tirto.id - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekonomi Indonesia pada triwulan III-2024 tumbuh 4,95 persen secara tahunan (year on year/yoy), sedikit lebih tinggi dari periode yang sama di tahun sebelumnya yang sebesar 4,94 persen. Meski begitu, jika dibandingkan dengan kuartal II 2024 yang sebesar 5,05 persen, realisasi pertumbuhan ekonomi nasional tercatat melambat.
Sementara itu, secara kuartalan (quartal to quartal), ekonomi Indonesia tumbuh 1,50 persen. Sedangkan secara kumulatif sejak Januari-September 2024, ekonomi Indonesia tumbuh 5,03 persen.
“Ekonomi Indonesia berdasarkan besaran produk domestik bruto (PDB) pada triwulan III 2024 atas dasar harga berlaku yaitu sebesar Rp5.638,9 triliun, atas dasar harga konstan Rp3.279,6 triliun. Sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia di triwulan III 2024, bila dibandingkan triwulan III 2024 atau secara year on year tumbuh sebesar 4,95 persen,” kata Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar, dalam Rilis BPS, di Kantor BPS, Jakarta Pusat, Selasa (5/11/2024).
Secara kuartalan, pertumbuhan ekonomi Indonesia ini sejalan dengan pola musiman yang telah terjadi sejak bertahun-tahun sebelumnya, di mana realisasi pertumbuhan ekonomi di kuartal III selalu lebih rendah dibanding kuartal-kuartal lainnya.
Sebagai contoh, pertumbuhan ekonomi kuartal III 2023 yang sebesar 4,94 persen, jauh lebih rendah dari pertumbuhan kuartal I dan II yang masing-masing di angka 5,03 persen dan 5,17 persen. Bahkan, setelah anjlok di kuartal III, ekonomi Indonesia mampu bangkit lagi di angka 5,04 persen pada kuartal IV 2023.
“Secara year on year, ekonomi triwulan III 2024 tumbuh 4,95 persen dibandingkan triwulan yang sama di tahun sebelumnya. Dan pertumbuhan ini sedikit lebih tinggi dibandingkan triwulan III 2023 yang tumbuh sebesar 4,94 persen,” imbuh Amalia.
Dalam lima tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), ekonomi Indonesia memang selalu jatuh di kuartal III. Namun, tahun 2022 menjadi pengecualian karena jika dibandingkan dengan kuartal I dan II yang sebesar 5,01 persen dan 5,44 persen, pertumbuhan ekonomi melonjak menjadi 5,72 persen. Baru di kuartal IV ekonomi nasional kembali terjerembab di level 5,01 persen.
“Dan memang berdasarkan historikal kuartal ke III relatif itu sedikit (melambat) dibandingkan kuartal-kuartal sebelumnya. Dan tentunya kita berharap kuartal ke IV bisa lebih baik,” kata Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dalam Konferensi Pers, di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Selasa (5/11/2024).
Dia menilai, perlambatan ekonomi kuartal III kemarin disebabkan oleh tensi geopolitik yang masih tinggi imbas peningkatan eskalasi di Timur Tengah. Pada saat yang sama, pasar keuangan global juga masih diliputi ketidakpastian hasil Pilpres Amerika Serikat (AS).
Kemudian, pelemahan kelas menengah di seluruh dunia, termasuk AS dan Indonesia praktis membuat permintaan terhadap produk relatif menurun. Bahkan, dengan berbagai kondisi tersebut membuat pertumbuhan ekonomi dunia berbalik ke masa pra pandemi. Pada saat itu ekonomi banyak negara di dunia hanya tumbuh di rata-rata 6 persen.
“Tapi kita masih diprediksi baik oleh IMF (International Monetary Fund) dan yang lain, di bawah rata-rata historis itu 3,2 persen. Dan tadi diumumkan, ekonomi pertumbuhan Indonesia di kuartal ke III, 4,95 (persen). Dan ini, bila dibandingkan dengan kuartal ke III tahun lalu relatif sama,” ujar Airlangga.
Penyumbang utama pertumbuhan ekonomi triwulan III 2024 dari sisi lapangan usaha adalah industri pengolahan, pertanian, perdagangan, konstruksi, dan pertambangan, dengan kontribusi sekitar 64,94 persen dari PDB.
Kontribusi dari masing-masing industri tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi nasional: industri pengolahan sebesar 0,96 persen, konstruksi 0,71 persen, perdagangan 0,63 persen, serta informasi dan komunikasi 0,45 persen.
Dari sisi pengeluaran, pada triwulan III 2024, secara tahunan pertumbuhan ekonomi nasional disumbang oleh konsumsi rumah tangga yang tumbuh 4,91 persen dan dengan kontribusi 53,08 persen.
Kemudian ada pula komponen investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang mencatatkan pertumbuhan 5,15 persen dengan kontribusi sebesar 29,75 persen, ekspor masih tumbuh 9,09 persen dan kontribusi 22,53 persen.
Selanjutnya, ada konsumsi pemerintah yang tumbuh secara tahunan di angka 4,62 persen dan sumbangan ke PDB sebesar 7,21 persen, konsumsi lembaga non profit yang melayani rumah tangga (LNPRT) yang tumbuh sebesar 11,69 persen (yoy) dan kontribusi 1,29 persen, serta impor yang tumbuh 11,47 persen dan dengan kontribusi -20,76 persen.
Sementara itu, jika dilihat secara kuartalan, ekonomi Indonesia yang tumbuh 1,50 persen hanya disokong oleh PMTB, serta ekspor dan impor yang masing-masing tumbuh sebesar 8,44 persen, 8,10 persen dan 8,99 persen. Sedangkan komponen pengeluaran lainnya seperti konsumsi rumah tangga, LNPRT, dan konsumsi pemerintah kontraksi masing-masing sebesar 0,48 persen, 0,15 persen dan 0,67 persen.
Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar, mengatakan meski konsumsi rumah tangga menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi nasional, namun komponen ini mengalami perlambatan.
Bagaimana tidak, pertumbuhan konsumsi rumah tangga di angka 4,91 persen pada kuartal III 2024 masih lebih rendah dibanding kuartal sebelumnya yang sebesar 4,93 persen. Selain itu, pertumbuhan konsumsi rumah tangga di kuartal ini juga jauh lebih rendah dari kuartal III 2023, yang sebesar 5,05 persen.
“Jadi tentu catatannya kenapa sedikit lebih lambat, karena memang di kuartal II 2024 itu terjadi puncak konsumsi masyarakat, pasti terkait adanya Iduladha, Idulfitri, ini meningkatkan transportasi, komunikasi, dan juga konsumsi pada restoran dan hotel,” kata Amalia.
Komposisi konsumsi rumah tangga terdiri dari sektor transportasi dan komunikasi, restoran dan hotel, yang tumbuh masing-masing sebesar 6,45 persen dan 6,61 persen. Sedangkan konsumsi rumah tangga untuk sektor transportasi dan komunikasi pada kuartal II 2024 tercatat tumbuh 6,84 persen.
“Kemudian untuk konsumsi restoran dan hotel, di kuartal II 2024 tumbuh 6,8 persen dan di kuartal III 2024 tumbuh 6,61 persen,” imbuhnya.
Perlambatan utamanya terjadi pada perumahan dan perlengkapan rumah tangga, transportasi dan komunikasi, serta restoran dan hotel. Namun demikian, untuk konsumsi makanan dan minuman selain restoran, di kuartal III 2024 relatif tumbuh lebih cepat dibanding dengan kuartal II 2024.
“Begitu juga dengan pakaian alas kaki dan jasa perawatan tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan kuartal sebelumnya,” ujar Amalia.
Melihat komponen lapangan usaha dan kelompok pengeluaran yang menjadi pendorong ekonomi kuartal III 2024 ini, peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teuku Riefky, menilai tanpa ada faktor musiman, seperti libur panjang, pemilu, Ramadan dan Lebaran, maupun Libur Natal dan Tahun Baru (Nataru), ekonomi Indonesia tidak mampu menembus level 5 persen.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi ini diperparah dengan konsumsi pemerintah yang tumbuh paling rendah di antara komponen pengeluaran lainnya.
Ini karena pemerintah tidak melakukan belanja bantuan sosial (bansos) seperti sebelumnya, maupun telah merampungkan berbagai proyek strategis nasional (PSN).
“Itu makanya di kuartal I, kuartal II bisa [tumbuh] tinggi. Tapi ini mengindikasikan bahwa secara sektoral aktivitas kita itu nggak terlalu produktif. Aktivitas ekonomi kita nggak terlalu produktif. Jadi kualitas pertumbuhan ekonomi kita cenderung menurun dibanding sebelumnya,” jelasnya saat dihubungi Tirto, Rabu (6/11/2024).
Pada laporan Indonesia Economic Outlook 2025, Riefky menjelaskan stagnasi atau bahkan pelemahan ekonomi nasional terlihat cukup mencolok dari penurunan sumbangan 11 dari total 17 sektor ekonomi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Bahkan, sektor-sektor seperti perdagangan besar dan eceran, akomodasi dan makanan minuman, serta ketenagalistrikan yang mengalami peningkatan pertumbuhan di Triwulan-II 2024 dipengaruhi oleh faktor musiman.
“Bergesernya musim panen juga mendorong pertumbuhan sektor pertanian kembali ke zona positif setelah terkontraksi di Triwulan-I 2024. Di sisi lain, pelemahan sektor manufaktur dan pertumbuhan di bawah rerata nasional secara persisten juga semakin mengonfirmasi terjadinya deindustrialisasi prematur di Indonesia,” bebernya.
Benar saja, pada kuartal III 2024 industri pengolahan sebagai motor penggerak utama ekonomi Indonesia hanya tumbuh di level 4,72 persen secara tahunan, lebih lambat jika dibandingkan periode yang sama di tahun 2022 dan 2023 yang masing-masing sebesar 4,83 persen dan 5,20 persen.
Bahkan, sektor penyediaan akomodasi, makanan dan minuman yang mengalami pertumbuhan signifikan pada kuartal III 2024 mencapai 8,33 persen, masih lebih rendah dibanding pertumbuhan di kuartal III 2023 yang sebesar 10,94 persen dan 17,83 persen pada kuartal III 2022.
“Selain itu, perlambatan pertumbuhan sektor konstruksi, penyaluran air dan pengolahan limbah, jasa usaha, real estate, dan aktivitas sosial juga kemungkinan dipengaruhi oleh perlambatan pertumbuhan belanja pemerintah secara drastis, dan semakin menunjukkan lemahnya kemampuan sektor swasta dalam memacu pertumbuhan ekonomi,” sambung Riefky.
Melambatnya mayoritas sektor industri ini terjadi karena beragam regulasi yang menyulitkan dunia usaha, sehingga menghambat produktivitas dari sektor industri itu sendiri. Hal ini seperti yang terlihat pada industri tekstil saat ini yang tengah mengalami kemunduran akibat serangkaian kebijakan industri dan perdagangan sehingga membuat produktivitas subsektor ini tergerus.
“Imbasnya, kapasitas produksi terpasang dari subsektor tekstil hanya mencapai 69,92 persen di Triwulan-II 2024 dan mencapai titik terendahnya dalam 18 tahun terakhir, sehingga mendorong terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal dan penutupan pabrik sepanjang tahun ini,” tutur Riefky.
Sementara Peneliti Center of Reform on Economic (CORE), Yusuf Rendy Manilet, menggaris bawahi pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan tak hanya dihantui oleh perlambatan konsumsi rumah tangga, melainkan juga tren deflasi yang baru berakhir kemungkinan akan terulang kembali dan juga yang sudah terkontraksi selama empat bulan berturut-turut, dengan rincian 49,2 pada Oktober dan September 2024, 48,9 di Agustus 2024, dan 49,3 pada Juli 2024.
“Deflasi kemudian juga PMI manufaktur yang datanya tidak terlalu baik, dan menggambarkan kondisi daya beli masyarakat terutama yang mengalami perlambatan di Kuartal tersebut,” katanya saat dikonfirmasi Tirto Rabu (6/11/2024).
Sementara itu, dengan melihat porsi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih disokong oleh industri pengolahan dari sisi lapangan usaha dan konsumsi rumah tangga dari sisi pengeluaran, jelas pemerintah perlu memperbaiki kedua mesin pertumbuhan tersebut. Dari sisi industri, Yusuf menilai, jika tak ada perbaikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan apalagi sampai 8 persen seperti yang ditargetkan Presiden Prabowo Subianto, hanya akan menjadi mimpi di siang bolong.
“Agar daya beli kembali meningkat, saya kira kolaborasi kebijakan memang dibutuhkan pemerintah. Dari sisi moneter langkah BI yang mulai melonggarkan kebijakan moneter dengan penurunan suku bunga acuan, juga harus diikuti dari sisi fiskal melalui realisasi belanja yang targeting dan memang menyasar untuk kepentingan daya beli, seperti misalnya bantuan sosial ataupun subsidi,” ujarnya.
Berbagai belanja sosial itu secara tidak langsung akan mengerek realisasi belanja pemerintah. Sementara untuk sisa tahun ini, ketidakpastian seputar kebijakan ekonomi pemerintah baru diperkirakan akan mereda, seiring dengan keberpihakan Prabowo pada agenda “pro-pertumbuhan” yang semakin jelas.
Meskipun ketidakpastian global baru-baru ini meningkat akibat sikap The Fed yang kurang dovish dan meningkatnya kemungkinan mantan Presiden AS, Donald J. Trump kembali memenangkan Pemilu AS.
Perkembangan ini dapat mendorong peningkatan investasi langsung dan arus modal masuk, sehingga memberikan dukungan lebih lanjut untuk investasi sektor swasta. Selain itu, langkah-langkah stimulus ekonomi yang signifikan dari Tiongkok mulai memberikan manfaat bagi perekonomiannya, yang pada gilirannya dapat memberikan dukungan bagi kinerja ekspor Indonesia.
“Di dalam negeri, pertumbuhan konsumsi rumah tangga diperkirakan akan tetap stabil, didukung oleh inflasi yang relatif rendah akibat pasokan makanan yang kembali normal. Musim liburan di sekitar Natal dan Tahun Baru diperkirakan akan mendorong permintaan dan mobilitas domestik di kuartal IV 2024,” jelas Chief Economist dari Bank Permata, Josua Pardede, kepada Tirto, Rabu (6/11/2024).
Pengeluaran pemerintah juga diproyeksikan akan mencapai puncaknya pada akhir tahun, mengikuti pola pertumbuhan yang biasa terjadi dan mendapat dorongan tambahan dari pengeluaran yang terkait dengan Pemilu 2024. Konsumsi rumah tangga pun diproyeksikan meningkat, didukung oleh inflasi yang terkendali dalam kisaran target dan potensi penurunan lebih lanjut pada BI-rate.
“Secara keseluruhan, kami mempertahankan ekspektasi kami untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2024 sekitar 5,04 persen, sedikit turun dari 5,05 persen pada tahun 2023,” tutup Josua.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Irfan Teguh Pribadi