tirto.id - Peran anggota kepolisian kembali disorot publik. Teranyar soal munculnya nama eks Kapolda Sulawesi Utara, Irjen Pol Remigius Sigid Tri Hardjanto dalam daftar 50 orang yang dinyatakan lolos seleksi calon komisioner Komnas HAM periode 2022-2027.
Kelompok masyarakat sipil di bidang HAM hingga komisioner Komnas HAM periode saat ini mengkritik keikutsertaan Remigius. Salah satu poin pendapat mereka adalah posisi Polri yang merupakan objek yang kerap dilaporkan dan melakukan tindakan pelanggaran HAM. Namun, panitia seleksi tetap memutuskan akan menyeleksi sesuai aturan berlaku.
“Pansel berpegang pada syarat-syarat yang telah disepakati dan diumumkan. Selama memenuhi syarat, bisa lolos untuk tahap berikutnya. Apakah 420 ribu polisi semua buruk? Ini yang kita seleksi pada tahap-tahap selanjutnya,” kata Ketua Tim Pansel Komnas HAM, Makarim Wibisono saat dikonfirmasi Tirto, Rabu (1/6/2022).
Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar kembali mengingatkan bahwa ketidakterlibatan polisi penting agar Indonesia tetap memegang Paris Principles. Prinsip Paris akan membuat Komnas HAM tetap independen dan sesuai tugas pokok keberadaan Komnas HAM sebagai alat untuk mengawasi pemerintahan dan para penegak hukum, termasuk polisi.
Kalau tetap ingin melamar, kata dia, polisi tersebut seharusnya melamar sesuai jeda waktu tertentu. Hal itu dilakukan agar tidak ada konflik kepentingan seperti semangat melindungi korps saat aktif di Komnas HAM.
“Jadi mestinya ada jeda waktu 5 tahun agar ketika misalnya dia berada di Komnas HAM tidak mewakili kepentingan kepolisian atau kemudian tidak ada kecurigaan bahwa dia mewakili kepentingan kepolisian," kata Wahyudi kepada reporter Tirto.
Wahyudi menambahkan, “Meskipun yang sekarang (Remigius) itu kan pensiun memang di Oktober, tapi kan itu belum ada satu jeda waktu yang cukup untuk kemudian bisa mengatakan bahwa betul-betul kandidat ini sepenuhnya jauh dari atau meminimalisir kecurigaan dia tidak mewakili kepentingan kepolisian. Apalagi dikatakan sekarang banyak petinggi-petinggi kepolisian yang akhirnya masuk ke institusi-institusi negara, tidak hanya Komnas HAM tapi sebelumnya KPK, kemudian sejumlah kementerian dan lembaga.”
Dalam berbagai catatan yang dihimpun Tirto, para petugas beralmamater polisi (baik masih aktif maupun sudah pensiun) memang banyak yang duduk di sejumlah kursi strategis, baik sebatas pejabat tinggi hingga kepala kementerian atau lembaga. Kemenkumham contohnya.
Kini, di Kemenkumham ada dua 'alumni' Polri, yakni Komjen Andap Budhi Revianto yang menjabat sebagai Sekjen Kemenkumham dan Irjen Pol Reynhard SP Silitonga yang menjabat sebagai Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham. Di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) ada eks Wakabareskrim Komjen (purn) Antam Novambar. Antam saat ini menjabat sebagai Sekjen KKP.
Di level pejabat tinggi setingkat menteri atau kepala lembaga cukup banyak. Di kementerian ada Mendagri Tito Karnavian yang merupakan eks Kapolri. Lalu ada Kepala Badan Intelijen Negara Komjen (purn) Budi Gunawan yang sebelumnya eks Wakapolri, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Petrus Reinhard Golose yang merupakan eks Kapolda Bali, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar, eks Kepala BNN Komjen (purn) Budi Waseso yang menjabat sebagai Dirut Bulog.
Di luar jabatan strategis pun masih ada polisi aktif maupun pensiun. Di organisasi pengelola sepakbola atau PSSI, ada mantan Asisten Operasi Kapolri atau eks Kapolda Metro Jaya Mochammad Iriawan. Pria yang terakhir berpangkat komjen itu menjadi Ketua Umum PSSI sejak 2 November 2019. Di tubuh voli atau PBVSI dipimpin oleh Komjen (purn) Imam Sudjarwo. Imam sendiri adalah mantan Kakor Brimob Polri. Kapolri pun didapuk sebagai pembina PBVSI.
Lalu di tubuh olahraga bulutangkis juga ada polisi. Ketua Umum PBSI (Persatuan Bulu Tangkis Indonesia) Agung Firman Sampurna menunjuk Kapolda Metro Jaya Irjen Muhammad Fadhil Imran sebagai Staf Khusus Ketua Umum PBSI dan menunjuk Kapolri Listyo Sigit Prabowo sebagai sekjen.
Menurut Wahyudi, situasi polisi saat ini yang berada di berbagai lini tidak bisa dilepaskan dari upaya regenerasi di tubuh Polri. Ia menilai, Polri saat ini mengalami seperti ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau TNI-Polri sebelum dipisah) di era orde baru. Di era orde baru, tidak sedikit ABRI dikerahkan untuk menduduki ruang-ruang kekuasaan publik.
Peran tersebut buyar setelah MPR mengeluarkan TAP MPR Nomor 6 dan 7 tahun 2000 sebagai bentuk pemisahan TNI dan Polri serta keberadaan Undang-Undang Kepolisian. Posisi Polri pun dibuat mendekati dengan postur TNI saat ini sehingga memicu permasalahan seperti TNI dalam pengelolaan personil. Situasi tersebut memicu sejumlah perwira tinggi berakhir tidak mendapatkan posisi tinggi di tubuh korps Bhayangkara. Para anggota yang tidak bisa bersaing di korps Bhayangkara lantas masuk ke kementerian/lembaga.
“Tantangannya sama (dengan TNI). Ada banyak kemudian perwira tinggi kepolisian yang pada akhirnya tidak mendapatkan pos jabatan. Kemudian yang dilakukan untuk menjawab persoalan itu adalah memasukkan mereka sebagai pejabat tinggi di sejumlah kementerian dan lembaga atau lembaga-lembaga yang lain termasuk wacana penjabat kepala daerah pilkada 2024. Itu kan mengambil dari institusi kepolisian salah satu yang diwacanakan termasuk juga TNI," kata Wahyudi.
Wahyudi mengatakan, “Ini kan kita takutkan sebenarnya situasi yang dulu terjadi di masa orba ketika petinggi-petinggi perwira tinggi dari militer dan kepolisian justru masuk ke dalam posisi jabatan-jabatan sipil yang seharusnya itu diisi oleh pejabat-pejabat sipil, oleh orang-orang sipil sebagai bagian dari supremasi sipil itu sendiri dan memastikan adanya kontrol sipil yang demokratis terhadap institusi militer dan kepolisian," kata Wahyudi.
Namun Wahyudi enggan berkomentar soal kinerja kepolisian di kementerian, lembaga maupun instansi terkait. Ia lebih menekankan bahwa jabatan sipil harus diisi oleh pejabat sipil. Hal itu sebagai bukti dari supremasi sipil dan memastikan kontrol sipil yang demokratis terhadap militer.
Ia menilai Jokowi dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit harus mengambil sikap. Sigit sebagai kapolri harus mengambil sikap dalam upaya mengelola SDM agar para perwira tinggi Polri tidak 'lompat pagar' dengan pengelolaan manajerial SDM.
“Mestinya yang ditekankan adalah mengembangkan tata kelola organisasi, tata kerja kepolisian untuk memastikan bahwa perwira-perwira tinggi kepolisian itu ditempatkan di pos-pos jabatan yang sesuai dengan kapasitasnya dan kemudian justru tidak didorong untuk masuk ke ruang-ruang sipil yang diisi oleh pejabat sipil,” kata Wahyudi.
Wahyudi juga mendorong agar lembaga-lembaga yang berpotensi ditempatkan polisi perlu memasukkan kualifikasi penguatan penempatan sipil di organisasi mereka.
Sementara itu, kata Wahyudi, presiden harus mengambil langkah tegas agar masalah anggota TNI-Polri yang pindah ke jabatan sipil terus berlangsung segera dicarikan solusi. Ia mengingatkan, konteks pemenuhan HAM dan perlindungan HAM adalah memastikan supremasi sipil dan kontrol sipil tetap berjalan.
Jadi Perhatian Serius
Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi justru melihat bahwa keberadaan para polisi yang aktif di berbagai instansi pemerintah sudah diprediksi dan menjadi perhatian serius.
Sebab, kata dia, Polri justru menjadi kekuatan baru yang berhubungan dengan politik setelah bebas dari ABRI usai keruntuhan orde baru. Perilaku polisi saat ini tidak lepas dari kultur warisan Polri dari lembaga yang bernama ABRI selama 32 tahun.
“Masalahnya setelah dua dasawarsa demokrasi politik Indonesia, ternyata juga masih menjadi ajang rebutan kuasa. Berakhirnya orba ternyata memang tidak serta merta menghadirkan kedamaian dan keamanan. Nah di tengah menguatnya pragmatisme pada perangkat-perangkat demokrasi dan praetorianisme di tubuh militer ini kemudian muncul kekuatan alternatif bernama polisi,” kata Fahmi.
Fahmi menilai, kondisi Indonesia saat ini sudah mengarah pada police state atau negara yang menggunakan polisi sebagai alat untuk memelihara kekuasaan, mengawasi dan menjaga kehidupan publik. Contoh mudah, kata Fahmi, adalah saat Hindia Belanda berupaya menjaga keamanan Nusantara di masa lalu.
Saat ini, di Indonesia, polisi yang sudah pensiun maupun masih aktif kerap berada di kekuasaan dengan duduk di kursi strategis pemerintahan maupun lembaga.
Lantas, apakah keberadaan polisi di sejumlah kursi strategis buruk? Bagi Fahmi, selama kebutuhan masyarakat terpenuhi, yakni bisa beraktivitas secara bebas, aman dan nyaman tidak masalah. Selama poin tersebut terpenuhi, pemerintahan berjalan transparan, jujur, adil, dan melindungi kepentingan dan hak masyarakat, publik akan bekerja sama dengan pemerintah. Publik justru akan resisten jika kebijakan yang diambil adalah upaya untuk melanggengkan kekuasaan.
Ia mengambil contoh negara Singapura. Singapura merupakan negara yang tidak demokratis, tetapi rakyat tidak menyoalkan pengaturan negara. Hal tersebut terjadi karena pemerintah Singapura bisa menghadirkan kebutuhan rakyatnya, kata Fahmi.
“Jadi kalau Indonesia dalam hal ini bergerak ke arah yang salah, ke arah negara polisi, kemudian demi kepentingan kekuasaan, demi kepentingan segelintir orang yang berkuasa, ya tentu saja ini akan menjadi problem trust yang mungkin terjadi krisis kepercayaan dari publik terhadap jalannya pemerintahan, jalannya penyelenggara negara," kata Fahmi.
Terkait kehadiran anggota Polri yang ikut seleksi Komnas HAM, Fahmi menganggap hal itu tidak masalah karena Polri tidak dilarang ikut seleksi. Akan tetapi, ia melarang polisi tersebut ikut seleksi jika niatnya adalah untuk mengamankan korps Bhayangkara.
“Seleksi Komnas HAM jangan sampai jadi pintu masuk bagi upaya merusak tujuan baik dari dihadirkan lembaga itu," tutur Fahmi. “Kehadiran polisi di lembaga-lembaga lain harus jadi cermin menilai apakah kehadiran mereka berkontribusi positif atau malah jadi penyulit upaya pencapaian tujuan-tujuan baik," tegas Fahmi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz