tirto.id - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri kembali memicu kontroversi. Tidak lama setelah publik mengkritik soal lambannya penanganan buronan komisi antirasuah, Harun Masiku, kini Firli diseret dalam politik praktis.
Semua berawal ketika beredar spanduk yang mendorong Firli sebagai calon presiden atau capres 2024. Spanduk Firli nyapres dipasang di sejumlah kawasan di Provinsi Banten. Poster tersebut bertuliskan “Masyarakat Banten Mendesak Tokoh Anti Korupsi Maju di Pilpres 2024.”
Munculnya spanduk tersebut pun menuai kritik dari aktivis antikorupsi. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana mendesak agar Dewan Pengawas KPK turun tangan. Sebab, kata dia, kehadiran spanduk tersebut berpotensi punya motif tertentu.
“Menjamurnya spanduk atau baliho Ketua KPK mestinya menggerakkan Dewan Pengawas untuk menelusurinya lebih lanjut. Sebab, ini bukan kali pertama terjadi,” kata Kurnia saat dihubungi reporter Tirto, Senin (30/5/2022).
ICW khawatir, keberadaan spanduk atau baliho tersebut memang dikondisikan untuk menarik atensi masyarakat demi kepentingan politik dengan mengatasnamakan lembaga KPK dan memanfaatkan jabatannya. Ia mengingatkan, hal tersebut melanggar etik.
“Ini penting disampaikan, sebab jika terjadi, maka dapat dipersoalkan secara etik karena melanggar Pasal 4 ayat (1) huruf d PerDewas 2/2020," kata Kurnia.
Firli pun langsung mengklarifikasi soal keberadaan sejumlah spanduk tersebut. Ia mengaku tidak tahu soal keberadaan spanduk dukungan maju capres pada Pemilu 2024.
“Sesungguhnya sekali lagi, saya ingin menegaskan bahwa spanduk itu sama sekali saya tidak tahu dan tidak ada inisiatif apa pun yang datang dari saya dan saya tidak memahami bagaimana ia (spanduk dukungan capres) bisa muncul,” kata dia sebagaimana dikutip Antara.
Firli menegaskan ia adalah penegak hukum yang tidak bersinggungan dengan hal politik. Ia pun berusaha meyakinkan publik bahwa tidak ada unsur politik di KPK. “Percayalah para sahabat semua yang terjadi di KPK adalah proses hukum dan tidak ada kejadian politik," klaim Firli.
Firli pun menegaskan bahwa ia akan menyelesaikan tugas sebagai Ketua KPK pada 2023.
Bantahan senada juga ditegaskan Juru Bicara KPK, Ali Fikri. Ia berharap agar isu politik yang muncul di 2024 tidak menggangu kinerja pemberantasan korupsi yang menjadi atensi KPK.
“Isu politik, khususnya pemilihan presiden-wakil presiden pada 2024, terus mengemuka. Kami berharap isu ini tidak mengganggu fokus kerja pemberantasan korupsi yang menjadi komitmen KPK,” kata Ali saat dikonfirmasi Tirto.
Apakah Firli Layak Jual Jadi Bakal Capres?
Pegiat antikorupsi bidang politik ICW, Egi Primayogha menilai Firli tidak layak sebagai bakal capres maupun cawapres. Egi melihat dari syarat minimal seseorang sebagai presiden.
“Presiden RI harus seseorang yang berpegang teguh pada prinsip etika publik, memiliki integritas, paham masalah konflik kepentingan. Nampaknya FIrli Bahuri tidak memenuhi kriteria tersebut,” kata Egi kepada Tirto.
Egi mencontohkan Firli pernah disidang etik dan dinyatakan bersalah. Hal itu memang pernah terjadi lantaran Firli hidup mewah dengan menggunakan helikopter milik perusahaan swasta saat perjalanan pribadi dari Palembang ke Baturaja. Ia diduga tidak bisa memisahkan kepentingan pribadi dengan kepentingan publik. Oleh karena itu, Egi mengatakan, "Jauh dari kriteria layak sebagai presiden.”
Sementara itu, analis politik sekaligus CEO & Founder Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menilai, Firli belum mempunyai angka elektabilitas yang mencukupi. Dalam survei Voxpol misal, kata Pangi, tidak ada angka elektabilitas untuk Firli.
“Dari segi modal elektoral beliau belum kelihatan Nampak, baik posisi sebagai capres maupun positioning-nya sebagai cawapres itu baik elektabilitasnya nggak kelihatan. Masih belum nampak. Kalau kita in zoom itu 0,1 saja belum kelihatan,” kata Pangi kepada reporter Tirto.
Pangi mengaku belum tahu apakah lembaga survei lain menguji elektabilitas Firli. Namun, dalam survei yang dilakukan Voxpol, nama Firli tidak muncul sama sekali.
Menurut Pangi, kursi ketua KPK semestinya bisa membawa efek elektoral selama dia berkinerja dan berprestasi. Namun dalam kasus Firli, Pangi belum melihat kinerja yang membuat mantan Deputi Penindakan KPK itu layak masuk dalam daftar bursa capres.
Pangi justru menyinggung bahwa kondisi KPK saat ini malah terus turun dan berada di bawah kepolisian maupun kejaksaan.
“Sekarang persoalannya adalah apa yang bisa dilihat publik dari kinerja prestasi institusi KPK dan keberhasilan KPK adalah keberhasilan Firli? Itu yang kita nggak lihat. Itu masih belum kelihatan," kata Pangi.
Pangi mengatakan, kondisi Firli berbeda dengan Abraham Samad saat jadi ketua KPK. Samad sempat menjadi perbincangan serius sebagai capres/cawapres pada Pilpres 2014 karena sepak terjang dalam pemberantasan korupsi.
Hal tersebut tidak terlepas dari keberanian KPK dalam mengungkap perkara besar seperti kasus e-KTP dan pejabat high profile seperti menteri dan anggota DPR, kata Pangi.
Di sisi lain, Firli lebih dikenal dengan upaya penindakan yang tidak berani dan tebang pilih, kata Pangi. KPK saat ini lebih menindak pejabat yang setingkat eselon 1 dan eselon 2 atau kepala daerah yang tidak bersinggungan dengan pihak berkuasa. Oleh karena itu, kondisi Firli berbeda dengan Samad.
Pangi lebih menduga bahwa keberadaan spanduk tersebut terdiri atas dua alasan. Pertama, poster capres beredar karena ingin menyenangkan Firli, apalagi modal baliho tidak mahal. Kedua, aksi peredaran spanduk murni tidak ada instruksi dari Firli, tetapi ada orang yang ingin membantu mantan Kapolda NTB itu.
Akan tetapi, Pangi menilai keberadaan spanduk maupun baliho itu wajar sebagai upaya untuk menjaga eksistensi di mata publik. Itu pun, kata Pangi, bisa saja hanya sekadar main-main.
“Ada kemungkinan dia sudah puas, dia sudah digaungkan capres walaupun itu hanya menjadi hiasan media, nggak serius," kata Pangi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz