Menuju konten utama

Pelemahan Rupiah Mesti Ditekan agar Tak Bebani Keuangan Negara

Pelemahan nilai tukar rupiah yang terus berlanjut akan berdampak signifikan terhadap postur APBN 2025.

Pelemahan Rupiah Mesti Ditekan agar Tak Bebani Keuangan Negara
Petugas menjunjukkan uang pecahan dolar AS dan rupiah di gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Jumat (17/1/2025). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan ditutup menguat 14 poin menjadi Rp16.362 per dolar AS. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/tom.

tirto.id - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup menguat pada perdagangan Selasa (4/3/2025). Mengacu data Bloomberg, rupiah tercatat naik tipis 35 poin atau 0,21 persen, dari sebelumnya Rp16.480 per dolar AS menjadi Rp16.445 per dolar AS. Kendati demikian, posisi tersebut masih lebih tinggi dibandingkan pembukaan perdagangan Selasa pagi yang senilai Rp16.436 per dolar AS.

Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, menilai bahwa penguatan rupiah terjadi karena sikap Pemerintah AS yang ingin meredakan konflik antara Ukraina dengan Rusia. Selain itu, perseteruan antara Presiden AS, Donald Trump, dan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, di Ruang Oval Gedung Putih berpotensi berujung pada penghentian sementara bantuan militer dari AS ke Ukraina. Sebaliknya, AS mempertimbangkan pencabutan beberapa sanksi kepada Rusia.

“Hari ini, Trump mengumumkan kembali bea impor 25 persen untuk Eropa ini berlaku. Nah, ini yang membuat rupiah mengalami penguatan, tapi indeks harga saham gabungan (IHSG) langsung merah, kan. Kemudian menyusul lagi rupiah mengalami penurunan,” kata Ibrahim dalam keterangannya, Selasa (4/3/2025).

Meski telah menunjukkan penguatan, rupiah masih berada dalam bayang-bayang sentimen pasar atas kebijakan tarif perdagangan tinggi Trump. Mundur ke beberapa hari yang lalu, tepatnya pada Jumat (28/2/2025), rupiah ditutup turun ke level Rp16.596 per dolar AS—itu menjadi yang terendah sejak 1998.

Pun, pada perdagangan di hari yang sama, rupiah sempat bertengger di level Rp16.530, lebih rendah dari posisi April 2020, ketika Pandemi COVID-19 mulai merebak. Dalam sepekan, posisi rupiah di pasar spot telah terdepresiasi 1,7 persen dan terkoreksi sebesar 1,75 persen di Sepanjang Februari 2025.

Menurut Ibrahim, pelemahan rupiah ini sejatinya telah terjadi sejak November tahun lalu, ketika Trump berhasil memenangkan kembali Pemilihan Presiden AS. Janji kebijakan proteksionisme, salah satunya melalui penerapan tarif perdagangan tinggi, yang digaungkan Trump selama masa kampanye berhasil membuat dolar AS perkasa.

“Nah, sampai kapan rupiah ini kira-kira akan melemah? Ya, sampai Trump ini tidak lagi membahas perang dagang. Karena, yang ditakutkan dari perang dagang ini pada saat Amerika memberikan bea impor 25 persen [untuk baja dan aluminium] plus 10 persen [kepada Cina], berarti 35 persen,” jelas Ibrahim.

Teranyar, mulai Senin (3/3/2025), Trump kembali memukul Cina dengan penerapan tarif impor sebesar 20 persen, lebih tinggi dari sebelumnya yang hanya 10 persen. Trump berdalih bahwa Beijing gagal menghentikan pengiriman obat-obatan terlarang (fentanyl) ke negaranya.

Selain itu, per Selasa (4/3/2025), tarif 25 persen atas impor dari Meksiko dan Kanada resmi berlaku. Alasannya sama, Trump ingin kedua negara tetangga tersebut menghentikan perdagangan fentanyl dan juga imigrasi ilegal ke AS. Trump juga ingin menyamakan keseimbangan perdagangan dengan kedua negara itu dan mendorong lebih banyak pabrik untuk direlokasi ke AS.

