Menuju konten utama

MBG dan Penciptaan Lapangan Kerja Harus Berjalan Beriringan!

Sangat tidak mungkin untuk memperbaiki kualitas gizi masyarakat tanpa terlebih dulu memperluas penciptaan lapangan kerja.

MBG dan Penciptaan Lapangan Kerja Harus Berjalan Beriringan!
Pekerja menunjukan menu paket makanan bergizi gratis (MBG) di dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Lamongan, Jawa Timur, Rabu (22/1/2025). ANTARA FOTO/Rizal Hanafi/Spt.

tirto.id - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Rachmat Pambudy, menilai pemberian Makan Bergizi Gratis (MBG) bisa berjalan beriringan dengan pembukaan lapangan kerja baru, bahkan bisa lebih mendesak. Alasannya, MBG mampu mengatasi masalah kekurangan gizi yang terjadi di masyarakat, khususnya anak-anak secara cepat, sedangkan pembukaan lapangan kerja baru tidak.

“Jadi Ibu dan Bapak sekalian, kalau ada orang mengatakan, ‘udah, kenapa mesti ngasih makan?’ ‘kenapa tidak dikasih pekerjaan saja?’ tidak akan cepat tercapai untuk mengatasi persoalan ini,” kata Rachmat dalam sambutannya di Kantor Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Jakarta, pada Sabtu (22/3/2025).

Apalagi, berdasar data Bappenas, setidaknya terdapat 180 juta orang Indonesia menderita kekurangan gizi. Kondisi inilah yang kemudian menimbulkan masalah lanjutan, termasuk juga dapat menyebabkan kematian.

“Ternyata dalam statistik kami, ada 180 juta orang Indonesia, angka kecukupan gizinya tidak terpenuhi. 50 ribu bayi lahir cacat, 1 juta orang terpapar TBC, 100 ribu orang setiap tahun wafat karena TBC, itu semua karena kurang gizi,” ujarnya.

Melalui program MBG, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tak hanya ingin membangun sumber daya yang unggul dan sejahtera saja, melainkan juga mencetak sejarah yang menunjang negeri ini menuju Indonesia Emas 2045. Hal ini karena melalui pemberian makanan bergizi, anak-anak dapat tumbuh dengan sehat, cerdas dan rupawan.

“Ternyata teknologi baru, pengetahuan baru itu sudah menjelaskan bahwa makanan itu tidak hanya memberi pengaruh fisik dan kecerdasan. Tapi, ternyata memberi pengaruh kepada kecantikan dan juga wajah daripada manusia itu sendiri,” ucap Rachmat.

“Setiap presiden punya sejarahnya sendiri, punya catatan, caranya sendiri. Dan kita yang sedang bersama-sama pimpinan presiden beberapa tahun terakhir sedang membangun sejarah baru,” sambungnya.

Sementara itu, menurut Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, rendahnya gizi anak-anak dapat mempengaruhi performa seseorang, termasuk atlet sepak bola. Sehingga, tak heran jika sulit bagi Indonesia untuk memenangkan laga pertandingan sepak bola.

“Jadi jangan heran kalau PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) itu sulit menang. Karena main 90 menit berat, kenapa? Karena gizinya tidak bagus, banyak pemain bola lahir dari kampung,” tutur Dadan, dalam kesempatan yang sama.

Program Satuan Pelaksanaan Pemenuhan Gizi di Tabanan Bali

Siswa bersiap menyantap makanan bergizi gratis saat peluncuran perdana program Satuan Pelaksanaan Pemenuhan Gizi (SPPG) di TK Kumara Mandala, Kecamatan Selemadeg Timur, Tabanan, Bali, Senin (13/1/2025). Kegiatan yang digelar Badan Gizi Nasional bersama TNI, Polri, dan pemangku kepentingan tersebut membagikan makanan bergizi di lima desa di kecamatan itu dengan jumlah 3.029 siswa penerima manfaat dari 23 sekolah yang terdiri TK, SD, SMP, dan SMK. ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/YU

Di sisi lain, menurut Dadan sumber pertambahan penduduk mayoritas berasal dari kalangan miskin dan rentan miskin. Kecukupan gizi bagi kedua kelompok masyarakat inilah yang lantas menjadi keresahan Prabowo.

“Jadi, Pak Presiden gelisah kalau kita tidak intervensi ini. Kelompok ini 60 persen tidak pernah melihat menu dengan gizi seimbang,” imbuhnya.

Direktur Eksekutif Segara Institute, Piter Abdullah, menilai pernyataan terkait pelaksanaan MBG lebih mendesak ketimbang penciptaan lapangan kerja baru merupakan pendapat pribadi Menteri Bappenas. Namun, seharusnya pendapat tersebut tidak seharusnya dilontarkan tanpa adanya data atau kajian yang kuat. Apalagi, jika hal tersebut mencakup pula terkait penciptaan lapangan pekerjaan.

“Kan, lucu kalau kita mengatakan yang penting anaknya dapat makan bergizi gratis, tidak masalah bapaknya jadi pengangguran,” ujarnya, saat dihubungi Tirto, Senin (24/3/2025).

Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa fokus pemerintah Indonesia berbanding terbalik dengan pemerintahan negara-negara di dunia. Amerika Serikat (AS) misalnya, yang bahkan melalui bank sentralnya, The Federal Reserve (The Fed) didorong untuk mendukung pemerintah dalam menciptakan lapangan pekerjaan, selain juga menjalankan fungsi sebagai pengendali inflasi.

Menurut Piter, penciptaan lapangan kerja sangat penting, karena pengangguran pada dasarnya dekat dengan kemiskinan. Sehingga, tidak mungkin bagi Indonesia untuk menghilangkan kemiskinan tanpa mengentaskan masalah pengangguran.

“Ekonomi sedang tidak baik-baik saja… Apalagi pemerintah juga ada janji pertumbuhan ekonomi 8 persen. Janji pertumbuhan ekonomi tidak mungkin diwujudkan ketika ekonomi tidak baik-baik saja. Banyaknya perusahaan tutup dan melakukan PHK itu sinyal ekonomi tidak baik-baik saja dan mendesak untuk adanya perbaikan kebijakan,” jelas Piter.

Alih-alih melontarkan pernyataan tak berdasar, Kepala Bappenas seharusnya dapat memimpin kementeriannya untuk menyusun kajian komprehensif dan mencari solusi nyata untuk mengatasi masalah kekurangan gizi di masyarakat hingga menyelesaikan problem pengangguran. Selain itu, sudah saatnya pula bagi pemerintah untuk dapat mendengar masukan-masukan dari lembaga riset, karena sampai saat ini Piter belum melihat adanya kebijakan yang benar-benar mampu mengatasi masalah perekonomian yang terjadi di Tanah Air.

"Belum ada kebijakan yang bagus. Yang ada blunder atau pernyataan-pernyataan yang justru kontra produktif," sambungnya.

Beda Fokus MBG dan Penciptaan Lapangan Kerja

Sangat tidak mungkin untuk memperbaiki kualitas gizi masyarakat tanpa terlebih dulu memperluas penciptaan lapangan kerja yang pada akhirnya akan berujung pula pada pengentasan kemiskinan. Fokus antara MBG dan penciptaan lapangan pekerjaan ini pun sangat berbeda, dengan MBG diharapkan dapat memperbaiki kualitas gizi masyarakat sehingga masalah stunting atau tengkes dapat teratasi, sedangkan lapangan pekerjaan memiliki tujuan lebih luas, mulai dari meningkatkan kualitas hidup masyarakat, menumbuhkan kemandirian ekonomi keluarga, hingga pada akhirnya pun dapat pula memperbaiki gizi keluarga.

Bahkan, pentingnya penciptaan lapangan kerja membuat banyak negara, termasuk Amerika Serikat (AS) menjadikan program perluasan lapangan pekerjaan sebagai pondasi utama ekonomi negara.

“Jadi, logika sederhananya, tanpa pekerjaan layak, masyarakat nggak akan bisa mandiri secara ekonomi dan terus bergantung pada bantuan pemerintah. Sehingga, pada saat yang sama masyarakat nggak akan bisa mengatasi masalah keluarganya untuk mengatasi stunting. Jadi, lapangan pekerjaan justru menjadi pondasi utama ekonomi keluarga,” jelas Direktur Kebijakan Publik di Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Media Wahyudi Askar, kepada Tirto, Senin (24/3/2025).

Karenanya, ketimbang MBG, penciptaan lapangan kerja dapat memberikan dampak baik dalam jangka pendek maupun panjang pada perekonomian keluarga. Sedangkan MBG, dampaknya baru akan terasa dalam jangka panjang.

Bahkan, dalam laporan Celios, MBG justru berpotensi membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena adanya kemungkinan program ini disalurkan dengan tidak tepat sasaran. Selain itu, realokasi dana pendidikan ke MBG berdampak pada berkurangnya nilai tambah bruto sektor pendidikan sebesar Rp48,23 triliun, Rp1,47 triliun ke industri barang cetakan, serta menurunkan serapan tenaga kerja di sektor pendidikan sebanyak 723 ribu orang.

“Jadi, aneh sehingga Kepala Bappenas ini menyederhanakan persoalan. Karena masalah terbesar hari ini di Indonesia adalah persoalan lapangan kerja. Persoalan lapangan kerja ini juga lah yang membuat banyak masyarakat kelaparan, stunting, tidak bisa beli makanan bergizi, apalagi untuk memenuhi nutrisi,” sambungnya.

Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi Solo

Pekerja menyiapkan paket makanan yang akan didistribusikan pada program makan bergizi gratis (MBG) di dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Jebres, Solo, Jawa Tengah, Senin (13/1/2025). Selain untuk didistribusikan ke murid penerima manfaat, dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi tersebut nantinya juga menyiapkan paket makanan bergizi untuk balita, ibu hamil, hingga ibu menyusui.ANTARAFOTO/Maulana Surya/YU

Media khawatir, jika pemerintah hanya berfokus pada pelaksanaan program MBG tanpa menggenjot perluasan lapangan pekerjaan, masalah kemiskinan dan pengangguran tidak akan bisa teratasi. Padahal, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin pada September 2024 tercatat sebanyak 24,06 juta orang, atau masih sebesar 8,57 persen dari total populasi Indonesia.

Sementara itu, dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2024, BPS melaporkan bahwa masih ada sebanyak 4,91 persen tingkat pengangguran terbuka (TPT). Meski menurun dibanding periode Agustus 2023 yang sebesar 5,32 persen, TPT Agustus 2024 menunjukkan bahwa dari 100 orang angkutan kerja, terdapat sekitar 5 orang penganggur.

Belum lagi, berdasar data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), di sepanjang 2024 ada sekitar 80 ribu pekerja terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK). Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), pun mencatat, pada dua bulan pertama 2025 sudah ada sebanyak 40 ribu pekerja kehilangan sumber pendapatannya.

“Makanya gelombang PHK-nya kan harus di-stop, harus ditahan. Karena kalau tidak, ini kita ketika pemerintah itu mendorong Makan Bergizi Gratis, di sisi yang lain orang-orang yang kekurangan pangan, bahkan kekurangan gizi meningkat akibat orang tuanya kehilangan pekerjaan. Jadi artinya, penciptaan lapangan pekerjaan itu tetap menjadi sesuatu hal yang prioritas mestinya,” tegas Media.

Pemerintah memang membutuhkan langkah-langkah yang dapat mengatasi baik itu masalah pengangguran maupun kekurangan gizi dalam jangka pendek. Namun, MBG saja tidak cukup, meski pemerintah memprediksi akan ada 1,9 juta lapangan pekerjaan yang terbuka dengan pelaksanaan program flagship Prabowo ini. Bahkan, program ini juga diharapkan bisa menurunkan tingkat kemiskinan hingga 5,8 persen.

“Jadi, kita harus mencari kebijakan dalam jangka menengah dan panjang, supaya gelombang PHK ini tidak terjadi secara terus-menerus yang nantinya tentu saja akan berdampak terhadap bukan hanya peningkatan jumlah pengangguran, tapi juga penurunan pendapatan masyarakat dan makin banyaknya jumlah orang yang kekurangan pangan,” tambah Media.

Sementara itu, agar MBG dapat efektif dalam pembukaan lapangan pekerjaan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) telah menjalin kerja sama dengan Badan Gizi Nasional (BGN). Karenanya, sampai saat ini Kemnaker dengan BGN masih terus memetakan bagaimana caranya agar setiap satuan pelayanan MBG dapat berkontribusi dalam menciptakan lapangan kerja baru.

Selain itu, bagaimana pula program MBG dapat dimanfaatkan untuk saling berkolaborasi dalam peningkatan standarisasi pelatihan calon tenaga kerja maupun pekerja yang telah terlibat dalam program ini. Dus, Balai Latihan Kerja (BLK) yang dimiliki Kemnaker bisa menjadi etalase pelatihan bagi pelaksanaan program MBG.

“Ini adalah sebuah kolaborasi yang luar biasa. Dalam waktu yang tidak lama lagi, BLK-BLK Kemnaker akan menghadirkan satuan pelayanan program MBG. Di sanalah akan terwujud ekosistem mulai dari pelatihan, praktik, hingga para peserta siap terjun langsung dalam program MBG,” kata Yassierli, dalam keterangan resminya, dikutip Senin (24/3/2025).

Baca juga artikel terkait MAKAN BERGIZI GRATIS atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Anggun P Situmorang