tirto.id - “Boyolali kota susu, ora iso adol susu (Boyolali kota susu, enggak bisa menjual susu),” seru para peternak susu dari Boyolali, Jawa Tengah dalam protesnya, Sabtu (9/11/2024), sembari menyiramkan susu segar ke badan mereka.
Dalam video yang diunggah di media sosial, nampak sekelompok peternak susu sapi memprotes kebijakan pembatasan kuata susu lokal oleh Industri Pengolahan Susu (IPS). Menurut mereka, kebijakan ini praktis membuat produksi susu sapi lokal tak terserap pabrik, menumpuk, hingga terbuang percuma.
Dalam protes tersebut, para peternak sapi di Boyolali tersebut rempat membagikan produksi susu sapi kepada warga sekitar lokasi demo dan mengakhirinya dengan membuang 50 ribu liter susu ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Winong, Boyolali.
Selain Boyolali, para peternak sapi di Pasuruan, Jawa Timur juga melayangkan protes serupa. Para peternak di Pasuruan membuang susu sapi segar yang mereka produksi ke sungai dan semak-semak.
Menurut salah satu peternak yang melakukan protes, Bayu Aji Handayanto, produksi susu sapi harian di Pasuruan sejak pertengahan Oktober sampai awal November memang lebih banyak dari biasanya, yakni mencapai 350 ton susu. Namun, pada saat yang sama IPS tak bisa menyerap karena kebutuhan susu untuk produksi mereka telah terpenuhi dari pasokan impor.
“Jadi terjadi penumpukan gitu. Nah, karena terjadi penumpukan, akhirnya barangnya kami ganti dan kami buang. Kira-kira kronologisnya seperti itu. Jadi yang kami buang sudah melebihi 500 ribu liter atau 500 ton susu,” jelas dia, saat dihubungi Tirto, Senin (11/11/2024).
Kata peternak sekaligus pengepul susu sapi itu, fenomena ketidakterserapan susu sapi ini telah berulang kali terjadi, tepatnya pada 2020 dan 2023. Namun, fenomena ini cukup jarang terjadi karena untuk memenuhi konsumsi dalam negeri saja, para peternak sapi perah lokal bisa memenuhi sekitar 20 persen di antaranya.
Bayu menilai, ada beberapa kemungkinan mengapa IPS tak bisa menyerap produksi susu peternak lokal, yaitu: karena sedang memasuki masa perbaikan mesin produksi, lesunya pasar dalam negeri, sampai masalah kualitas yang tak lebih baik bila dibandingkan dengan produk susu impor. Padahal, menurut dia, saat ini kualitas susu dalam negeri sudah jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya dan telah memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) di angka 9,3.
“Bahkan, rata-rata peternak di desa-desa mengirimkan ke Industri itu 12,5-1,8. Tapi kalau di-compare sama produk impor ya jauh, impor itu bisa 13,” imbuh Direktur Eksekutif PT Nawasana Satya Perkasa (NSP) itu.
Salah satu penyebab tak bisa disamakannya kualitas susu sapi lokal dengan impor ialah karena susu sapi lokal diproduksi dari sapi perah peranakan. Sedangkan susu sapi perah yang kebanyakan didatangkan dari Selandia Baru dan Australia kebanyakan berjenis Holstein Friesian dan persilangan Holstein Friesian dengan Jersey.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Pengolahan Susu (AIPS), Sonny Effendhi, mengakui, salah satu alasan industri tak menyerap produksi susu peternak lokal adalah karena kualitasnya yang belum bisa bersaing dengan produk susu impor. Belum lagi, susu peternak dalam negeri juga mengandung bahan-bahan tertentu yang tidak aman dikonsumsi masyarakat.
“Sehingga enggak sesuai standar food safety, keamanan pangan. Sehingga enggak bisa diterima,” katanya, di Kantor Kementerian Pertanian, Senin (11/11/2024).
Dalam hal ini, banyak susu dari para peternak lokal yang mengandung air, minyak goreng, sirup gula, karbonat, hingga hidrogen peroksida yang dilarang ada di dalam kandungan produk susu oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Hal inilah yang kemudian membuat IPS lebih memilih untuk mengimpor susu, utamanya dari Selandia Baru dan Amerika Serikat.
Selain itu, Sonny juga mengakui kalau produksi dalam negeri juga sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan konsumsi nasional.
“Jadi, harga bukan isu. Isu utama adalah kualitas,” tegas dia.
Produksi Susu dan Kebutuhan Dalam Negeri
Perlu diketahui, kebutuhan susu sapi segar Indonesia pada 2024 tercatat sebesar 4,7 juta ton. Namun, produksi dalam negeri hanya mampu mencukupi 1 juta ton di antaranya atau sekitar 21 persen dari total kebutuhan susu segar nasional. Sementara 79 persen sisanya dipenuhi dari impor.
Sementara itu, mengutip data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang dihimpun Statista, konsumsi produk susu segar Indonesia terus mengalami peningkatan seiring dengan terus bertambahnya jumlah penduduk. Dengan konsumsi pada 2021 sebanyak 3,92 per kapita per kilogram dan tumbuh hingga 4,24 per kapita per kilogram pada 2024, kemudian menjadi 5,01 per kapita per kilogram di 2031.
Menukil data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2009 produksi susu perah di Tanah Air hanya sebanyak 827.248,64 ton sedangkan pada 2023 tercatat sebanyak 837.223,20 ton. Menurut Dwi, stagnasi produksi susu sapi perah ini disebabkan oleh jumlah populasi sapi perah yang juga kian menurun tiap tahunnya, terutama pasca Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang merebak pada 2022.
“Karena PMK. Selain itu kan usaha sapi perah ini tidak begitu menguntungkan. Karena biasanya untung di musim hujan. Karena makanan berlimpah. Nah di musim kemarau, kalau mereka harus menggunakan (pakan) konsentrat berat, jadi tidak untung. Sehingga itu lah kenapa populasi sapi perah maupun produksi susu di Indonesia sudah 14 tahun terakhir stagnan,” jelas Dwi.
Sementara itu, berdasar catatan Dwi, populasi sapi perah pada 2009 ada sekitar 423,8 ribu ekor. Sedangkan pada 2023 menurut data BPS terdapat sekitar 514 ribu ekor sapi perah.
“Mentan (Menteri Pertanian Amran) sudah janji sendiri mau impor sekian juta ekor sapi perah. Masuk akal atau enggak, nanti ujung-ujungnya impor lagi. Membuat sesungguhnya semakin besar. Karena tadi memelihara sapi perah di Indonesia itu cos-nya jauh lebih tinggi dibanding pemelihara sapi perah yang di luar negeri sana,” sambungnya.
Diberitakan sebelumnya, Mentan Amran Sulaiman mengungkapkan, pihaknya akan mengimpor 1 juta sapi perah dalam lima tahun, pada 2025-2029 untuk memenuhi kebutuhan susu segar dalam rangka mendukung Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Rencana ini dituangkannya dalam peta jalan pemenuhan susu segar nasional 2025-2029 yang disampaikannya di hadapan Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Dalam peta jalan tersebut, kebutuhan susu segar nasional Diperkirakan akan mencapai 8,5 juta ton, yang terdiri dari 4,9 juta ton untuk kebutuhan susu reguler dan 3,6 juta untuk Program MBG. Sedangkan pada 2025 impor 200 ribu ekor sapi perah diharapkan dapat memproduksi susu segar mencapai 1,55 juta ton. Kemudian impor 300 ribu ekor sapi dengan target produksi 2,90 juta ton pada 2026, lalu 400 ribu ekor dengan produksi 2,07 juta ton di 2027, 100 ribu ekor sapi dengan produksi 6,53 juta ton pada 2028, dan puncak produksi susu dari sapi-sapi impor itu diharapkan terjadi di 2029, dengan produksi mencapai 8,17 juta ton.
“Sumber (impor): Australia, Brazil, New Zealand, Amerika Serikat, dan Meksiko,” begitu bunyi paparan Amran.
Perlu Keberpihakan Pemerintah
Peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Eliza Mardian, menilai, sebenarnya pemerintah bisa saja kalau ingin menggenjot produksi sapi dalam negeri agar porsi impor susu perlahan menurun. Namun, sebelumnya pemerintah harus terlebih dulu memberikan kejelasan kepada pasar, termasuk dalam hal ini standarisasi harga susu.
“Kalau ada kejelasan informasi berapa yang harus diproduksi dan spesifikasinya seperti apa, ini para peternak akan semangat berproduksi. Kita bukan tidak mampu berproduksi, tapi peternak skala kecil menengah pun akan berpikir jika ada kejadian pembatasan pembelian oleh perusahaan susu nasional. Ini kan merugikan peternak lokal,” kata dia, kepada Tirto, Senin (11/11/2024).
Sementara itu, berdasarkan data KUD Mojosongo, yang merupakan koperasi susu terbesar di Boyolali, belakangan IPS hanya menyerap sekitar 110 ribu liter per hari. Padahal, produksi susu oleh para peternak dan pengepul mencapai 140 ribu liter per hari. Artinya, ada 30 ribu liter susu per hari yang tidak terserap.
Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 33/PERMENTAN/PK.450/7/2018E7 Tentang Penyediaan dan Peredaran Susu. Dalam aturan tersebut pemerintah mengharuskan perusahaan pengolahan susu bekerjasama dengan peternak lokal. Namun, dari data yang dihimpun Eliza, tidak sampai 20 persen IPS yang menggandeng peternak sapi perah lokal untuk memasok bahan baku.
“Artinya pemerintah tidak betul-betul mengawasi kemitraan ini,” kata Eliza.
Selain itu, penegakan hukum yang tegas juga tidak diberlakukan oleh pemerintah kepada perusahaan yang tidak mematuhi regulasi. Jika hal ini terus berlanjut, Eliza khawatir peternak lokal lama kelamaan akan kalah saing dengan perusahaan pengimpor susu. Pada akhirnya, para peternak berpotensi memilih untuk tidak beternak lagi.
Dengan ini, niat swasembada susu dan Program MBG yang seharusnya mengutamakan kesejahteraan dan keberlanjutan usaha peternak lokal hanya akan menjadi angan-angan belaka. Apalagi, jika kebutuhan susu nasional terus dipenuhi oleh impor, peningkatan produksi susu jelas tidak akan terjadi. Pun dengan kue ekonomi dari Program MBG yang hanya akan dinikmati oleh segelintir perusahaan besar saja.
“Peternak lokal gigit jari. Jika melibatkan peternak lokal ini akan menggerakkan perekonomian lokal dan memberikan kepastian pasar terhadap peternak. Jika perusahaan besar semuanya menjalin kemitraan dgn peternak, ini akan terjadi transfer of knowledge sehingga peternak bisa upgrade. Ini membutuhkan pendampingan dan insentif untuk perusahaan yang bermitra dengan peternak lokal,” jelas Eliza.
Regulasi Tarif Bea Masuk 0 Persen Perlu Dikaji Ulang
Menteri Koperasi, Budi Arie Setiadi, mengungkapkan, adanya bea masuk 0 persen yang diperuntukkan bagi produk susu impor telah membuat produk susu lokal, setidaknya 5 persen lebih mahal. Selain itu, kedekatan negara-negara importir susu dengan Indonesia juga membuat harga susu sapi mereka lebih kompetitif.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Menteri Koperasi, Ferry Juliantono, mengatakan, setidaknya ada selisih harga Rp1.000 antara harga susu sapi lokal dengan impor. Sehingga, jika susu sapi impor dihargai sebesar Rp7.000, harga sapi yang diproduksi oleh peternak lokal mencapai Rp8.000 per liter.
Agar para peternak sapi lokal tak kian terpuruk, dia pun meminta agar pemerintah kembali mengkaji kebijakan bea masuk impor 0 persen ini. Atau jika tidak, dia menyaranka kepada pemerintah untuk memberikan insentif-insentif khusus bagi peternak sapi perah dalam negeri.
“Lebih baik Kementerian Perdagangan meninjau ulang, karena dampaknya ke peternak kita. Sehingga harusnya ada … kami sedang kaji, insentif apa yang bisa kami berikan ke peternak sapi perah Indonesia, koperasi, UD, atau perorangan supaya mereka enggak terkena dampak. Atau pemerintah sebaliknya, mengkaji ulang penerapan bea masuk itu, kalau bisa ya jangan 0 persen,” kata Ferry.
Sementara itu, sebagai tanggapan atas fenomena ini, Mentan Amran akan kembali mewajibkan IPS untuk menyerap susu produksi dalam negeri, kecuali susu yang mengalami kerusakan. Hal ini diputuskan usai rapat koordinasi di Kementan yang mempertemukan perwakilan industri, peternak, importir, dan stakeholder terkait.
“Seluruh industri wajib menyerap susu peternak. Kami sudah sepakati, tandatangani, dan kirim surat ke Dinas Peternakan provinsi dan kabupaten untuk ditindaklanjuti,” ungkap Amran dalam keterangan resminya di Kantor Kementerian Pertanian, Jakarta, Senin (11/11/2024).
Selain itu, dia juga akan menghentikan sementara izin impor lima perusahaan, agar penyerapan produksi susu sapi lokal berjalan optimal. Jika kewajiban ini tak juga dijalankan, Amran tak segan mencabut izin impor perusahaan-perusahaan tersebut selamanya.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Abdul Aziz