“Jadi, kalau perang dagang masih terus terjadi sampai empat tahun ke depan, kemudian juga konflik antara Israel dan Hamas, kemudian Rusia-Ukraina juga terus memanas, ini yang membuat rupiah akan terus melemah. Jadi, rupiah mendekati Rp17.000 [per dolar AS] bisa saja terjadi,” ucap Ibrahim.

Respons yang Diharapkan dari Pemerintah

Merespons pelemahan rupiah yang terjadi belakangan, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan bahwa pemerintah masih akan terus memantau pergerakan rupiah dalam jangka panjang.

Pada saat yang sama, pemerintah juga memastikan untuk terus memperkuat fundamental ekonomi Indonesia supaya rupiah tetap berdaya tahan di tengah gejolak ekonomi dunia.

“Ya, nanti kita lihat. Itu kan kita lihat, monitornya bukan harian,” ujar Airlangga saat ditemui usai peluncuran program Friday Barakah di Hypermart Puri Indah, Jakarta Barat, dikutip Selasa (4/3/2025).

Sementara itu, menurut Global Markets Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, dampak pelemahan rupiah terhadap APBN serta keuangan negara saat ini masih belum terlalu mengkhawatirkan. Sebab, ketika rupiah melemah, harga minyak dunia juga sedang mengalami tren penurunan. Pun, impor Indonesia cukup terkendali.

Mengutip Bloomberg, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman April 2025 di New York Mercantile Exchange senilai 68,16 dolar AS per barel—turun dari posisi sebelumnya yang masih sebesar 68,37 dolar AS per barel.

Sedangkan, berdasar catatan Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor Indonesia Januari 2025 mencapai 18,00 miliar dolar AS—anjlok 15,18 persen dibanding posisi Desember 2024 yang senilai 21,22 miliar dolar AS serta turun 2,67 persen dibanding posisi Januari 2024 yang sebesar 18,49 miliar dolar AS.

“Karena, selama ini justru yang menjadi beban APBN kita itu sebenarnya adalah lonjakan subsidi BBM atau lonjakan subsidi energi. Karena harga minyak yang melambung tinggi, ditambah kondisi rupiahnya melemah, kalau kondisi itu terjadi, barulah APBN kita mengkhawatirkan. Tapi, sekarang harga minyaknya justru anjlok, tapi nilai tukar rupiahnya melemah,” jelas Myrdal, saat dihubungi Tirto, Selasa (4/3/2025).

Sebaliknya, perkasanya dolar justru membuat penerimaan negara dari sisi pajak berpotensi mengalami lonjakan. Pada kondisi ini, industri-industri berbasis ekspor, baik migas maupun nonmigas, justru akan mendulang untung.

“Karena, ya pendapatan ekspor kita meningkat di saat rupiah kita melemah dan di sisi yang lain juga, ya kalau kita lihat, untuk aktivitas domestik kan masih cukup stabil ya sekarang,” imbuh dia.

Hanya saja, untuk menjaga agar penerimaan negara tumbuh dari peningkatan nilai tukar dolar AS, pemerintah juga harus memastikan agar perekonomian domestik tetap berjalan dengan kondusif.

Pada saat yang sama, pemerintah juga harus mempercepat penggunaan dana hasil realokasi anggaran maupun rekonstruksi anggaran sebesar Rp306 triliun yang telah dilakukan sebelumnya.

“Walaupun memang ya dibandingkan dengan porsi total spending kita atau total belanja kita untuk tahun ini kan masih jauh ya. Total alokasi spending kita Rp3.621,4 triliun rupiah, sementara alokasi anggarannya kan Rp306,7 triliun. Dan ini untuk Makan Bergizi Gratis maupun juga modalnya Danantara, maupun juga program-program terkait dengan kemandirian pangan maupun energi,” tutur dia.

Sebaliknya, jika dampak dari realokasi anggaran tersebut tak kunjung terlihat, Myrdal khawatir akan terjadi keterlambatan alias lagging terhadap aktivitas belanja pemerintah. Kondisi itu akan membuat ekonomi nasional terhambat, karena belanja pemerintah memiliki porsi cukup besar dalam pertumbuhan ekonomi domestik.

“Sehingga, aktivitas ekonomi kita juga diharapkan bisa masih terus berjalan dengan normal,” sambungnya.

Hati-Hati Beban Utang Luar Negeri

Sementara itu, menurut Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, pelemahan nilai tukar rupiah yang terus berlanjut akan berdampak signifikan terhadap postur APBN 2025. Berdasarkan analisis sensitivitas APBN 2025, depresiasi rupiah akan meningkatkan beban pembayaran utang luar negeri. Pasalnya, sebagian besar utang pemerintah dalam denominasi dolar AS.

Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa pada Triwulan IV 2024 utang luar negeri (ULN) Indonesia mencapai 424,8 miliar dolar AS, lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang sebesar 428,1 miliar dolar AS. Pun, secara tahunan (year on year/yoy), nilai utang luar negeri Indonesia juga mengalami tren penurunan sebesar 4 persen.

“Hal ini akan berdampak pada meningkatnya alokasi belanja negara, terutama dalam komponen pembayaran bunga utang,” kata Josua kepada Tirto, Selasa (4/3/2025).

Selain itu, pelemahan rupiah juga berpotensi meningkatkan harga barang dan jasa impor, termasuk energi dan bahan baku industri. Dari data BPS, pada Januari 2025 saja, nilai impor minyak dan gas bumi (migas) telah mencapai 2,48 miliar dolar AS.

“Yang pada akhirnya dapat menaikkan inflasi domestik serta biaya subsidi energi yang harus ditanggung pemerintah,” tambahnya.

Meski begitu, Josua mengakui bahwa pelemahan rupiah dapat meningkatkan penerimaan negara dari pendapatan negara bukan pajak (PNBP), terutama yang berasal dari sektor sumber daya alam (SDA), seperti migas dan pertambangan. Pasalnya, harga komoditas umumnya dalam denominasi dolar AS.

Namun, dampak positif itu mungkin tidak cukup untuk mengimbangi kenaikan belanja negara akibat depresiasi rupiah.

Selain itu, pelemahan rupiah dapat memicu capital outflow alias keluarnya modal asing yang berpotensi menekan pasar keuangan domestik dan meningkatkan volatilitas imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN).

Soal ini, BI melaporkan, modal keluar dari Indonesia pada pekan terakhir Februari mencapai Rp10,33 triliun. Itu berasal dari aksi jual di pasar saham sebesar Rp7,31 triliun, SBN senilai Rp1,24 triliun, dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) Rp1,78 triliun.

“Jika imbal hasil SBN meningkat, maka biaya penerbitan utang baru juga akan naik, yang pada akhirnya berkontribusi pada peningkatan defisit anggaran dan kebutuhan pembiayaan yang lebih besar,” tutur Josua.

Dalam rangka mitigasi risiko pelemahan rupiah, pemerintah memang telah mengalokasikan dana cadangan untuk menstabilkan dampak perubahan asumsi ekonomi makro. Dalam APBN 2025, cadangan anggaran yang masuk dalam program di bawah satuan 999.08 itu dialokasikan sebesar Rp491,2 triliun.

Namun, fleksibilitas fiskal tetap menjadi tantangan karena pelemahan rupiah cenderung lebih berdampak besar terhadap belanja negara dibandingkan dengan peningkatan pendapatan negara.

“Oleh karena itu, strategi pengelolaan utang, optimalisasi pendapatan negara, serta kebijakan stabilisasi nilai tukar akan menjadi faktor kunci dalam menjaga keberlanjutan fiskal pada tahun 2025,” tegas Josua.

Menanggapi kondisi yang terjadi, Direktur Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas BI, Edi Susianto, mengatakan bahwa dolar AS menguat terhadap hampir setiap mata uang di dunia sebagai imbas kebijakan tarif perdagangan tinggi AS. Meski begitu, BI akan terus mengawal pergerakan rupiah dan selalu berada di pasar untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan pasokan valuta asing (valas) sehingga fundamental mata uang Garuda tetap terjaga.

“Tentu BI terus mengawal. Kami akan bold masuk pasar untuk menjaga keseimbangan supply-demand valas di pasar agar market confidence tetap terjaga,” kata Edi saat dihubungi Jumat (28/2/2025).

Baca juga artikel terkait PELEMAHAN RUPIAH atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi