tirto.id - Istana Merdeka, Jakarta Pusat jadi lokasi pertemuan Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia (APPI) dan Presiden Joko Widodo, pada 30 Mei 2022. Mereka membahas proses perubahan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan masa depan pendidikan bangsa. Namun para tamu terperanjat dengan hasil audiensi.
“Yang sangat mengejutkan bagi kami, dalam pertemuan, presiden menyatakan bahwa beliau tidak tahu ada proses perubahan UU Sisdiknas," kata Dewan Pengarah APPI Doni Koesoema A, dalam keterangan tertulis. "Untuk itu presiden akan memanggil mendikbud meminta penjelasan terkait hal ini.”
Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Unifah Rosyidi pun berpendapat, perubahan UU Sisdiknas yang jauh dari semangat gotong royong bila dilanjutkan akan merugikan dan malah merusak legasi presiden dan akan menyulitkan para guru.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno pun menjawab soal ketidaktahuan kepala negara ihwal rencana revisi UU Sisdiknas. “Pembahasan tentang substansi RUU Sisdiknas itu memang belum waktunya sampai ke presiden karena revisi Undang-Undang Sisdiknas masih masuk dalam daftar panjang prolegnas tahun 2019-2024," aku Pratikno dalam keterangannya, sehari setelah pertemuan.
Revisi UU Sisdiknas masih diproses di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Kini pemerintah tengah mempersiapkan naskah akademik serta draf revisi undang-undang untuk diajukan ke DPR agar bisa masuk daftar prolegnas prioritas 2022.
Pratikno juga menegaskan, naskah revisi yang beredar di publik merupakan naskah penggodokan dari tim Kemendikbudristek. "Itu naskah yang sekarang ini beredar dan dibahas oleh APPI kemarin. Proses revisi UU Sisdiknas masih sangat-sangat awal, tahapannya masih sangat panjang, dan memang belum sampai. Belum waktunya sampai ke presiden," imbuh Pratikno.
Dalam waktu dekat ini pihak istana akan menjadwalkan agar para menteri melaporkan substansinya ke presiden.
Bukan Kejadian Pertama
Bukan hanya sekali ini saja orang nomor wahid di Indonesia itu ‘terkejut dengan keputusan bawahannya.’ Misalnya, Presiden Jokowi mengaku kaget upah kepala desa cair tiga bulan sekali. Hal itu ia sampaikan pada acara Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) di Istora Senayan pada 29 Maret 2022.
“Saya terus terang tidak tahu, masak gaji diberikan tiga bulan sekali? Saya tidak mengerti. Sudah, akan kami ubah dan akan diusahakan setiap bulan," ujar Jokowi.
Ditarik ke belakang, tapatnya pada 12 Februari tiga tahun silam, Presiden Jokowi pun menerima banyak keluhan lantaran harga tiket pesawat untuk penerbangan di dalam negeri tinggi. Meningkatnya harga tiket karena harga avtur --bahan bakar pesawat—di Indonesia sangat mahal.
Kala itu presiden bilang, “Saya terus terang juga kaget, dan malam hari ini juga saya baru tahu mengenai avtur. Ternyata avtur yang dijual di Soekarno-Hatta itu dimonopoli oleh Pertamina sendiri.”
Presiden meyakini kalau tidak dimonopoli, pasti banyak yang antre untuk menjual avtur di bandara-bandara di tanah air. “Semuanya memang harus ada kompetisi. Kalau ada kompetisi itu akan ada sebuah persaingan yang sehat. Kalau ada persaingan sehat, akan ada efisiensi di semua pembiayaan yang ada.”
Presiden Semestinya Paham Detail
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII) Adinda Tenriangke Muchtar mencontohkan soal ketidaktahuan presiden soal revisi UU Sisdiknas. Meski regulasi itu masih ‘digodok’ oleh kementerian, namun itu juga bukan alasan karena ini membahas isu kebutuhan rakyat.
“Apa pun tahap dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan atau kebijakan, presiden tidak tahu semuanya hingga detail,” kata Adinda kepada reporter Tirto, Kamis, 2 Juni 2022.
Namun bisa saja tim komunikasi presiden, usai mengadakan pengarahan singkat secara internal, memberikan materi kepada presiden. Jadi siapa pun yang ditemui oleh kepala negara, ia tak ucap “tidak tahu.”
Apalagi komunikasi publik presiden bisa dianggap sebagai komunikasi politik pula, tentu perkataannya bisa jadi sorotan masyarakat. Karena itu, kata Adinda, Presiden Jokowi harus memperbaiki komunikasi publiknya.
Dalam perkara monopoli avtur, presiden mengatakan sebaiknya ada kompetisi. Adinda menilai terkadang instruksi atau komentar verbal bisa mendorong perubahan dalam kebijakan, meski idealnya tidak seperti itu.
“Tapi kami tahu, proses kebijakan itu juga dipengaruhi faktor kepemimpinan. Kepemimpinan dalam hal ini adalah Joko Widodo dengan segala instruksi dan tanggapannya tentang kebijakan,” terang Adinda.
Yang juga seolah blunder, ketika pemimpin negara menjawab ‘tidak tahu’. Memang tak mudah mempelajari satu masalah dalam waktu singkat, maka tim-tim komunikasi presiden pun bisa membantunya untuk mengetahui garis besar perkara dan siapa yang akan ia hadapi. Ketidaktahuan itu seperti meruntuhkan harapan publik, meski yang presiden lontarkan adalah reaksi normal.
“Karena kapasitas beliau sebagai presiden, ekspektasinya adalah dia seharusnya tahu. Ini jadi catatan internal dalam manajemen kebijakan publik pada lembaga kepresidenan,” tutur Adinda.
Sementara itu, anggota Komisi II DPR, Mardani Ali Sera mengatakan, semestinya seorang presiden mengetahui rencana kebijakan yang akan ditempuh bawahannya, apalagi terkait regulasi yang cukup fundamental seperti UU Sisdiknas.
“Ini tidak boleh terjadi. Presiden itu penanggung jawab semua urusan eksekutif. Apalagi UU fundamental seperti Sisdiknas. Presiden perlu memberi penjelasan, perlu mengetahui dan mengawasi para menteri dengan saksama,” ujar Mardani kepada reporter Tirto, Kamis (2/6/2022).
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz