tirto.id - Polres Mojokerto, Jawa Timur, berhasil membekuk sindikat pembuat dan pengedar uang palsu (upal). Delapan orang tersangka dari berbagai daerah, yang salah satunya adalah mantan Aparatur Sipil Negara (ASN) berhasil diamankan petugas Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Mojokerto.
Kedelapan tersangka tersebut antara lain, AUW (61) asal Mojotengah, Jombang; SD (47) dari Kranggan, Mojokerto; UWA (50) asal Magersari, Mojokerto; dan MF (37) asal Bangkalan. Kemudian, ada pula SW (52) asal Bantul, Yogyakarta; HM (42) dari Menganti, Gresik; DG alias Mbah Dul (46) asal Sooko, Mojokerto; dan HM (42) dari Benowo, Surabaya.
Kasat Reskrim Polres Mojokerto, AKP Nova Indra Pratama, mengatakan, terungkapnya sindikat ini bermula dari penangkapan AUW saat berusaha mengedarkan uang palsu di daerah pemakaman Mbah Surgi, di Dusun Meduran, Desa Awang-Awangan, Kecamatan Mojosari, Mojokerto, Jawa Timur pada Minggu (9/2/2025) sekitar pukul 18.00 WIB.
“Saat diamankan, tersangka AUW membawa 59 lembar uang palsu pecahan Rp50 ribu. Uang itu didapat dari tersangka S (SD), yang dibeli dengan harga Rp1 juta,” kata dia, dalam keterangannya, dikutip Jumat (21/3/2025).
Uang tersebut, diketahui dapat digunakan untuk membeli uang palsu seharga Rp3 juta. Sementara, SW sebelumnya membeli uang palsu dari tersangka utama, UWA seharga Rp700 ribu.
Setelah ditelisik lebih jauh, pembuatan uang palsu diketahui mendapatkan modal dari HM senilai Rp 200 juta, dengan produksi dilakukan di sebuah rumah kontrakan di Desa Jambuwok, Trowulan, Mojokerto. Selain memberikan modal, HM juga menyediakan peralatan, termasuk mesin fotokopi, pemotong kertas dan peralatan sablon serta bahan baku untuk mencetak uang palsu. Sedangkan, peralatan pendukung disediakan oleh Mbah Dul.
Selanjutnya, HM dan Mbah Dul merekrut MF untuk mendesain uang palsu dan SW untuk mencetak dan memotong upal sehingga siap diedarkan bersama MJ.
“Uang palsu yang diproduksi memiliki kualitas cukup baik. Sehingga, mampu lolos dari deteksi alat sinar UV. Mereka menjual uang palsu tersebut dengan harga 1 banding 3 kepada para pengedar,” jelas Nova.
Dari tangan para tersangka, Polres Mojokerto berhasil mengamankan barang bukti uang palsu pecahan Rp100 ribu senilai Rp403,25 juta, 59 lembar pecahan Rp50.000 senilai Rp2,95 juta, 288 lembar pecahan Rp50.000 bernilai Rp14,4 juta, pecahan Rp100.000 bernilai Rp67 juta, dan pecahan Rp100 ribu bernilai Rp304,5 juta.
“Selain upal, barang bukti lain yang kita amankan di antaranya, satu unit detektor uang sinar UV, enam ponsel, uang asli senilai Rp1.050.000 hasil penjualan upal, dua unit sepeda motor, beberapa kartu ATM, dan buku rekening milik tersangka, peralatan percetakan uang palsu, termasuk mesin fotokopi, printer, dan tinta khusus,” rinci Nova.
Kemudian, ada pula 1 bendel pita pengaman palsu, 1 botol serbuk tinta magnet, serta peralatan sablon beserta pewarna. Atas kejahatan ini, para pelaku dijerat dengan Pasal 244 dan 245 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pemalsuan uang, dengan ancaman hukuman hingga 15 tahun penjara.
“Kasus ini menunjukkan aparat dalam memberantas peredaran uang palsu yang dapat merugikan perekonomian di masyarakat,” tutur Nova.
