Menuju konten utama

Transformasi Bulog, Maju atau Kembali ke Masa Lalu?

Kembali ke Bulog seperti di masa lalu dengan lingkungan strategis yang jauh berubah selain akan rumit, juga sebuah langkah mundur.

Transformasi Bulog, Maju atau Kembali ke Masa Lalu?
Header Perspektif "Haruskah Mentransformasi BULOG Seperti di Era Soeharto?". tirto.id/Parkodi

tirto.id - Presiden Prabowo Subianto diwartakan berkeinginan mengubah Perum Bulog dari bentuknya saat ini, BUMN. Sejauh ini masih belum jelas bentuk lembagaanya apa. Yang sudah dipastikan Bulog dikembalikan seperti di era Orde Baru, menjadi badan otonom langsung di bawah Presiden, jadi operator sekaligus regulator, dan operasional sepenuhnya menjalankan tugas-tugas pelayanan publik (public service obligation/PSO), bukan aktivitas komersial.

Karena itu, anggaran Bulog akan disokong penuh APBN. Tidak lagi menggunakan kredit bank berbunga komersial seperti saat ini. Perubahan ini juga sebagai bagian untuk memastikan pencapaian target swasembada pangan Prabowo.

Sepertinya Prabowo mau meniru eks mertuanya, Presiden Soeharto. Sesama eks militer tulen, logistik adalah nomor satu. Perang tak mungkin menang jika pasukan lapar alias logistik kurang. Perang saat ini tentu bukan mengangkat senjata, tapi bisa dimaknai melawan kemiskinan dan kebodohan.

Begitu sentralnya peran Bulog di awal Soeharto menjadi presiden, sehingga beras, komoditas super penting yang diurusnya, jadi sandaran kekuasaan. “Beras adalah pertahanan saya. Walaupun jebol di bidang politik, keamanan, dan lainnya, jika Bulog memiliki stok pangan cukup baik dan bisa memelihara harga yang terjangkau rakyat banyak, maka keadaan dapat dikendalikan,” kata Soeharto.

Kisah itu dituturkan Bustanil Arifin, Kepala Bulog periode 1973-1993. Jadi, sejak awal berdiri Bulog secara tidak langsung turut menyangga kebangkitan kekuasaan baru dan mencegahnya dari ancaman keruntuhan akibat kelangkaan pangan, terutama beras.

Melalui kebijakan at all cost ke beras dan berbagai keistimewaan bagi Bulog, terutama monopoli sejumlah komoditas dan captive market PNS dan ABRI, institusi ini berhasil menjalankan tugas (politik) yang amat krusial: menjaga kekuasaan dari keruntuhan.

Salah satunya bisa dilihat dari harga sembako yang relatif terjangkau dan stabil. Misal, periode 1972-1996 fluktuasi harga beras domestik hanya 6 persen, sementara di pasar dunia 22 persen (Dawe, 1999). Hal serupa terjadi pada terigu, kedelai, minyak goreng, dan gula.

Keperkasaan Bulog Era Soeharto

Capaian stabilitas harga pangan terwujud berkat peran strategis Bulog beserta instrumen pendukungnya, salah satunya kebijakan ‘sabuk harga’: menjaga fluktuasi harga pada batas bawah (guna melindungi produsen) dan harga batas atas (untuk menjaga daya beli konsumen). Untuk membeli gabah/beras petani, Bulog menggandeng KUD dan penggilingan.

Sebanyak 1.500 unit gudang dengan kapasitas 3,7 juta ton dibangun di daerah produsen dan konsumen guna menyimpan dan memeratakan distribusi stok. Harga dasar dan harga atas rutin diperbaharui.

Soeharto turun langsung jadi “panglima” guna memaduserasikan kebijakan produksi dan stabilisasi harga. Lewat cara ini, petani-konsumen terlindungi, insentif produksi terjaga, dan margin keuntungan pelaku industri perberasan telah ditakar guna menekan spekulasi. Puncaknya, Indonesia mencapai swasembada beras pada 1984.

Keberhasilan fungsi stabilisasi pasokan dan harga saat itu tidak hanya ditentukan waktu pembelian, penguasaan stok, dan pelepasan stok di saat yang tepat, tetapi juga bergantung ketersediaan dana fleksibel berbunga rendah (5 persen): Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI).

KLBI dijamin dengan jatah beras PNS dan ABRI. Saat itu, sebagai lembaga pemerintah nondepartemen (LPND) khusus, Bulog sejatinya bertugas melakukan pelayanan publik yang aturan pengelolaan keuangannya tunduk pada UU keuangan negara. Bulog tidak dituntut untung.

Akan tetapi karena Bulog melakukan aktivitas jual-beli seperti badan usaha, dibuat pertanggungjawaban neraca defisit-surplus. Yang istimewa, Kepala Bulog saat itu jadi anggota sidang kabinet, yang langsung tahu keputusan penting. Lingkungan strategis yang melingkupi seperti ini yang diyakini membuat Bulog perkasa.

Namun, lingkungan strategis itu telah berubah, bahkan berubah drastis, sejak Bulog menjadi Perum pada 2003. BI misalnya, lewat UU 23/1999 yang diubah jadi UU 3/2004 menjadi independen. Bukan lagi bagian eksekutif seperti lalu.

Otonomi daerah memaksa pusat berbagi dengan daerah. Menyatukan (kembali) fungsi operator dan regulator di Bulog juga akan menimbulkan benturan kepentingan. Apalagi, ada potensi berbenturan dengan regulator lain.

Badan Pangan Nasional (Bapanas) misalnya, yang merujuk UU Pangan 18/2012 bertindak melakukan koordinasi, perumusan dan penetapan kebijakan pangan hulu-hilir. Bahkan, di Perpres 66/2021 tentang Bapanas, menempatkan Bulog sebagai operator. Karena itu, kembali ke Bulog seperti di masa lalu dengan lingkungan strategis yang jauh berubah selain akan rumit, juga sebuah langkah mundur.

Risiko Transformasi ‘Mundur’

Setiap masa memiliki tantangan, hambatan, dan peluang sesuai kondisi zaman. Namun, norma umum tetap bisa dipedomani, yaitu kemanfaatan, efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas. Kalau hendak memperkuat Bulog, tidak harus memberi “amunisi” sebagai regulator.

Kalau Presiden ingin mengontrol langsung BULOG, juga tidak harus mengubah kelembagaan dari BUMN jadi LPND (baca LPNK saat ini). Bisa saja direksi BULOG diminta membuat laporan rutin ke Presiden dan dirut jadi peserta sidang kabinet.

Ketika tidak lagi berbentuk BUMN ada konsekuensi logis bagi BULOG: tidak mungkin lagi mendapatkan penugasan menjadi operator pengelolaan cadangan pangan pemerintah. Dari pengadaan hingga penyaluran. Regulasi ini ada di UU Pangan dan Perpres 66/2021.

Sudah tentu pilihan akhir ada di tangan pemerintah. Opsi kembali ke masa lalu tentu tetap terbuka dengan mengubah banyak regulasi plus berbagai konsekuensi-konsekuensinya.

Saat ini lini komersial Bulog sekitar 25 persen. Jika akan sepenuhnya fokus ke PSO, lini komersial mesti dipisah. Jika tak dipisah, skandal Bulogate I dan II di masa lalu potensial terulang.

Skandal itu muncul karena Bulog menjalankan aktivitas bisnis meski sebagai LPND. Karena tak ada keharusan untung, keuntungan dimasukkan ke kas nonbujeter. Kas nonbujeter ini selalu menjadi incaran elite dan penguasa, yang di masa lalu jadi sumber keguncangan politik di Tanah Air.

Memisahkan lini komersial dari Bulog saat ini bisa menguntungkan bisa juga merugikan. Untung karena bisa fokus. Merugi karena suntikan roh entrepreneur hilang. Bukankah konsultan transformasi Bulog, McKinsey (2024), telah merancang Bulog menjadi pemimpin rantai pasok pangan terpercaya dengan memberikan layanan terbaik untuk kesejahteraan warga lewat 3 pilar: leading PSO vehicle, supply chain 4.0 backbone, dan commercial growth engine?

Bulog Tak Perlu Diubah

Pilihan lain yang terbuka adalah tidak mengubah kelembagaan saat ini. Kalau tujuannya menjadikan sebagai offtaker dan stabilisator (pasokan dan harga) yang handal, termasuk mengubah permainan stagnasi produktivitas pertanian saat ini guna meraih swasembada, Bulog perlu diperkuat. Bisa dimulai dari beras. Mengapa?

Secara historis, sejak berdiri pada 1967 tugas Bulog tak pernah lepas dari beras. Komoditas lain keluar-masuk, namun beras selalu jadi kewajiban melekat. Urusan beras pun tidak berubah: menjaga harga di petani lewat pembelian dengan harga yang ditentukan, menjaga stok cukup setiap saat dan di semua daerah, dan menjaga pasokan beras ke pasar atau langsung ke masyarakat, yang sekaligus berfungsi menjaga stabilitas harga di tingkat konsumen.

Penguatan bisa dimulai menyangkut tiga aspek. Pertama, penguatan regulasi atas tugas-tugas yang diberikan. Baik operasional, administrasi maupun garis komando. Dari aspek operasional internal, Bulog berbentuk BUMN atau badan otonom tidak akan banyak perbedaan.

Keberadaan Bapanas membuat administrasi dan garis komando sederhana serta “atasan” Bulog tidak sampai 9 seperti di masa lalu. Namun, karena kewenangan Bapanas terbatas, penugasan kepada Bulog belum bisa memayungi seluruh fungsi pelayanan publik seperti di masa lalu.

Penambahan kewenangan Bapanas sebagai regulator sesuai kebutuhan tugas dan fungsi Bulog dapat membantu memperkuat lembaga logistik tersebut. Atau memberikan fleksibilitas Bulogmenentukan aksi korporasi tanpa aturan berbelit.

Yang diperlukan adalah rambu dan target, seperti target BI mengendalikan inflasi. Regulasi bejibun dan berbelit, ditambah penugasan ad hoc dan mendadak, membuat Bulogselalu seperti pemadam kebakaran dan sulit merencanakan.

Kedua, penguatan keuangan. Yang dikerjakan Bulog adalah tugas negara dalam pelayanan publik, tapi anggarannya memakai sistem pascabayar menggunakan dana bank berbunga komersial. Bulog harus bekerja dahulu dan baru bisa mengklaim di kemudian hari.

Dari pengadaan hingga klaim dibayar argo bunga terus beranak pinak. Kian lama klaim dibayar kian besar beban bunga yang ditanggung, kian mahal pula harga pokok penjualan beras BULOG. Ujungnya, beras BULOG kurang kompetitif di pasar.

Sebagai gantinya, cadangan beras pemerintah (CBP) sebesar 1,5 juta ton harus dibiayai APBN lewat penyertaan modal negara sebagai modal kerja. Ini cukup diberikan sekali. Jika ini dilakukan, beban bunga bank tak ada lagi dan membuat harga pokok beras Bulog turun drastis. Implikasinya, penetrasi beras di pasar akan jauh lebih efektif.

Ketiga, mengintergasikan (kembali) kebijakan perberasan hulu-tengah-hilir. Saat ini kebijakan perberasan tidak lagi terintegrasi seperti di masa lalu karena terbuka di hilir. Di hulu Bulog wajib melakukan penyerapan gabah/beras petani sebagai proteksi petani dari kerugian.

Di tengah Bulog merawat, menyimpan, dan mendistribusikan ke seluruh wilayah. Di hilir, outlet atau penyaluran pasti tidak ada. Ini terjadi sejak Raskin diubah jadi bantuan pangan nontunai.

Sejarah mengajarkan, keberhasilan pengelolaan CBP tak lepas outlet pasti di hilir. Mengapa? Beras mudah rusak. Agar tak rusak, beras harus terus mengalir cepat: dari pengadaan ke penyaluran. Bukan menumpuk di gudang sebagai stok.

Pemerintah membuat berbagai outlet pengganti Raskin sejak 2018, seperti operasi pasar SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) dan bantuan pangan beras. Pada 2023-2024, dua outlet ini jumlahnya cukup besar. Tapi keduanya pada dasarnya tidak pasti.

Operasi pasar tergantung kondisi pasar, bantuan pangan bergantung situasi politik. Secara keseluruhan, karena persentase penyaluran beras Bulog saat ini tinggal separuh dari periode Raskin, kemampuan memengaruhi pasar turun. Efektivitas dalam stabilisasi harga pun turun.

Di sisi lain, anggaran stabilisasi meledak lebih dua kali. Integrasi kebijakan dilakukan dengan mengubah Perpres 63/2017 tentang Bantuan Sosial dengan mewajibkan sebagian bansos berbentuk natura (baca: beras) yang disediakan Bulog.

Secara gradual, volume bisnis pemerintah melalui Bulog perlu diperbesar dan cadangan harus ada di pasar aktif. Untuk beras, volume bisnis pemerintah harus 15-20 persen dari konsumsi dan cadangan ditempatkan di pasar sebagai bagian dari komoditas yang diperjual-belikan yang sepenuhnya dikontrol pemerintah (Bantacut dan Ruspayandi, 2024).

Perubahan ini membuat stok yang semula statis jadi stok dinamis: bergerak terus di pasar. Bulog tak lagi sebagai pemadam kebakaran, tapi aktif jadi stabilisator. Rumah Pangan Kita yang berjumlah lebih 22 ribu unit jadi ujung tombak penetrasi pasar di hilir.

Optimalisasi sentra penggilingan padi dan beras Bulog dilakukan dengan kolaborasi pelaku di hulu, tengah, dan hilir dengan prinsip efektivitas dan saling menguntungkan. Ditigalisasi menyeluruh dalam operasi jadi keniscayaan yang tak bisa ditawar.

Tantangan penyediaan pangan, terutama beras, kian berat terkait ketimpangan produksi dan konsumsi serta ketimpangan penyediaan antarwilayah dan antarwaktu. Kebutuhan terus naik sementara produktivitas stagnan, bahkan turun, akibat tanah sakit, air tak tersedia, benih terbatas, dan alihfungsi lahan.

Perbaikan ekosistem perlu dilakukan dengan fokus pada peningkatan produktivitas di hulu. Di sini perlu hadirnya “panglima” yang mengorkestrasi hulu-hilir. Menko Pangan, bahkan Presiden, bisa turun gunung mengorkestrasi ini, terutama menginisiasi relasi pusat-daerah yang tidak harmonis sejak otonomi. Kerja-kerja Bulog dalam menjaga stabilisasi harga, pasokan, dan ketahanan pangan di hilir akan efektif dan lebih mudah apabila kinerja produksi di hulu juga baik.

Secara bertahap, seiring membenahi urusan beras, komoditas lain bisa disentuh, prioritas pertama jagung dan kedelai, dengan memperbaiki ekosistemnya. Secara fisik, perlu ketersediaan silo dan gudang memadai. Juga dukungan anggaran dan regulasi tata niaga yang memungkinkan Bulog memiliki kontrol penuh.

Komoditas lain, terutama produksi hortikultura yang cepat rusak seperti bawang dan cabai atau daging segar dan telur, memerlukan kesiapan ekosistem hulu-hilir lebih matang. Secara keseluruhan, langkah-langkah ini diharapkan membuat sisi komersial Bulog tumbuh besar, yang akan memungkinkan kerja-kerja PSO lebih mudah, seperti Pertamina dan Kereta Api Indonesia.

Harapannya, ini memberi dampak positif bagi produsen, konsumen dan pelaku pasar. Lebih jauh, target swasembada pangan diharapkan bisa diraih tidak terlalu lama, termasuk membuka dukungan kuat Bulog terhadap program Makan Bergizi Gratis.

Penulis adalah pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP).

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.