton di sepanjang 2023. Kemudian, volume impor gula di sepanjang 2023 tercatat mencapai 5,07 juta ton dengan nilai 2,88 juta dolar AS. Realisasi ini mengalami penurunan dibanding tahun 2020 yang pada saat itu mencapai volume 5,54 juta ton dengan nilai impor sebesar 1,94 juta dolar AS.
“Meskipun begitu, pada periode tersebut, tren impor gula dan garam cenderung turun,” lanjut Budi Santoso.
Sama halnya dengan Kementerian Pertanian yang bakal menggenjot produksi beras, jagung dan tebu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan memaksimalkan dukungan teknologi dan pengelolaan sumber daya berkelanjutan untuk mendorong produksi garam dalam negeri. Sebab, meski mayoritas merupakan garam rakyat namun kualitas garam lokal dapat disandingkan dengan negara lain.
“Sebagai langkah awal menuju swasembada, pemerintah menetapkan tidak mengimpor garam konsumsi di 2025,” jelas Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut KKP, Victor Gustaaf, dalam keterangannya kepada Tirto, Kamis (9/1/2025).
Victor merinci, kebutuhan bahan baku garam nasional 2024 dan 2025 adalah 4,9 juta ton dan diasumsikan meningkat 2,5 persen per tahun karena adanya pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan sektor industri. Sedangkan pada 2025, rencana produksi garam dalam negeri adalah 2,25 juta ton.
“Jika ditambah sisa stok 836 ribu maka pasokan garam lokal sudah memenuhi 63 persen dari total kebutuhan. Sisanya tentu menjadi peluang usaha yang besar dan menjanjikan bagi para produsen garam bahan baku, baik petambak garam rakyat maupun badan usaha,” tambah dia.
Meski begitu, agar Indonesia sepenuhnya dapat terbebas dari jerat impor garam, Victor menyadari bahwa swasembada garam harus dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk petambak garam, pemerintah daerah serta pelaku industri. Sebagai bagian dari rencana tersebut, KKP juga telah mengidentifikasi wilayah potensial pengembangan tambak garam, salah satunya Indramayu, Jawa Barat.
Selain itu, mulai tahun ini KKP juga akan melakukan perluasan tambak garam di Nusa Tenggara Timur dengan target 2.500 Ha menggunakan metode konvensional namun dilengkapi dengan penerapan mekanisasi panen, dan intensifikasi.
“Pada tahun 2024, produksi garam rakyat mencapai 2,04 juta ton, melebihi target produksi 2 juta ton. Ini menunjukkan bahwa program pengembangan tambak garam telah berjalan sesuai rencana,” ujar Victor.
Tepatkah Langkah Stop Impor?
Klaim Victor terkait kualitas garam lokal yang dapat disandingkan dengan negara lain ditampik Ketua Umum Umum Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI), Cucu Sutara. Industri makanan dan minuman (mamin), menurutnya pernah mencoba menjajal menggunakan garam lokal untuk produksi, namun upaya itu justru membuat produk cepat rusak.
“Berdasarkan hasil uji garam lokal di laboratorium pabrik, menunjukkan kadar beberapa variabel kayak magnesium, kandungan air, impuritas, dan cemaran logam cukup tinggi. Kemudian juga konsentrasi garam yang dihasilkan tambak rakyat itu kecil,” ujarnya, kepada Tirto, Kamis (9/1/2025).
Selain itu, volume produksi garam dalam negeri belum mampu mencukupi kebutuhan industri. Dari catatannya, rata-rata kebutuhan garam industri per tahun ialah sebesar 4,3 juta ton, sedangkan produksi dalam negeri hanya 1,78 juta ton per tahun.
Dengan akan segera datangnya Ramadan dan Idulfitri, Cucu khawatir, kebijakan pemerintah yang melarang industri pengolahan untuk turut melarang penggunaan garam impor justru akan membuat utilisasi produksi industri anjlok. Meski dia mendukung mimpi pemerintah untuk mencapai swasembada pangan, agaknya larangan impor garam bagi industri menjadi cukup memberatkan dengan kondisi pergaraman nasional yang tak memadai.
“Apabila sampai hari ini garam lokal, baik dari sisi kualitas atau kuantitas tidak memenuhi syarat, sedangkan pemerintah ingin mencapai pertumbuhan (ekonomi) 8 persen, kawan-kawan di industri baik aneka pangan atau farmasi perlahan akan kesulitan bahan baku dan tidak bisa produksi,” sambungnya.
Alih-alih mencapai swasembada pangan dan pertumbuhan ekonomi tinggi, larangan impor garam justru dikhawatirkan bakal memicu pemutusan hubungan kerja (PHK). Karena itu, agar badai tak menghantam industri, Cucu meminta agar pemerintah tetap mengizinkan industri menggunakan garam impor sampai ekosistem garam Indonesia siap dan dapat menghasilkan garam yang benar-benar berkualitas.
“Kita objektif mendukung, cuma kan memang harus ada solusi. Kalau memang kita tidak mampu (produksi garam sendiri), mau tidak mau, suka tidak suka, ayo jalankan ini (impor),” tegas Cucu.
Sementara itu, menurut Koordinator Koalisi Rakyat Kedaulatan Pangan (KRKP), Ayip Said Abdullah, tak masalah jika pemerintah ingin menyetop impor beras, jagung, garam, dan gula. Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir Indonesia sudah seperti ketagihan impor. Pun, untuk menghadapi ancaman krisis pangan, swasembada pangan menjadi sebuah keniscayaan.
Namun, di sisi lain pemerintah juga harus menyadari, produksi dalam negeri belum cukup untuk memenuhi kebutuhan secara nasional, baik untuk konsumsi maupun industri.
“Kalau mau stop impor, Setidaknya kan harus ada dua prasyarat yang harus dipenuhi. Pertama adalah cadangan pemerintah ini cukup memadai dalam waktu yang cukup panjang. Cadangan pemerintah ini dalam arti cadangan pemerintah dan cadangan pangan masyarakat,” jelas Ayip, kepada Tirto, Kamis (9/1/2025).
Kedua, adalah produksi dalam negeri yang seharusnya bisa untuk mencukupi cadangan pangan pemerintah dan masyarakat. “Nah, dua variabel itu akan berkait erat dengan satu kata kunci, yaitu data,” tambahnya.
Dalam hal ini, sebelum menghentikan impor suatu komoditas, pemerintah harus memastikan data-data yang berkaitan dengan komoditas tersebut, seperti data produksi, data luas lahan, data jumlah produktivitas, data sentra produksi, data-data musim panen, dan sebagainya. Jika tak ada data yang lengkap atau memadai, pemerintah akan berisiko menghadapi masalah yang cukup serius, seperti kekurangan pasokan yang pada akhirnya akan mendorong dilakukannya kembali impor komoditas sampai terjadinya kenaikan harga. Saat hal ini terjadi, dihentikannya impor komoditas tak akan berkelanjutan.
“Kemudian akan muncul banyak spekulan, seperti spekulan-spekulan kalau ada yang mempermainkan stok untuk mendapat keuntungan yang lebih baik,” ucap Ayip.
Terpisah, Peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Eliza Mardian, mengungkapkan, pemerintah harus berkaca pada kegagalan larangan impor jagung yang pernah dilakukan pada 2016 lalu. Pada saat itu, ketika terjadi penurunan impor jagung mencapai 2,17 juta ton, pada saat bersamaan ada lonjakan impor gandum sebesar 3 juta ton.
Karena itu, sebelum memutuskan menghentikan impor empat komoditas, pemerintah harus terlebih dulu menyusun strategi yang matang dan menyasar akar persoalan.
“Karena untuk mencapai tujuan tersebut perlu, upaya serius dan strategi yang tepat sasaran menyentuh akar persoalan. Perlu dipastikan strategi meningkatkan produksi dalam negeri ini bisa mengimbangi (konsumsi), sehingga volume impor bisa dikurangi,” ucap Eliza, saat dihubungi Tirto, Kamis (9/1/2025).
Sementara itu, untuk meningkatkan produksi, pemerintah harus lebih dulu memberikan kepastian harga dan pasar kepada petani. Artinya, pemerintah melalui Perum Bulog, misalnya harus bersedia menyerap hasil panen petani dengan harga minimal yang juga telah ditentukan.
Upaya ini pun harus diimbangi oleh perbaikan infrastruktur krusial seperti irigasi, jalan usaha tani, gudang penyimpanan, dan jaringan transportasi.
Terlepas dari itu, menurut Eliza, komoditas yang paling siap untuk dihentikan impornya adalah beras dan diikuti oleh jagung. Sedangkan untuk gula dan garam harus dilakukan secara bertahap, mengingat produksi dalam negeri yang belum bisa memenuhi kebutuhan untuk konsumsi dan industri.
“Ini bergantung strateginya, kalau tepat sasaran dan menyentuh akar persoalannya, dalam 5 tahun akan lebih baik, setidaknya berkurang impornya secara bertahap,” tukas Eliza.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Anggun P Situmorang