Penangkapan pengedaran uang palsu ini menjadi salah satu yang biasa terungkap menjelang maupun saat Ramadan. Pakar Pasar Uang, Ibrahim Assuaibi, menilai, dengan pelemahan daya beli masyarakat yang tercermin dari deflasi dua bulan beruntun hingga masih terus berlanjutnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), peredaran uang palsu akan semakin banyak.
Berdasar data Bank Indonesia (BI), pada 2019 uang rupiah palsu yang berhasil disisir di antara satu juta uang yang beredar (part per million/ppm) ada sebanyak 9 lembar. Kemudian, pada 2020-2023, temuan rupiah palsu turun jadi 5 lembar dalam 1 juta lembar uang yang beredar. Sedangkan pada 2024, tercatat hanya ada 2 lembar uang palsu dalam 1 juta uang rupiah yang beredar.
“Dalam kondisi saat ini, apalagi pengangguran di mana-mana. Kemudian, orang lulusan sarjana pun sekarang bingung untuk mencari pekerjaan. Sehingga, di situ lah orang-orang memanfaatkan situasi untuk mengedarkan uang palsu,” ujar Ibrahim, saat dihubungi Tirto, Jumat (21/3/2025).
Uang Palsu Beredar dalam Kemasan Apik
Parahnya, seiring dengan berkembangnya teknologi, uang palsu yang beredar juga dikemas semakin apik, sehingga dapat lolos dari alat pengecekan uang yang menggunakan sinar UV. Tidak hanya itu, pengedaran uang palsu juga seringkali melibatkan pula para pegawai bank. Sehingga, melalui kerja sama ini uang palsu dapat keluar dari mesin-mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) milik perbankan nasional.
Tak jarang, uang palsu yang keluar dari mesin ATM juga dibuat dengan menggunakan cara dan bahan yang sangat mirip dengan uang rupiah asli. Alhasil, blind code atau garis emas yang menjadi salah satu unsur pengaman uang, tidak bisa membaca sensor UV yang biasa digunakan untuk mengecek keaslian uang.
“Nah, ini lah akibatnya oknum-oknum, bisa saja orang-orang (pemalsu uang) bekerja sama dengan oknum perbankan untuk memasukkan uang ke ATM,” kata Ibrahim.
Sayangnya, terkait peredaran uang palsu, aparat penegak hukum (APH), dalam hal ini kepolisian, hanya bertindak ketika ada laporan. Padahal, untuk masa-masa seperti sekarang, ia curiga banyak uang palsu yang sebenarnya telah beredar di tempat-tempat sibuk, seperti pasar. Bahkan, di pasar, baik pembeli maupun penjual tidak akan sempat memperhatikan apakah uang yang diterima maupun yang digunakan untuk bertransaksi adalah uang asli atau bukan.
“Karena hampir semua sama. Uang asli dengan uang palsu itu sama, yang bisa membedakan mungkin benang-benang yang warnanya emas. Kemudian, uang palsu pun juga pada saat diteropong menggunakan alat detector itu kan kelihatan juga garisnya dan uang palsu pun juga sama. Nah, ini yang bisa membedakan sebenarnya di perbankan, pada saat kita setor uang,” jelasnya.
Sementara itu, Pakar Pasar Uang, Ariston Tjendra, menilai meski data BI menunjukkan bahwa peredaran uang palsu semakin turun tiap tahunnya, namun sama halnya dengan kasus kriminalitas lainnya, para kriminal selalu mencari kesempatan dalam kesempatan. Apalagi, biasanya akan terjadi banyak transaksi ritel untuk memenuhi kebutuhan bulan Puasa atau hari raya ketika memasuki periode Lebaran.
Biasanya, para pengedar uang palsu akan beraksi di tengah ramainya pembeli dan saat penjual sedikit lengah, sehingga tidak memeriksa kondisi uang yang diterimanya. Tempat penukaran uang tidak resmi yang sering digunakan masyarakat untuk menukar uang baru pun rentan dengan pemalsuan.
“Hal-hal ini yang membuat peredaran uang palsu di musim Lebaran meningkat,” tuturnya, kepada Tirto, Jumat (21/3/2025).
Meski begitu, menurut Ariston, tren turun peredaran uang palsu bisa jadi juga disebabkan oleh semakin canggihnya uang yang diproduksi. Sehingga, tanda-tanda keaslian uang tersebut sulit untuk dipalsukan.
Kondisi inilah yang kemudian sangat berbahaya, baik bagi masyarakat, dunia usaha maupun negara. Sementara itu, secara mikro, peredaran uang palsu jelas bakal merugikan para pemilik usaha dan pedagang.
“Secara makro, kalau memang masif dan tidak tertangani dengan baik oleh aparat, menyebabkan inflasi karena jumlah uang beredar bertambah,” sambung Ariston.
Sementara menurut Pakar Pasar Uang, Ibrahim Assuaibi, masyarakat atau orang yang tak sengaja maupun tak tahu sedang melakukan transaksi dengan uang palsu juga bisa berpotensi mendapat bahaya. Sebab, bisa jadi APH menilai bahwa orang tersebut adalah salah satu dari sekian banyak pengedar uang palsu. Padahal, bisa saja ia adalah korban yang tak tahu mendapat uang palsu dari mana.
Karenanya, Ibrahim pun menyarankan, agar setidaknya orang dapat menyimpan bukti hasil tarik tunai dari ATM. Hal ini tak lain untuk mengantisipasi bahaya jika tak sengaja mendapat ‘jackpot’ uang palsu dari mesin ATM.
“Jadi, apabila kita menarik dana dari ATM, jangan lupa struk itu dibawa. Karena pas nanti dia beli di toko-toko yang istilahnya toko-toko yang besar, karena mereka itu sudah bekerjasama dengan Kepolisian, terutama dengan keamanan setempat, dia tinggal pencet tombol, kemudian ditangkap. Dan kita kalau mempunyai bukti yang kuat, ya ini bisa jadi tersangka,” jelas dia.
Meski jumlah temuan uang palsu di Indonesia, khususnya Papua Barat sudah turun signifikan, namun Kepala Unit Pengelolaan Uang Rupiah BI Papua Barat, Gerhad Revilino, mengatakan bahwa pihaknya akan tetap mewaspadai peredaran uang palsu menjelang Lebaran. Karenanya, salah satu yang dilaksanakan BI adalah dengan menggencarkan sosialisasi kepada masyarakat.
"Agenda sosialisasi ke sejumlah titik sudah dilakukan sejak Januari 2025, untuk meningkatkan pemahaman masyarakat," kata Gerhad, dikutip Antara, Jumat (21/3/2025).
Tak sendiri, sosialisasi dilakukannya dengan bekerja sama dengan dengan pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi keagamaan, serta organisasi kemasyarakatan. Di sisi lain, BI juga menjamin keandalan dan kelancaran layanan sistem keuangan digital yang meliputi kartu kredit, Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS), layanan transfer antarbank melalui BI-FAST, sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI), hingga Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) menjelang Idulfitri 1446 Hijriah, guna mengantisipasi peningkatan peredaran uang palsu.
“Masyarakat tidak perlu khawatir, pengawasan keandalan sistem terus kami jaga,” imbuh Gerhad.
Selain itu, BI juga mengimbau masyarakat untuk tidak mencuci uang rupiah, karena tindakan tersebut dapat berpotensi merusak mata uang Garuda. Sebagaimana Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang Pasal 25 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang merusak, memotong, menghancurkan, dan/atau mengubah Rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara.
“Bank Indonesia terus mengedukasi masyarakat melalui program Cinta, Bangga, dan Paham (CBP) rupiah yang mengajak masyarakat untuk selalu merawat rupiah yang dimiliki guna menjaga kualitas rupiah dengan baik serta mudah dikenali ciri keasliannya,” ucap Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, melalui pesan singkat kepada Tirto, Jumat (21/3/2025).
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Anggun P Situmorang