tirto.id - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada penutupan sesi I, Senin (10/2/2025), tercatat turun 111,9 poin atau 1,66 persen ke level 6.630,6. Penurunan ini melanjutkan pelemahan yang terjadi pada pembukaan perdagangan pagi, saat IHSG berada pada level 6.699 atau turun 0,64 persen dari perdagangan Jumat (7/2/2025) lalu.
Berdasar catatan PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), dalam sepekan terakhir (3-7 Februari 2025), IHSG anjlok 5,16 persen dengan ditutup pada level 6.742.
Menurut Equity Analyst IPOT, Dimas Krisna Ramadani, salah satu penyebab pelemahan harga saham dalam beberapa pekan terakhir adalahkebijakan-kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, yang cenderung kontroversial. Ke depan pun, kebijakan-kebijakan Trump dinilai masih akan menghantui pasar modal nasional.
“Sejak Donald Trump dilantik menjadi Presiden AS yang kedua kalinya, banyak statement maupun kebijakan yang dikeluarkan berdampak signifikan terhadap pergerakan market global. Terakhir, ia merencanakan untuk menunda kenaikan tarif impor barang-barang dari Meksiko dan Kanada selama 1 bulan,” kata Dimas dalam risetnya, dikutip Senin (10/2/2025).
Di sisi lain, Gedung Putih meneruskan pengenaan tarif impor sebesar 10-15 persen terhadap barang-barang dari Cina. Sebagai balasan, Beijing juga mengenakan tarif tambahan 15 persen terhadap batu bara dan gas alam cair (LNG) asal AS mulai pagi tadi.
Kemudian, Cina juga mengenakan tarif 10 persen untuk sejumlah barang lain dari AS, termasuk mesin pertanian, kendaraan besar, hingga truk pikap.
“Pada Jumat lalu, menurut laporan dari Kantor Kepresidenan AS, dinyatakan bahwa Donald Trump akan segera mengumumkan kebijakan ‘reciprocal tariff’ pada minggu ini. Apabila sesuai dengan laporan tersebut, maka besar kemungkinan market mengalami volatilitas yang besar, baik menjelang, saat, ataupun sesudah pengumuman tersebut,” ramal Dimas.
Pasar Keuangan Nasional Dihantui
Kebijakan-kebijakan kontroversial Trump, sayangnya, tak cuma menghantui pasar modal, tapi juga keseluruhan pasar keuangan nasional, termasuk pasar obligasi atau surat utang.
Berdasarkan data BI, pada periode transaksi 3-6 Februari 2025, nonresiden alias investor asing tercatat beli neto Rp1,45 triliun. Artinya, ada arus modal masuk (capital inflow) ke pasar keuangan Indonesia.
“Terdiri dari jual neto sebesar Rp3,29 triliun di pasar saham, beli neto Rp9,14 triliun di pasar SBN (Surat Berharga Negara/obligasi yang dirilis pemerintah) dan jual neto Rp4,40 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI),” ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Ramdan Denny Prakoso, dalam keterangan resminya, dikutip Senin (10/2/2025).
Berdasar data settlement sampai dengan 6 Februari 2025, investor asing tercatat jual neto sebesar Rp2,85 triliun di pasar saham, beli neto Rp10,73 triliun di pasar SBN, dan beli neto Rp10,44 triliun di SRBI.
Dengan kondisi ini, premi credit default swap (CDS) 5 tahun per 6 Februari 2025 sebesar 74,98 basis poin (bps), turun dibanding periode 31 Januari 2025 yang masih sebesar 75,32 bps.
Perlu diketahui, CDS merupakan sejenis perlindungan atau proteksi atas risiko kredit (credit event).
“Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait serta mengoptimalkan strategi bauran kebijakan untuk mendukung ketahanan eksternal ekonomi Indonesia,” jelas Denny sebagai solusi untuk menjaga pasar keuangan nasional.
Sebelumnya, Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) BI, Juli Budi Winantya, menjelaskan bahwa BI akan terus mewaspadai kebijakan-kebijakan Trump, terutama terkait penerapan tarif tinggi terhadap barang-barang impor asal Cina.
Pasalnya, sebagai salah satu mitra dagang utama Indonesia, tarif perdagangan tinggi dari AS akan berdampak pada nilai tukar rupiah, inflasi, hingga pertumbuhan ekonomi nasional ke depan.
“Kebijakan Trump tentu akan kami lihat seperti apa dampaknya ke nilai tukar rupiah, inflasi, dan bagaimana keperluan untuk dorong pertumbuhan ekonomi ke depan. Tentunya, dari waktu ke waktu, dalam Rapat Dewan Gubernur akan terus kami lihat dinamikanya seperti apa,” jelas Juli dalam acara Pelatihan Wartawan di Kantor Perwakilan Wilayah BI Banda Aceh, Jumat (7/2/2025).
Soal dampak, Juli menilai bahwa kebijakan ekonomi AS, khususnya terkait tarif perdagangan tinggi, akan membuat harga barang dan jasa di AS mengalami kenaikan. Hal itulah yang kemudian mendongkrak tingkat inflasi AS dari sisi permintaan (demand).
“Yang kedua dari sisi tax (pajak). Jadi, ada insentif lagi buat ekonomi Amerika Serikat, terutama dari sisi korporasi, yang ini juga akan meningkatkan demand,” ujar Juli, Jumat (7/2/2025).
Pemotongan tarif pajak korporasi, lanjut Juli bakal memunculkan dua implikasi, di antaranya mendorong pertumbuhan ekonomi AS menjadi lebih tinggi yang disertai dengan tingkat inflasi tinggi pula, seiring dengan peningkatan permintaan dan harga barang serta jasa.
Kebijakan itu juga berpotensi memperlebar defisit anggaran negara AS karena pembiayaan atau utang yang lebih besar.
“Hasilnya, ini berdampak ke yield, imbal hasil USD, baik itu yang jangka pendek, jangka panjang,” lanjut Juli.
Selanjutnya, kenaikan tingkat inflasi juga disebabkan oleh kebijakan pengetatan tenaga kerja asing sebagai mitigasi akan adanya tenaga kerja ilegal.
“Dan ini dampaknya adalah pengetatan tenaga kerja di Amerika Serikat. Ini juga implikasinya adalah meningkatkan inflasi,” kata Juli.
Tingkat inflasi tinggi AS memunculkan ketidakpastian global. Pasalnya, inflasi tinggi membuat The Federal Reserve (The Fed) berpotensi akan lebih lambat dalam menjalankan kebijakan penurunan suku bunga acuan (Fed Fund Rate/FFR).
Pada gilirannya, suku bunga AS yang tetap tinggi menjadikan imbal hasil surat utang AS (US Treasury/UST) menjadi lebih menarik untuk dikoleksi ketimbang surat-surat utang dari negara lain.
“Dan ini yang mengakibatkan ketidakpastian di pasar global,” tukas Juli.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai bahwa tarif perdagangan tinggi berpotensi menekan ekspor Indonesia, terutama pada produk bernilai tambah tinggi—seperti elektronik, mesin dan suku cadang otomotif.
Hal ini dapat berdampak negatif pada prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia dan stabilitas mata uang rupiah.
Dari sisi inflasi dan kebijakan moneter, kebijakan perdagangan Trump yang proteksionis dapat meningkatkan harga barang impor di AS dan pada akhirnya berkontribusi pada tekanan inflasi. Artinya, jika inflasi AS meningkat lebih cepat dari perkiraan, The Fed kemungkinan besar akan mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama.
“Hal ini akan berdampak pada kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS atau UST, yang dapat memicu arus keluar modal dari negara berkembang seperti Indonesia, mengingat perbedaan imbal hasil yang lebih menarik di AS,” kata Josua saat dikonfirmasi Tirto, Senin (10/2/2025).
Di Indonesia, kebijakan ini dapat memberikan tekanan terhadap SBN. Pasalnya, kenaikan kepemilikan investor asing pada SBN pada 2024 meningkat hingga US$3,3 miliar dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat meningkat US$5,14 miliar.
Penurunan aliran modal asing pada SBN sepanjang tahun lalu pada akhirnya juga mendorong kenaikan imbal hasil SUN 10 tahun sekitar 52 bps di sepanjang 2024. Jika ekspektasi kenaikan imbal hasil UST terus meningkat, investor asing bisa jadi semakin enggan untuk menahan kepemilikan mereka atas SBN dan hal itu dapat menyebabkan kenaikan yield obligasi Indonesia.
“Dengan spread antara UST dan SBN yang semakin sempit, risiko crowding-out bagi SBN menjadi lebih besar sehingga Pemerintah Indonesia harus menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi untuk menarik investor, yang dapat meningkatkan beban bunga utang,” jelas Josua.
Fokuslah Industrialisasi
Keluarnya investor asing dari pasar keuangan berpotensi memberikan tantangan besar kepada perekonomian nasional. Apalagi, APBN 2025 membutuhkan tambahan hingga Rp642,6 triliun untuk menjalankan program-program prioritas Kabinet Merah Putih, seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Meski begitu, analis pasar uang, Ibrahim Assuaibi, menilai bahwa baik pemerintah maupun investor bisa sedikit tenang. Pasalnya, tak seperti di awal 2000-an, jumlah investor domestik di pasar keuangan nasional kini telah membesar.
Pada 2024, PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat bahwa dari total investor pasar modal sebanyak 14,87 juta, 99,73 persennya adalah investor lokal. Sementara itu, pasar SBNpunya 1,20 juta investor dengan rincian 1,63 persen investor asing dan 98,37 persen investor lokal.
Sebagai perbandingan, pasar modal Indonesia pada 2023 punya total 12,17 juta investor dengan komposisi 0,31 persen investor asing dan 99,69 persen investor domestik. Sedangkan untuk investor asing di pasar SBN tercatat sebanyak 1,86 persen dan investor lokal 98,14 persen dari jumlah investor sebanyak 1,00 juta.
“Saat ini, untungnya 70 persen itu yang membeli [obligasi] adalah pengusaha-pengusaha dalam negeri. Perbankan, swasta, maupun nonperbankan. Sehingga, pemerintah semakin nyaman, walaupun terjadi kondisi eksternal yang terus memanas,” ujar Ibrahim kepada Tirto, Senin (10/2/2025).
Ketangguhan investor domestik ini, menurutnya, telah terlihat saat krisis ekonomi akibat Pandemi COVID-19 pada 2020-2022 lalu. Saat itu, obligasi yang dibeli oleh BI, Bursa Efek Indonesia (BEI) hingga perbankan swasta seperti PT Bank Central Asia (BCA), mampu membantu pemerintah membiayai operasional rumah-rumah sakit.
Karenanya, alih-alih mengkhawatirkan arus modal masuk atau keluar di pasar keuangan nasional, pemerintah lebih baik fokus menyudahi tren pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor-sektor industri dan memperluas kesempatan kerja bagi masyarakat.
Menurut Ibrahim, dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi, Indonesia dapat lebih banyak mendatangkan investor ke pusat-pusat industri yang sudah dan sedang dibangun.
Saat hal itu terjadi, pertumbuhan ekonomi ke depan tak hanya akan ditopang oleh konsumsi masyarakat saja, melainkan juga oleh kinerja industri dan investasi. Akhirnya, kondisi ini akan membuat investor-investor di pasar keuangan lebih yakin untuk menanamkan modalnya di Tanah Air.
“Ini yang harus dilakukan oleh pemerintah saat ini dan pemerintah saat ini memang sedang fokus di industrialisasi, itu dilakukan tahun 2025 sampai tahun 2029, karena itu bisa diserap untuk kelas menengah, ya. Agar [kelas menengah] kembali berjaya,” imbuh Ibrahim.
Investor Asing Tetap Krusial
Kendati jumlah investor domestik di pasar keuangan nasional mendominasi, tapi secara aset, nilai investasi yang dimiliki asing masih cukup besar.
Masih berdasar data KSEI, total aset investor asing yang tercatat di C-BEST (The Central Depository and Book Entry Settlement System—platform elektronik yang digunakan untuk menyelesaikan transaksi efek secara pemindahbukuan), ada sebanyak 43,04 persen.
Sementara itu, aset investor domestik sebanyak 56,96 persen. Dibanding 2023, aset yang dimiliki asing mengalami pertumbuhan dari yang sebelumnya hanya 41,99 persen.
“Asing itu tetap sangat-sangat berpengaruh. Beda ceritanya kalau kita negaranya kaya, investor di sini duitnya banyak, [sehingga] kalau misalnya asing keluar enggak masalah, bisa digantiin sama domestik gitu kan,” ujar pakar pasar modal, Teguh Hidayat, saat dihubungi Tirto, Senin (10/2/2025).
Belum lagi, ketika asing keluar, Indonesia otomatis akan kehilangan modal untuk mendanai proyek-proyek yang tengah dijalankan pemerintah, membiayai defisit APBN, hingga membayar utang obligasi yang telah jatuh tempo.
Dalam kondisi pelemahan ekonomi dan daya beli seperti saat ini, keberadaan investor asing menjadi lebih penting lagi. Apalagi, modal asing yang ditanamkannya di pasar keuangan akan membuat uang beredar menjadi lebih besar.
“Enggak cuma yang asing, tapi lokal pun sama, lagi-lagi serba susah sekarang ini. Jadi, ya udahlah. Semuanya pada taruh di instrumen yang paling aman ajalah, deposito, kayak gitu. Terus, ya mungkin logam mulia [emas]. Itu jauh lebih aman, enggak ada risikonya. Tapi, dengan kebanyakan orang memilih investasi yang pasif seperti itu, semakin sedikit uang yang beredar,” imbuh Teguh.
Minimnya uang beredar di masyarakat pun terlihat dari deflasi sebesar 0,76 persen pada Januari kemarin. Pada kondisi ini, pemerintah jelas tak bisa hanya berpangku tangan pada kebijakan BI saja untuk menggairahkan kembali pasar keuangan.
Apalagi, di tengah potensi berlanjutnya tren suku bunga tinggi oleh The Fed dan juga pelemahan ekonomi nasional, yang bisa dilakukan BI hanyalah menaikkan atau menurunkan suku bunga acuan saja.
Menurut Teguh, pemerintah seharusnya sudah melakukan intervensi dengan mengguyur stimulus fiskal agar masyarakat dapat berbelanja. Dengan begitu, ada peredaran uang dan perekonomian kembali bergeliat.
“Saat kayak gini, harusnya pemerintah lebih jor-joran. Boros sedikit, buang-buang, enggak apa-apa. Kan duit itu enggak kebuang, tapi masuk ke masyarakat. Tapi, ini enggak dilakukan, malah penghematan,” tukas Teguh.
Di saat yang sama, pemerintah juga harus mengantisipasi keluarnya modal asing dari pasar keuangan nasional melalui kebijakan proaktif, termasuk strategi penerbitan obligasi yang lebih fleksibel.
Dalam hal ini, kebijakan penerbitan obligasi juga harus didasarkan pada diversifikasi basis investor.
“Serta kebijakan moneter yang mendukung stabilitas rupiah dan pasar keuangan domestik,” tutur Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi