tirto.id - Pada masa kampanye Pilpres 2024, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menggaungkan janji menciptakan 19 juta lapangan pekerjaan. Janji besar itu pun masuk dalam Asta Cita dan tercantum dalam dokumen visi, misi, dan program berjudul “Prabowo-Gibran 2024: Bersama Indonesia Maju”.
“Meningkatkan lapangan kerja yang berkualitas, mendorong kewirausahaan, mengembangkan industri kreatif, dan melanjutkan pengembangan infrastruktur,” demikian tertulis dalam dokumen tersebut, dikutip Selasa (25/3/2025).
Sayangnya, hampir lima bulan pemerintahan Prabowo-Gibran berjalan, yang lebih santer terdengar justru berita-berita pemutusan hubungan kerja (PHK) di banyak perusahaan, utamanya dari sektor manufaktur.
Pada Januari 2025, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat terdapat 3.325 orang yang ter-PHK. Sementara itu, di sepanjang tahun lalu, jumlah karyawan terdampak PHK dilaporkan mencapai sekitar 80.000 orang.
Angka itu jauh lebih sedikit dibanding data Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang mencatat ada 250 ribu orang kehilangan pekerjaan selama periode Januari-Desember 2024. Data ini berasal dari klaim pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang merupakan Program BPJS Ketenagakerjaan.
Sementara itu, pada dua bulan pertama 2025, jumlah kasus PHK telah menerpa 40 ribu pekerja.
“Terutama, Jakarta dan Jawa Barat yang paling banyak. Jadi, Januari dan Februari ini sudah sekitar 40 ribu,” ujar Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam, di Jakarta, Rabu (19/3/2025).
Jumlah PHK tersebut lantas dikoreksi Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Yassierli. Meski tak membuka data pastinya, Yassierli menyebut bahwa jumlah korban PHK sampai Februari 2025 baru berkisar di angka belasan ribu.
“Belum sampai sebesar itu [40 ribu pekerja ter-PHK]. Jadi, angka kami itu belasan ribu,” jelas dia kepada awak media di Kantor Kemnaker, Jakarta Selatan, Selasa (25/3/2025).
Meski begitu, Yassierli mengakui bahwa dari 7,5 juta pengangguran yang dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun lalu, 3 juta di antaranya merupakan lulusan SMA dan SMK. Kemudian, 2,5 juta lainnya hanya mengenyam pendidikan sampai bangku SMP.
“Jadi, kami [pemerintah] punya PR,” kata Yassierli dalam acara penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) dan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) di Kantor Kemendikdasmen, Jakarta Pusat, Senin (24/3/2025).
Target Dikoreksi
Belakangan, target pembukaan lapangan kerja baru pun dikoreksi oleh pemerintah. Presiden Prabowo Subianto mengaku menargetkan pembukaan 8 juta lapangan kerja hingga 2029. Penciptaan lapangan kerja itu akan bersandar pada pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di 38 provinsi.
“Investasi-investasi yang akan kita laksanakan mulai tahun ini, nanti buahnya adalah hilirisasi. Supaya tambah semua bahan baku kita bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Juga lapangan kerja, yang kita hitung lapangan kerja dalam 5 tahun yang akan datang akan mencapai 8 juta lapangan kerja," kata Prabowo saat meresmikan KEK Industripolis Batang, Jawa Tengah, Kamis (20/3/2025).
Prabowo percaya bahwa Kawasan Industri Terpadu Batang (KITB) itu bakal menyerap sekitar 58.145 tenaga kerja baru di Indonesia, khususnya dari kawasan Batang dan sekitarnya.
KITB sendiri berfokus pada sektor manufaktur, logistik, dan distribusi. KEK Industropolis Batang dipandang cukup menjanjikan karena berpotensi meraih investasi sebesar Rp75,8 triliun dalam jangka waktu lima tahun ke depan.
Selain KEK, penciptaan 8 juta lapangan kerja baru juga diharapkan dapat dicapai dengan pembangunan 30 proyek besar. Proyek-proyek besar itu tidak hanya fokus pada industri hilir atau produk olahan saja, melainkan juga di sektor hulu atau produksi bahan baku.
“Kita melihat beberapa sektor masih penting, seperti pertanian, perikanan. Ini tidak hanya menghasilkan devisa yang besar, tapi juga menciptakan lapangan kerja yang besar. Dari program investasi yang akan kita mulai tahun ini, kita bisa ciptakan 8 juta lapangan pekerjaan,” jelas Prabowo saat menghadiri peresmian Produksi Pabrik Pemurnian Logam Mulia Freeport Indonesia, di Gresik, Jawa Timur, dikutip Selasa (25/3/2025).
Sementara itu, selama 10 tahun pemerintahan Presiden Jokowi, penduduk Indonesia bertambah cukup besar, yaitu dari 252,7 juta orang per Agustus 2014 menjadi 282,5 juta orang pada 2024. Pada periode yang sama, jumlah angkatan kerja juga bertambah, dari 121,9 juta orang menjadi 152,1 juta orang di 2024 (bertambah lebih dari 30 juta orang).
Selain itu, jumlah orang yang bekerja juga bertambah dari 114,6 juta orang di 2014 menjadi 144,6 juta orang di 2024. Artinya, dalam 10 tahun itu telah diciptakan juga sekitar 30 juta kesempatan kerja.
Kondisi itulah yang kemudian membuat jumlah pengangguran masih bertahan di kisaran 7,2 juta orang pada 2024. Namun, tingkat pengangguran pada periode itu turun, dari 5,9 persen pada 2014 menjadi 4,9 persen persen di 2024.
Tingkat kemiskinan juga dilaporkan turun signifikan, dari 27,7 juta orang miskin (11 persen dari total populasi) pada 2014 menjadi 25,2 juta orang (sekitar 9 persen) di 2024.
“Akhir-akhir ini memang diberitakan adanya peningkatan PHK. Akan tetapi, penciptaan kesempatan kerja juga cukup lumayan. Sehingga, pengangguran bisa bertahan di status quo, tidak tambah buruk,” kata Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, Payaman Simanjuntak, saat dihubungi Tirto, Selasa (25/3/2025).
Semakin Sulit Direalisasikan?
Kondisi dunia usaha yang sedang lesu seiring turunnya daya beli masyarakat dinilai akan menyulitkan realisasi janji penciptaan 19 juta lapangan kerja. Apalagi, jika ke depan laju pertambahan penduduk terjadi dengan cepat.
Di sisi lain, dominasi jumlah pekerja di sektor informal (mencapai 58 persen di 2024) juga menjadi tantangan tersendiri. Sebab, tenaga kerja di sektor-sektor informal, termasuk pekerja mandiri, pekerja keluarga, dan usaha-usaha mikro, memiliki produktivitas dan penghasilan rendah.
Karenanya, pemerintah perlu berfokus meningkatkan produktivitas usaha-usaha mandiri dan mikro tersebut sehingga dapat mengerek penghasilan para pekerjanya. Hal itu semakin mendesak dilakukan seiring semakin banyaknya muncul usaha-usaha besar padat modal dan teknologi yang hanya menyerap sedikit tenaga kerja.
“Tingkat pengangguran dapat diturunkan di bawah 3 persen kalau diberi perhatian khusus untuk pengembangan usaha-usaha mikro, usaha keluarga, dan usaha mandiri. [Tapi], masih kurang upaya dilakukan untuk meningkatkan kompetensi kerja dan produktivitas angkatan kerja. Sehingga, produktivitas dan daya saing dunia usaha secara umum sangat rendah,” jelas Payaman.
Selain itu, Indonesia tengah dihadapkan pada fenomena deindustrialisasi dini yang terindikasi dari andil industri manufaktur yang terus menyusut terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pada 2024, kontribusi industri manufaktur terhadap PDB nasional ialah sebesar 18,98 persen, turun drastis dari kontribusi 2014 yang masih sebesar 21,28 persen terhadap PDB.
Perlu diketahui, deindustrialisasi merupakan kondisi di mana sektor industri manufaktur atau pengolahan nonmigas tidak berhasil tumbuh untuk memajukan struktur ekonomi negara yang lebih tinggi.
“Jadi, sudah cukup lama sebenarnya industri kita itu enggak berkembang yang bisa dilihat dari kecilnya pembukaan lapangan kerja formal. Jadi, lapangan kerja formal kita cukup stagnan dari tahun ke tahun, sementara peningkatan yang signifikan justru lebih besar di pekerjaan-pekerjaan di sektor informal,” jelas pakar hukum perburuhan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Nabiyla Risfa Izzati, kepada Tirto, Selasa (25/3/2025).
Sayangnya, janji besar pembukaan 11 juta lapangan kerja baru yang disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani, pada akhir tahun lalu berasal dari transportasi ojek online (ojol). Dalam hal ini, pengemudi ojol masih tergolong sebagai pekerjaan di sektor informal, yang parahnya sampai saat ini masih saja belum mendapat kepastian hukum dari pemerintah karena hanya berstatus mitra dan bukan pekerja.
Sementara di sektor manufaktur, menurut Menteri Perindustrian (Menperin), Agus Gumiwang Kartasasmita, hanya tercipta sebanyak 1 juta lapangan kerja baru di sepanjang 2024.
“Contoh lain, sektor informal misalnya banyaknya pekerja yang bekerja di industri-industri UMKM alih-alih industri besar. Industri UMKM sendiri juga seperti sektor informal yang lain, tidak memberikan perlindungan ketenagakerjaan yang mencukupi kalau kita lihat dari kacamata hukum ketenagakerjaan,” sambung Nabiyla.
Jadi, Presiden Prabowo dan Wapres Gibran sebenarnya dihadapkan pada tantangan ganda. Tidak hanya harus menepati janjinya untuk membuka 19 juta lapangan kerja baru, tapi juga memastikan lapangan kerja yang berkualitas dan layak bagi para pekerja.
Dalam hal ini, lapangan kerja berkualitas itu hanya dapat diwujudkan dari sektor-sektor formal.
“Harusnya ada peta jalan yang jelas untuk memetakan 5 tahun ke depan sebenarnya sektor apa yang akan menjadi andalan Indonesia. Kita sering bicara hilirisasi, tapi kemudian harus ada evaluasi. Sebenarnya hilirisasi yang selama ini terjadi itu sudah cukup bisa membuka lapangan kerja atau tidak? Kalau misalnya tidak, berarti kita perlu memetakan ulang,” tutur Nabiyla.
Selain itu, pembukaan lapangan kerja berkualitas juga membutuhkan andil dari seluruh kementerian/lembaga (K/L), termasuk juga dunia usaha. Meski isu terkait ketenagakerjaan dikomandoi oleh Kemnaker, tanggung jawab penciptaan lapangan kerja baru yang berkualitas tak boleh hanya diserahkan kepada kementerian yang kini dipimpin Yassierli itu.
“Saya sepakat bahwa Kementerian Ketenagakerjaan adalah salah satu stakeholder penting, tapi saya juga sepakat ketika Kementerian Ketenagakerjaan mengatakan bahwa ini tanggung jawab bersama, dari Kementerian Perindustrian misalnya. Tanggung jawab bersama dari Kemenko Perekonomian yang harusnya mendorong investasi, dan tentu saja juga tanggung jawab dari Presiden,” tukas Nabiyla.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi