tirto.id - Seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) penyandang disabilitas mental berinisial DH yang bekerja di Kementerian Keuangan mengalami nasib miris. DH dipecat saat kondisinya tengah sakit skizofrenia paranoid yang mulai dideritanya yang saat itu tidak tertangani.
Buntut dari itu, DH menggugat Kemenkeu dan Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara (BPASN) ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta (PTTUN) Jakarta. Selain itu, seratusan organisasi disabilitas mendesak agar DH dapat kembali bekerja.
Kuasa hukum DH, Charlie menjelaskan kasus ini bermula ketika korban menerima Surat Keputusan (SK) pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dari Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani. Surat itu dikirimkan kepada keluarga DH pada Februari 2021.
Dasar pemberhentian tersebut karena DH dianggap mangkir dari pekerjaan dalam beberapa periode waktu pada 2020. “Padahal hal tersebut diakibatkan oleh skizofrenia paranoid yang mulai diderita DH yang saat itu tidak tertangani," kata Charlie kepada Tirto, Selasa (31/5/2022).
DH diberhentikan setelah 10 tahun lebih mengabdi pada instansi tersebut.
DH sendiri baru mendapatkan penanganan dan perawatan psikologis pada pertengahan 2021. Setelah kondisinya dinyatakan membaik, DH langsung mengajukan permohonan untuk dapat kembali bekerja di Kemenkeu. Dia pun menjelaskan kondisinya disertai hasil diagnosis skizofrenia yang diidapnya.
“Sayangnya, permohonan tersebut ditolak dan DH disarankan menempuh proses banding administratif melalui BPASN," ucapnya.
Tidak hanya itu, DH juga diminta mengganti kerugian negara ratusan juta rupiah karena dianggap melanggar ikatan dinas dengan pemberhentian tersebut.
Akhirnya, pada September 2021, DH mengajukan banding administratif kepada BPASN. Sebulan kemudian, BPASN menyatakan menolak permohonan tersebut karena dianggap telah lewat waktu (kedaluwarsa) dan DH dianggap harus menerima putusan tersebut.
Mengugat ke PTTUN
Dengan penolakan oleh BPASN tersebut, berdasarkan ketentuan PP Nomor 79 Tahun 2021, akhirnya DH memutuskan untuk mengajukan gugatan melalui PTTUN Jakarta pada 15 November 2021. Kemenkeu dan BPASN menjadi tergugat dengan Nomor Perkara 22/G/2021/PT.TUN JKT.
Charlie cum pengacara publik LBH Jakarta menilai, terdapat cacat prosedur dalam penjatuhan sanksi pemberhentian oleh Kementerian Keuangan karena tidak didahului dengan pembentukan tim pemeriksa sebagaimana diatur ketentuan PP No. 53 Tahun 2010 yang kini telah diubah melalui PP No. 94 Tahun 2021.
Pemberhentian DH hanya didasarkan oleh pemeriksaan atasan langsung. Hal tersebut menunjukkan tidak adanya kehati-hatian dalam menjatuhkan sanksi berat bagi pegawainya yang berakibat fatal, yaitu terlanggarnya hak penyandang disabilitas atas pekerjaannya.
“Hal tersebut diperburuk dengan tidak adanya akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas mental di lingkungan pekerjaan yang memungkinkan adanya lingkungan yang inklusif dan tidak diskriminatif terhadap penyandang disabilitas mental seperti skizofrenia," terangnya.
Selain itu, LBH Jakarta juga berpandangan bahwa penolakan BPASN atas banding administratif yang diajukan DH dengan disertai bukti disabilitas mental yang dialaminya adalah tindakan diskriminatif dan melanggar hukum.
Padahal, UU No. 8 Tahun 2016 telah mengatur hak penyandang disabilitas mendapatkan perlakuan khusus, kesamaan kesempatan, dan akomodasi yang layak dalam mengakses pekerjaan dan bahkan proses hukum.
Dalam kondisi kekambuhan skizofrenia-nya, DH tidak mampu membela diri atas sanksi yang dijatuhkan dan tidak mampu mengajukan upaya hukum banding administratif sesuai batas waktu 14 hari yang ditentukan.
“Menyamakan kondisi DH dengan ASN yang tidak mengalami disabilitas mental dalam hal pengajuan upaya hukum ini adalah tindakan diskriminatif," kata dia.
Pada Rabu, 6 April 2022, sidang memasuki agenda pemeriksaan saksi yang dihadirkan penggugat untuk mengonfirmasi gejala-gejala disabilitas mental yang dialami DH pada saat ia dianggap mangkir dan saat ia tidak dapat mengajukan upaya banding tepat waktu.
Terdapat dua saksi fakta, tiga ahli dan puluhan bukti surat yang dihadirkan penggugat untuk membuktikan dalilnya. Kemudian pada 20 April dilakukan sidang lanjutan. Pada agenda kali ini, LBH Jakarta menghadirkan satu orang saksi fakta dan satu orang ahli.
Berdasarkan hasil keterangan saksi yang merupakan seorang Psikolog Forensik yang tergabung dalam Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR), DH terbukti menderita skizofrenia paranoid kronis. "Kondisi DH bisa stabil jika rutin minum obat. Namun, saat obatnya habis DH tidak konsumsi rutin," imbuhnya.
Sementara itu, Charlie mengatakan putusan perkara akan dibacakan pada 2 Juni 2022 mendatang.
Didukung Organisasi Disabilitas
Perjuangan DH untuk kembali memperoleh pekerjaan mendapat dukungan publik. Sebanyak 150 organisasi disabilitas dan organisasi masyarakat sipil, serta 47 individu yang berasal dari kalangan pegiat HAM, aktivis buruh dan aktivis perempuan melayangkan surat kepada Menkeu Sri Mulyani untuk mencabut SK dan memulihkan hak DH untuk kembali bekerja di Kemenkeu.
Koalisi menerangkan bahwa bunyi Pasal 45 UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas adalah “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin proses rekrutmen, penerimaan, pelatihan kerja, penempatan kerja, keberlanjutan kerja, dan pengembangan karier yang adil dan tanpa diskriminasi kepada penyandang disabilitas”.
Selain itu, dalam UU 8/2016 juga disebutkan pemberi kerja wajib menyediakan akomodasi yang layak, seperti cuti atau izin khusus untuk pengobatan bagi penyandang disabilitas, termasuk memberikan fleksibilitas kerja.
“Kewajiban pelindungan tenaga kerja disabilitas dalam implementasinya di Kementerian Keuangan RI rupanya tidak berjalan sesuai mandatnya,” kata anggota Perhimpunan Jiwa Sehat, Ratna Dewi selaku salah satu koalisi melalui keterangan tertulis, Senin (30/5/2022).
Padahal, kata Ratna, DH sendiri selama bekerja di Kemenkeu memiliki prestasi kerja hingga menciptakan aplikasi berbasis digital dalam administrasi persuratan khusus internal di sebuah departemen kementerian tersebut.
Selain dipulihkan sebagai ASN, Ratna juga mendesak agar DH terbebaskan dari tuntutan ganti rugi. Jika keputusan pemberhentian ini dipertahankan, maka hal ini akan menjadi preseden buruk dan ancaman bagi nasib disabilitas mental lainnya yang rentan mendapatkan sanksi serupa di tengah minimnya akomodasi yang layak di lingkungan pekerjaan, khususnya bagi ASN.
"Kemenkeu sebagai instansi pemerintahan seharusnya dapat mencontohkan perlindungan terhadap disabilitas di lingkungan kerjanya, bukan justru memberikan contoh buruk bagi upaya perlindungan hak disabilitas," kata Ratna.
Ratna juga menyayangkan sikap PTTUN yang tidak menyediakan akomodasi yang layak bagi DH sebagai difabel.
“Menuntut PTTUN untuk segera menyediakan akomodasi yang layak bagi DH, termasuk penyediaan psikiater bagi sesuai kebutuhannya selama proses peradilan berlangsung," kata dia.
Kemenkeu & BKN Tunggu Putusan PTTUN
Staf Khusus Menkeu Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo mengatakan, saat ini pihaknya masih menunggu hasil keputusan PTTUN Jakarta. Kemenkeu senantiasa menghormati semua upaya hukum dan akan mengikuti semua proses peradilan, termasuk menghormati putusan pengadilan.
“Saat ini kami menunggu putusan PTTUN terkait gugatan saudari DH," kata Yustinus saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (31/5/2022).
Yustinus memastikan, Kemenkeu dalam melaksanakan tugas dan melakukan pengambilan keputusan selalu didasarkan pada ketentuan yang berlaku.
Sementara jika terdapat ketidaksetujuan terhadap keputusan yang diterbitkan, Kemenkeu juga mempersilakan kepada pihak-pihak yang tidak setuju untuk mengajukan keberatan atau upaya hukum sesuai ketentuan.
Senada dengan Kemenkeu, Kepala Biro Hukum, Humas, dan Kerja Sama BKN Satya Pratama mengatakan, pihaknya juga menunggu hasil keputusan PTTUN.
“Kan sudah masuk PTTUN, kami tunggu gugatan resminya. Saat ini tidak ada komentar dulu," kata Satya saat dikonfirmasi reporter Tirto, Selasa (31/5/2022).
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz