Menuju konten utama
Round Up

Saat Polisi Aktif Lolos Seleksi Calon Anggota Komnas HAM 2022-2027

Revanlee menilai kehadiran Polri di tubuh Komnas HAM bisa berbahaya. Sebab, Komnas HAM akan menjadi bias.

Saat Polisi Aktif Lolos Seleksi Calon Anggota Komnas HAM 2022-2027
Kantor Komnas HAM, Jakarta. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Seleksi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) 2022-2027 menjadi sorotan. Hal ini lantaran dari 50 kandidat yang dinyatakan lolos tes tulis, panitia seleksi (Pansel) meloloskan seorang polisi aktif.

“Tes ini diikuti oleh 96 peserta yang lolos tahapan seleksi administrasi. Namun, hanya 50 orang yang dinyatakan lolos tes tertulis,” ujar Wakil Ketua Tim Pansel Calon Anggota Komnas HAM RI, Kamala Chandrakirana di Jakarta seperti dikutip Antara.

Dinukil dari laman resmi Pansel Komnas HAM [PDF], terdapat 50 nama orang yang dinyatakan lolos seleksi tes tulis. Dalam list tersebut, muncul nama Remigius Sigid Tri Hardjanto dari Yogyakarta yang merupakan anggota Polri.

Berdasarkan laman Lemdiklat Polri, Sigid aktif di Polda Sulawesi Utara (Sulut). Ia pernah menjabat sebagai Direktur Narkoba Polda Sulut (2008), Direktur Reserse Kriminal Polda Sulut (2008), aktif di Kabagbanhatkum Robinkum Divkum Polri (tidak diketahui tahunnya) dan Karosunluhkum Divkum Polri (2014). Ia pun sempat menjadi Kepala STIK Lemdikpol pada 2016 hingga akhirnya menjadi Kapolda Sulut pada 21 Desember 2018 hingga 3 Februari 2020. Hingga saat ini belum diketahui aktivitas terakhir Sigid di Korps Bhayangkara.

Sontak, keputusan pansel tersebut menuai kritik. Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan Tindak Kekerasan (KontraS) Rivanlee Anandar menilai, lolosya Sigid tidak lepas dari sepak terjang 'seniornnya' yang sudah melintas ke institusi sipil lain seperti Firli Bahuri yang kini menjadi Ketua KPK atau Iriawan alias Iwan Bule yang sempat menjadi Pjs Gubernur.

Rivanlee pun mengingatkan bahwa Sigid bisa saja menjadi pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang dilakukan kepolisian.

“Meski dalam beberapa argumentasi dia diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu, tetapi kenyataannya untuk konteks Komnas HAM itu si tim seleksinya tidak memperhatikan secara betul tentang kinerja atau tentang evaluasi kepolisian secara menyeluruh yang bisa jadi salah satu tanggung jawabnya atas praktik-praktik kekerasan yang selama ini terjadi di tubuh kepolisian kepada massa aksi, kepada kelompok rentan lainnya," kata Rivanlee kepada reporter Tirto, Selasa (31/5/2022).

Ia beralasan, polisi yang seharusnya berada di sistem bisa memperbaiki upaya anggota kepolisian lain dalam menangani upaya massa aksi atau masalah lain berkaitan HAM di kepolisian. Ia menilai, panitia seleksi harus berani tidak hanya melihat dari tes administrasi, tapi juga sepak terjang calon anggota yang berasal dari Polri seperti Sigid.

“Maka dari itu aneh ketika tim seleksi justru meloloskan calon komisioner dari Polri yang aktif ini karena ada hal-hal yang semestinya tidak bisa dilihat dari selembar kertas administratif belaka, tapi dia juga harus dilihat kontekstualnya ke yang lebih luas lagi tentang peran Polri selama ini," tutur Rivanlee.

Rivanlee menilai, kehadiran Polri di tubuh Komnas HAM bisa berbahaya. Sebab, kata dia, Komnas HAM akan menjadi bias. Ia juga khawatir Komnas HAM bernasib seperti Kompolnas yang merupakan lembaga pengawas kepolisian, tapi malah diisi polisi. Pada akhirnya, lembaga tidak optimal dalam memperbaiki diri.

“Komnas HAM akan bias nantinya. Dari sektor lain misalnya, Kompolnas yang diisi oleh polisi tak mampu mencegah atau merekomendasikan hal secara konkret dalam perbaikan Polri. Akan sulit bagi Komnas [HAM] jika hal serupa terjadi," kata Rivanlee.

Kemudian, kata dia, kehadiran anggota kepolisian aktif justru memicu polisi tidak kunjung memperbaiki diri. Padahal, Polri merupakan lembaga yang kerap kali disorot dan dilaporkan ke Komnas HAM.

Jika pansel Komnas HAM melanjutkan seleksi dan meloloskan polisi aktif dalam seleksi anggota Komnas HAM, Rivanlee khawatir hasil seleksi akan menjadi buruk. Sebab, pansel tidak memiliki penilaian holistik dalam sebuah seleksi untuk memilih Komnas HAM, sementara komisioner yang dicari seharusnya bisa lebih baik dari periode sebelumnya.

Oleh karena itu, Rivanlee mendorong agar seleksi dilakukan terbuka dan transparan. “Buka indikator dan alat uji dalam seleksi di luar dari public hearing nantinya. Karena itu menjadi penting untuk melihat kapasitas dari masing-masing calon, juga mendorong transparansi pansel. Hanya dari situ publik bisa konsisten mengawal," tegas Rivanlee.

Komisioner Komnas HAM, Sandrayati Moniaga juga berharap agar Komnas HAM periode 2022-2027 tidak diisi oleh Polri aktif. Ia mengacu pada kebijakan GANHRI (Global Alliance of National Human Right Institution) bahwa pejabat atau pensiunan tidak layak untuk menjadi pimpinan Komnas HAM meski aturan Indonesia membolehkan.

“Di dalam Undang-Undang 39 (UU 39 tahun 1999 tentang Komnas HAM) itu memang unsur berbagai pihak ada termasuk pemerintah segala, tetapi kalau merujuk pada Paris Principle, prinsip paris itu adalah dokumen yang dirujuk PBB dan juga oleh GANHRI atau Global Alliance of National Human Right Institution mestinya para pejabat ataupun pensiunan tidak boleh mendaftar," kata Sandrayati di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin (30/5/2022).

Alasannya, kata Sandrayati, karena Komnas HAM adalah lembaga negara independen yang bertugas melakukan pengawasan atas pelaksanaan fungsi negara sebagai pemangku kewajiban pemenuhan pemajuan HAM. “Jadi yang diawasi adalah pemerintah. Nah oleh karena itu harusnya siapa yang duduk di Komnas HAM adalah pihak yang independen dari pemerintah.”

Tidak hanya soal alasan berbasis penilaian internasional, ia juga mengingatkan bahwa Polri adalah kelompok yang paling tinggi dilaporkan ke Komnas HAM. Ia khawatir ada konflik kepentingan, termasuk pemeriksaan secara tidak fair, meski eks Polri, jaksa maupun hakim bisa melamar sebagai komisioner Komnas HAM.

Ia mengakui bahwa Komnas HAM punya eks komisioner Komnas HAM dari kepolisian yakni Irjen (purn) Koesparmono. Akan tetapi, Koesparmono dipilih oleh presiden. Kemudian, Koesparmono punya rekam jejak mumpuni, salah satunya adalah berani menyelidiki dugaan pencemaran air kali Brantas.

“Jadi dalam konteks ini memang saya berharap pansel nanti bisa melihat bagaimana siapa-siapa yang layak, siapa-siapa yang qualified tentunya kapasitas intelektual, kapasitas akademik juga diperhatikan, integritas diperhatikan, tetapi juga independensi dari para calon untuk bisa menjalankan tugas dan fungsinya di Komnas HAM sebagaimana semestinya satu lembaga nasional human right institution itu berfungsi di Indonesia," kata Sandrayati.

Oleh karena itu, Sandrayati mendorong agar anggota Polri tersebut pensiun. Hal ini juga berlaku pada ASN dari instansi lain agar berhenti sementara atau berhenti penuh. Dengan demikian, kinerja Komnas HAM tetap berjalan dengan baik, apalagi Komnas HAM punya hubungan baik dengan Komnas HAM saat ini.

“Ini yang memang kemudian harus jadi pertimbangan juga agar Komnas bisa tetap independen, Komnas bisa tetap menjalankan fungsi dengan efektif tanpa kesungkanan untuk bisa ikut mendukung penguatan Polri sebagaimana mereka semestinya. Ini, kan, kalau dilihat beberapa tahun terakhir hubungan kami dengan Polri baik-baik, lebih konstruktif, lebih efektif dan karena tidak ada conflict of interest dari kami jadi bisa lebih enak untuk bekerja,” kata Sandrayati.

Ketua Tim Pansel Komnas HAM, Makarim Wibisono mengaku mendengar keluhan publik soal ketidakinginan polisi menjadi bagian Komisioner Komnas HAM 2022-2027. Akan tetapi, Makarim menegaskan penentuan lolos atau tidak bukan berdasarkan keresahan, tapi berbasis hasil seleksi.

"Pansel berpegang pada syarat-syarat yang telah disepakati dan diumumkan. Selama memenuhi syarat, bisa lolos untuk tahap berikutnya. Apakah 420 ribu polisi semua buruk? Ini yang kita seleksi pada tahap-tahap selanjutnya," kata Makarim kepada reporter Tirto, Rabu (1/6/2022).

Ia mengingatkan bahwa Komnas HAM pernah diisi oleh perwira polisi yakni Kusparmono Irsan. Kini, mereka hanya bisa mendengar aspirasi publik dan memastikan seleksi berjalan sesuai ketentuan berlaku.

"Benar [mendengar keluhan publik dan menjalankan hasil seleksi] dan juga perhitungkan hasil dialog publik," kata Makarim.

Baca juga artikel terkait PANSEL KOMNAS HAM atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz