tirto.id - Penyelenggara negara di Indonesia memang getol mengulang-ulang hal yang tak patut. Kali ini soal presiden yang ikut cawe-cawe dalam penyelenggaraan Pilkada 2024.
Minggu, (12/11/2024), video Presiden Prabowo Subianto yang mengajak masyarakat Jawa Tengah memilih cagub-cawagub Jateng, Ahmad Luthfi dan Taj Yasin Maimoen, ramai beredar. Video berdurasi 5 menit 39 detik itu juga diunggah di akun Instagram pribadi Ahmad Luthfi.
Dalam pembuka video tersebut, Prabowo menyampaikan bahwa dirinya dan wakil presiden Gibran Rakabuming Raka adalah presiden dan wapres terpilih periode 2024-2029. Prabowo menegaskan bahwa ia sudah resmi ditetapkan sebagai presiden sejak 20 Oktober 2024 lalu. Setelahnya, Prabowo menyampaikan testimoni “wangi” kepada Luthfi-Taj Yasin.
“Saya percaya mereka akan merupakan tim yang sangat cocok dan akan bekerja bersama dengan saya di pusat. Kita akan menjadi suatu tim yang baik, tim yang di daerah dan tim yang ada di pusat,” ucap Prabowo dalam video tersebut.
Dukungan terang-terangan Prabowo terhadap Ahmad Luthfi dan Taj Yasin di Pilgub Jateng dinilai meruntuhkan kewibawaan posisi presiden. Sebagai pemimpin negara, Prabowo justru diharapkan mampu menjaga netralitas dan menjadi sosok negarawan yang menghormati kepantasan politik.
Prabowo mengulang tabiat Jokowi yang salah kaprah dalam memaknai aturan hukum terkait kebolehan presiden melakukan kampanye dalam pemilu.
Pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menilai polemik ini berkaitan dengan etika seorang presiden. Presiden sepatutnya menjaga netralitas sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan. Menurutnya, Prabowo mengerdilkan wibawa presiden dengan sibuk ikut campur dalam kampanye calon kepala daerah.
“Jadi tidak pantas presiden cawe-cawe dalam urusan pilkada,” kata Herdiansyah kepada reporter Tirto, Senin (11/11/2024).
Herdiansyah menjelaskan, memang ada aturan di dalam UU Pemilu yang memperbolehkan presiden untuk kampanye. Aturan ini termaktub di Pasal 299 ayat 1, namun norma hukum ini berlaku bagi presiden yang kampanye untuk dirinya sendiri saat mencalonkan diri kembali.
Dalam ayat 1 Pasal 272 UU Pemilu, dinyatakan semua peserta dan pelaksana wajib terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sementara cuti bagi presiden yang melakukan kampanye sudah diatur dalam Pasal 281 UU Pemilu, namun ketentuan ini tetap mengikat pada Pasal 299 dan 272 yang dijelaskan sebelumnya. Prabowo bukan tim kampanye dari paslon Ahmad Luthfi dan Taj Yasin.
Kekeliruan pemahaman ini serupa dengan Jokowi ketika menyampaikan di hadapan publik bahwa presiden diperbolehkan kampanye. Kala itu, Jokowi sampai membawa kertas dengan kutipan Pasal 299 UU Pemilu yang menyebut presiden berhak melakukan kampanye. Sikap ini dikritik oleh organisasi masyarakat sipil sebab Jokowi dianggap memenggal konteks UU Pemilu semaunya.
“Asbabunnuzul pasal ini adalah dalam rangka presiden mengampanyekan diri sendiri kalau dia maju periode kedua. Jadi bukan ditafsirkan kampanye seenaknya tanpa aturan,” jelasnya.
Sebelumnya, Ketua Harian Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, menegaskan dukungan bahwa Prabowo kepada Ahmad Luthfi-Taj Yasin merupakan sikap wajar ketua umum partai yang menajdi bagian dari koalisi partai pengusung.
Ajakan dari Prabowo kepada warga Jawa Tengah memilih Luthfi-Yasin juga dianggap hal yang lumrah. Paslon ini memang didukung oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus. Termasuk di dalamnya adalah Partai Gerindra,yang dinahkodai Prabowo Subianto.
Dasco mengatakan, sikap Prabowo mengampanyekan salah satu paslon Pilkada 2024 sudah diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023. Beleid itu ditafsirkan bahwa presiden sebagai pejabat negara boleh berkampanye. Namun, Pasal 58 UU ASN tidak sama sekali menyebut kaitan soal pilkada atau pemilu, di sana hanya ditekankan bahwa presiden dan wakil presiden adalah seorang pejabat negara.
"Dalam artian menyerukan, mengimbau, mengajak memilih salah satu paslon dalam pilkada, sepanjang dalam status cuti kampanye atau sepanjang kampanyenya dilakukan di hari libur, Sabtu atau Minggu, sesuai PKPU Nomor 13 Tahun 2024," klaim Dasco lewat keterangan tertulis.
Istana juga membela sikap Presiden Prabowo Subianto. Kepala Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, mengeklaim bahwa Prabowo tidak melanggar netralitas. Menurutnya, meski menjadi presiden, Prabowo tetap menjabat Ketua Umum Partai Gerindra.
“Sebagai ketua umum partai beliau menandatangani rekomendasi untuk mengusung calon-calon kepala daerah. Berarti beliau mendukung calon tertentu," ujar Hasan Nasbi dalam keterangan resmi, Minggu.
Calon yang direkomendasikan oleh Partai Gerindra, kata dia, berarti calon yang didukung juga oleh Prabowo. Terkait netralitas, dia mengeklaim bahwa hal itu hanya ditujukan bagi TNI/Polri dan para ASN. Menurutnya, menteri-menteri yang berasal dari partai politik tetap boleh mendukung calon kepala daerah, bahkan diperbolehkan ikut berkampanye.
"Presiden dan para pejabat negara boleh ikut dalam kampanye, dengan ketentuan tidak menyalahgunakan fasilitas jabatan untuk berkampanye, atau berkampanye di hari kerja tanpa mengajukan cuti," jelasnya.
Selain memperbolehkan pejabat negara berkampanye dengan ketentuan ketat, UU Pemilu juga menegaskan netralitas yang harus dipegang pejabat negara.
Pasal 71 ayat 1 menyebutkan: pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon pilkada.
Pasal 188 menetapkan sanksi pidana penjara paling singkat satu bulan hingga enam bulan atau denda antara Rp600.000 hingga Rp6 juta bagi pelanggar netralitas.
Persoalan Etika Presiden
Analis Politik Universitas Padjadjaran (Unpad), Kunto Adi Wibowo, menilai argumen yang menyebut klaim bahwa video dukungan Prabowo masih dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Gerindra, tidak begitu meyakinkan. Pasalnya, jelas-jelas Prabowo memulai video tersebut dengan menegaskan posisinya sebagai seorang presiden terpilih yang sudah ditetapkan oleh MPR.
“Waktu bikin pernyataan Pak Prabowo nggak, dia nggak bilang, ‘Saya Prabowo Subianto sebagai Ketum Gerindra’, ini yang jadi masalah konflik kepentingan,” kata Kunto kepada reporter Tirto, Senin.
Pernyataan dukungan Prabowo dinilai dapat berdampak pada netralitas birokrat pemerintah. ASN dan aparat penegak hukum di Jawa Tengah berpotensi menafsirkan ajakan itu sebagai sesuatu yang harus mereka ikuti. Pasalnya, yang menginstruksikan adalah presiden.
“Kita harus membedakan antara etika dan hukum. Bahwa oke nggak ada hukum positif atau tertulis melarang Prabowo melakukan itu, tapi bukan berarti itu bisa seenaknya dilakukan,” kata Kunto.
Konflik kepentingan ini bila dibiarkan berpotensi jadi pelanggaran hukum berat. Contohnya, kata Kunto, timbul kolusi dari penyelenggaraan pilkada yang rawan konflik kepentingan. Ia menyebut bahwa meski tidak melanggar hukum, dukungan di pilkada dari pemimpin negara sudah pasti bermasalah secara etika.
“Ketika ada pelanggaran etika masif dicontohkan dari atas, ya kita bisa memprediksi efeknya akan ditiru oleh ASN,” ucap Kunto.
Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang P Wiratraman, menilai cawe-cawe presiden di pemilu dan pilkada yang terjadi berulang adalah kekacauan sistem ketatanegaraan Indonesia. Belum ada pengaturan tegas terkait konflik kepentingan penyelenggara kekuasaan yang juga merupakan anggota parpol dalam berkampanye.
Herlambang menjelaskan dalam UU Pemilu, secara sederhana, pejabat negara yang ingin berkampanye harus cuti dan tidak memakai fasilitas negara. Itu pun disertai keterangan yang tegas soal: waktu, izin, dan sejauh mana sikap dukungan itu mengganggu atau berdampak terhadap layanan publik atau tugas kewenangan pejabat negara.
“Presiden mencerminkan ketidaknetralan terhadap posisinya atas realitas pilkada dan ini masih diakomodasi oleh sistem hukum ketatanegaraan. Ini menurut saya sistem hukumnya keliru,” ucap Herlambang kepada reporter Tirto, Senin.
Kendati norma hukum mengakomodasi, Herlambang menilai dukungan presiden di pilkada tidak etis dalam politik. Pasalnya, netralitas seharusnya dijaga untuk mewadahi kepentingan bersama. Presiden sebagai negarawan, mestinya menjaga kewibawaan posisi pemimpin negara dengan tidak cawe-cawe dalam pilkada.
“Sehingga kesannya jadi lucu saja, penyelenggara negara berlindung di balik UU Pemilu dan dipakai sebagai alat untuk propagandanya,” ucap Herlambang.
Sementara itu, Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, merasa sulit untuk membenarkan apa yang dilakukan Presiden Prabowo saat mendukung paslon di Pilgub Jateng. Ia mempertanyakan, mengapa presiden masih harus cawe-cawe mengurus pekerjaan parpol ketika sudah resmi menjadi pemimpin seluruh rakyat Indonesia.
“Ketika ia hanya mendukung salah satu paslon, maka presiden seperti mau mengatakan ia hanya seorang tokoh untuk kelompok tertentu saja,” ucap Lucius kepada reporter Tirto, Senin.
Lucius menilai, seharusnya presiden tidak bisa merangkap sebagai ketua parpol. Kalau presiden masih menjadi pimpinan partai, maka dia tidak akan mungkin secara penuh merepresentasikan pemimpin seluruh rakyat Indonesia.
Bagaimanapun, kata Lucius, urusan parpol dalam konteks pemilu atau pilkada adalah berperang dengan parpol atau calon lain.
Selain itu, negarawan tidak perlu lagi mencari alasan sekadar untuk membenarkan tindakan yang menyalahi etika atau kepantasan. Karena presiden seharusnya menjadi teladan warga negara, untuk mampu bertindak adil melampaui apa yang diatur.
“Jadi sederhana sebenarnya, kalau presiden mau fokus pada tugasnya sebagai pemimpin seluruh rakyat, maka posisi sebagai ketua parpol harus ditinggalkannya,” ungkap Lucius.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi