Menuju konten utama

Apa Itu Pajak Karbon dan Bagaimana Penerapannya di Indonesia?

Pajak karbon di Indonesia adalah solusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Berikut informasi tentang apa itu pajak karbon, tujuan, dan tarifnya.

Apa Itu Pajak Karbon dan Bagaimana Penerapannya di Indonesia?
Header Insider Jalan Berduri Penerapan Pajak Karbon di Indonesia. tirto.id/Fuad

tirto.id - Penerapan pajak karbon di Indonesia akan segera diterapkan oleh pemerintah. Selain bisa menambah pendapatan negara, pajak karbon menjadi solusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan menjaga lingkungan hidup. Lalu, apa itu pajak karbon?

Isu perubahan iklim telah ramai dibicarakan sejak bertahun-tahun silam dan menjadi masalah serius yang harus ditangani bersama. Di sisi lain, aktivitas manusia turut berkontribusi dalam perubahan iklim, contohnya sektor industri yang meningkatkan emisi GRK dan menyebabkan suhu permukaan bumi meningkat.

Indonesia sendiri termasuk dalam negara penghasil emisi karbon terbesar keenam di dunia setelah China, Amerika Serikat, India, Rusia, dan Jepang. Karena itu, pemerintah Indonesia mulai berencana menerapkan pajak karbon sebagai langkah nyata mengatasi perubahan lingkungan.

Wacana tentang pajak karbon di Indonesia sebenarnya sudah digaungkan pemerintah sejak beberapa tahun lalu. Pemerintah berkomitmen untuk mengatasi perubahan iklim dan sempat akan menerapkan pajak karbon pada tahun 2022.

Sayangnya penerapan pajak karbon di Indonesia berkali-kali mengalami penundaan. Meski belum diketahui secara pasti kapan pajak karbon diberlakukan, pemerintah kabarnya akan mulai mengimplementasikan pajak karbon pada tahun 2025 mendatang.

Apa Itu Pajak Karbon?

Ilustrasi Pajak

Ilustrasi Pajak. foto/Istockphoto

Pajak karbon adalah pajak yang dikenakan pada barang atau produk yang menghasilkan emisi karbon. Menurut laman Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu, pajak karbon adalah jenis pajak yang dikenakan atas penggunaan bahan bakar fosil, misalnya gas, bensin, avtur, dan sebagainya.

Lalu, apa itu emisi karbon? Secara sederhana, emisi karbon adalah pelepasan gas karbon, contohnya karbon dioksida (CO₂), ke atmosfer. Emisi karbon biasanya dihasilkan dari aktivitas manusia seperti pembakaran dengan bahan bakar fosil, proses industri, hingga penggunaan kendaraan bermotor.

Gas karbon dioksida termasuk salah satu gas rumah kaca (GRK) yang berkontribusi terhadap pemanasan global dan perubahan iklim. Gas ini memiliki sifat layaknya rumah kaca yang bisa menahan panas dan menyebabkan suhu permukaan bumi meningkat.

Mengingat betapa besar dampak emisi karbon, maka pajak karbon perlu segera diimplementasikan. Salah satu harapannya adalah agar masyarakat, terutama para pelaku ekonomi, beralih ke aktivitas ekonomi hijau yang minim emisi karbon.

Pajak karbon bukanlah sesuatu yang baru dan Indonesia juga bukan negara pertama yang menerapkan pajak ini. Finlandia diketahui merupakan negara pertama yang menerapkan pajak karbon.

Upaya tersebut terbukti bisa menekan emisi karbon hingga 7% dari tahun 1990 hingga 1998. Tak hanya itu, Bank Dunia bahkan mencatat adanya penurunan emisi karbon yang signifikan di Finlandia hingga 19,49% dari tahun 2000 sampai 2018.

Selain Finlandia, ada banyak negara penghasil emisi karbon lainnya yang juga sudah menerapkan pajak ini. Mengingat pajak ini terbukti cukup efektif untuk mengurangi emisi gas, maka Indonesia pun diharapkan bisa segera melakukan hal yang sama sebagai solusi mengatasi perubahan iklim dunia.

Secara garis besar, pajak ini dikenakan pada individu maupun badan/perusahaan yang melakukan aktivitas menghasilkan emisi karbon. Namun, penerapan di berbagai negara bisa berbeda-beda tergantung kebijakan pemerintah.

Di Indonesia misalnya, dalam UU pajak karbon yang sudah disahkan, subjek pajak karbon adalah pribadi atau badan yang membeli barang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Namun, penerapan pajak karbon rencananya akan diberlakukan secara bertahap dengan memperhatikan kesiapan sektor.

Pajak karbon ini akan diterapkan secara terbatas terlebih dahulu di sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Jika tidak ada halangan, maka pajak karbon mulai diberlakukan di Indonesia pada tahun 2025.

Tujuan Pajak Karbon

Ilustrasi pajak sewa pada gudang

Ilustrasi pajak sewa pada gudang. (FOTO/iStockphoto)

Pajak memang terkesan memberatkan, tapi tentu penerapannya bukan tanpa tujuan, termasuk pajak karbon. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pajak karbon adalah sebuah solusi untuk mengurangi emisi karbon yang menyebabkan perubahan iklim global.

Untuk lebih lengkapnya, berikut tujuan pajak karbon dan mengapa perlu diterapkan di Indonesia:

1. Mengubah Perilaku Pelaku Ekonomi

Tujuan utama dari pajak karbon adalah untuk mengubah perilaku para pelaku ekonomi, baik individu maupun kelompok, untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang lebih rendah karbon. Semakin banyak pelaku ekonomi hijau, maka dampak perubahan lingkungan bisa semakin ditekan.

2. Mengurangi Emisi Karbon

Pajak karbon juga bertujuan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dalam jangka menengah dan panjang. Hal ini diharapkan bisa mengurangi pemanasan global dan mengatasi masalah perubahan iklim di dunia.

3. Mendorong Inovasi Rendah Karbon

Tujuan pajak karbon lainnya adalah untuk mendorong perkembangan pasar karbon yang bisa mengurangi emisi GRK. Selain itu, pajak karbon juga diharapkan dapat mendorong adanya inovasi teknologi yang lebih efisien, minim karbon, dan tentunya ramah lingkungan.

Bagaimana Penerapan Pajak Karbon di Indonesia?

Ilustrasi pembayaran pajak

Ilustrasi pembayaran pajak. Getty Images/iStockphoto

Sebagai salah satu negara PBB, Indonesia ikut bersepakat dalam mengurangi emisi karbon dan GRK. Indonesia pun ikut menandatangani Paris Agreement pada 23 April 2016 sebagai bukti komitmen ikut menurunkan emisi GRK hingga 29% dengan usaha sendiri pada tahun 2030 mendatang.

Pajak karbon dianggap menjadi solusi nyata untuk mewujudkan komitmen tersebut. Sebagai langkah awal, pemerintah Indonesia resmi mengesahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada 29 Oktober 2021 lalu.

Regulasi lain yang ikut mengatur pajak karbon di Indonesia adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.

Berdasarkan UU HPP, pajak karbon awalnya hendak diterapkan mulai 1 April 2022 dan dikenakan secara terbatas pada sektor PLTU. Namun, rencana ini sempat tertunda dan jadwal pemberlakuan pajak karbon mundur menjadi 1 Juli 2022.

Mendekati jadwal yang sudah ditentukan, penerapan pajak karbon lagi-lagi harus ditunda. Pemerintah mengaku masih butuh waktu untuk mematangkan peraturan pendukung UU pajak karbon sehingga tidak bisa langsung diimplementasikan.

Selama bertahun-tahun, pemerintah terus melakukan persiapan dan menggodok berbagai aturan terkait pajak karbon. Sampai akhirnya muncul wacana bahwa pajak karbon akan diberlakukan mulai tahun 2025. Lantas, bagaimana dengan tarifnya?

Sesuai Pasal 13 UU HPP, tarif pajak karbon adalah lebih tinggi atau sama dengan harga pasar karbon di pasar karbon dengan tarif paling rendah Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Tarif ini setara dengan Rp30.000 per ton CO2e atau sekitar $1,93 per ton CO2e.

Tarif pajak karbon di Indonesia termasuk yang terendah dibandingkan negara-negara lain. Di Finlandia misalnya, negara ini mematok tarif pajak karbon hingga $85,1 per ton karbon.

Swedia juga menerapkan pajak karbon dengan tarif yang sangat tinggi, yaitu $129,80 per ton karbon. Jepang termasuk negara Asia yang sudah mengimplementasikan pajak karbon dan menetapkan tarif sebesar $2,36 per ton karbon.

Pajak karbon menjadi langkah strategis Indonesia dalam mendukung komitmen global untuk mengatasi perubahan iklim. Tentu akan ada banyak tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah, tapi pajak karbon dinilai menjadi solusi yang tepat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sekaligus mendorong transisi menuju ekonomi hijau yang berkelanjutan.

Baca juga artikel terkait PAJAK KARBON atau tulisan lainnya dari Erika Erilia

Penulis: Erika Erilia
Editor: Erika Erilia & Yulaika Ramadhani