Menuju konten utama

Anggaran Besar Polri Tak Sebanding dengan Profesionalisme Polisi?

Anggaran Polri sangat besar mencapai RpRp104,70 triliun, tapi kritik terhadap upaya kepolisian dalam menjaga keamanan dan ketertiban masih saja muncul.

Anggaran Besar Polri Tak Sebanding dengan Profesionalisme Polisi?
Bentrok antara polisi dan demonstran terjadi saat aksi mahasiswa dan pelajar di sekitar flyover, Jakarta, Senin (30/9/2019). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Presiden Joko Widodo sempat menyinggung soal kenaikan anggaran Kementerian Pertahanan pada HUT TNI ke-74, Sabtu (5/10/2019). Pemerintah menaikkan tunjangan kinerja TNI mencapai 80 persen serta membuka 450 posisi baru untuk TNI.

Ucapan Jokowi tentu tak mengada-ada. Alokasi APBN 2020 di sektor pertahanan lewat Kementerian Pertahanan memang mencapai Rp131,18 triliun. Bujet ini terbesar dari 86 kementerian/lembaga.

Jumlah tersebut juga lebih besar dari anggaran Polri yang mencapai Rp104,70 triliun pada 2020. Bedanya, anggaran pertahanan itu masih dibagi ke sejumlah matra di TNI, sementara Polri tidak.

Dalam Rancangan Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga Tahun Anggaran 2020 yang dirilis Kemenkeu, anggaran pertahanan itu dialokasikan untuk pengembangan sarana angkatan darat dan angkatan laut. Sementara bujet Polri fokus pada upaya peningkatan kesejahteraan personel dan penguatan unit kerja.

Anggaran Tinggi, Profesionalisme Masih Bermasalah

Meski anggaran naik, tapi kritik terhadap upaya kepolisian dalam menjaga keamanan dan ketertiban masih muncul. Contoh terbaru soal penanganan unjuk rasa mahasiswa pada 24-30 September 2019.

Tim Advokasi untuk Demokrasi, yang terdiri dari LBH Masyarakat, KontraS, YLBHI, dan LBH Jakarta mencatat, setidaknya ada 390 aduan pelanggaran ham yang terjadi dari awal posko pengaduan dibuka hingga 3 Oktober 2019.

Dalam catatan tim, polisi melakukan upaya sweeping. Kemudian, peserta demonstran yang merupakan pelajar dibawa ke kantor polisi dan ditelanjangi.

Selain itu, polisi juga menyemprotkan air ke kerumunan massa tanpa alasan sah hingga menembakkan gas air mata ke kampus Atma Jaya --tempat tim medis-- tanpa alasan. Sekitar 1.489 orang ditangkap padahal hanya berunjuk rasa.

Menurut Tim Advokasi untuk Demokrasi, aksi kepolisian sudah melanggar aturan, seperti Pasal 28E UUD 1945 dan Pasal 5 Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 serta aturan internal Kapolri.

"Berdasarkan pengaduan-pengaduan dan temuan-temuan di atas, terlihat gambaran besar tentang bagaimana Kepolisian menangani hak masyarakat untuk berkumpul secara damai. Penanganan dilakukan secara represif bahkan brutal mulai dari sebelum unjuk rasa sampai unjuk rasa usai," kata staf KontraS, Rivanlee Anandar, Jumat lalu.

Selain itu, sejumlah jurnalis mengalami kekerasan oleh aparat saat bertugas meliput demo. Mereka melalui bantuan LBH Pers bahkan mengadukan sikap represif aparat ke Polda Metro Jaya.

Namun, dari empat laporan LBH Pers, hanya dua yang diproses, yakni wartawan Kompas.com Nibras Nada N. dan wartawan KataData Tri Kurnia Yunanto. Sementara dua laporan lainnya dipersulit.

Selain penanganan demonstrasi di Jakarta, aksi pengamanan Polri di Kendari juga menjadi sorotan.

Dua mahasiswa meninggal dunia saat pengamanan unjuk rasa, pada 26 September 2019. Enam personel kini dibebastugaskan karena dianggap melanggar SOP karena membawa senjata api.

Akan tetapi, Polri belum menentukan apakah keenam anggota polisi terlibat dalam penghilangan nyawa dua mahasiswa itu atau tidak.

Karopenmas Divhumas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo menegaskan, aksi polisi merupakan upaya tindakan tegas. Mereka bertindak setelah analisa pola kerusuhan yang diatur dan terjadi setiap di atas pukul 18.00 WIB.

Dedi berdalih, polisi harus melakukan aksi tegas agar tidak berdampak parah.

"Untuk perusuh harus tegas. Kalau tidak tegas akan terjadi tindakan anarkis yang justru membahayakan kamtibmas ibu kota. Untuk unjuk rasa damai, kan, tidak ada korban," kata Dedi, Senin (7/10/2019).

Dedi membandingkan penanganan unjuk rasa dengan negara lain, seperti Hongkong, Perancis, Malaysia, maupun Singapura.

Perlu Diawasi

Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri mengatakan, kenaikan anggaran Polri tidak bisa dibandingkan dengan bujet pertahanan.

Alasannya, kata Gufron, ruang lingkup kerja Polri cukup luas seperti penegakan hukum, pelayanan publik, hingga pengamanan sampai ke level polsek. Sementara TNI, kata dia, hanya fokus pada pertahanan.

Namun, kata Gufron, anggaran Polri yang besar juga harus diikuti dengan peningkatan kinerja aparat.

"Artinya ketika kebutuhan anggarannya dipenuhi atau ditingkatkan, maka seyogyanya hal itu harus berbanding lurus dengan perbaikan kinerjanya yang seringkali menjadi perhatian terutama terkait penanganan keamanan, kemudian penegakan hukum dan pelayanan-pelayanan yang disebut belum optimal,” kata Gufron kepada reporter Tirto.

Salah satu contoh pengoptimalan adalah penguatan Bhabinkamtibnas dan fungsi intelijen, selain satuan reserse.

Menurut Gufron, penguatan Bhabinkamtibnas dan intelijen dapat membuat polisi menjadi kelompok yang mencegah tindak kriminal sehingga orientasi tidak penanganan seperti pemadam kebakaran.

"Itu akan mendorong pola penanganan masalah atau sumber masalah menjadi lebih persuasif dan lebih humanis daripada orientasi penegakan atau represif," kata Gufron.

Gufron mengatakan, anggaran hanya satu faktor evaluasi Polri dalam kinerja Polri.

Ia mengatakan, faktor pengawasan, dan akuntabilitas dari sisi internal maupun eksternal juga mempengaruhi profesionalitas kinerja Polri. Namun, kenaikan anggaran seharusnya bisa membuat aparat lebih mengedepankan penegakan hukum berbasis HAM.

“Kalau kita berharap kinerja polisi ke depan terutama dalam penegakan hukum dan hak asasi manusia menjadi lebih optimal. Dengan kinerja yang lebih optimal dan membaik, maka faktor-faktor lain juga perlu,” kata Gufron.

Menurut Gufron, faktor lain yang harus diperkuat adalah pengawasan. Gufron menerangkan, Komnas HAM sebagai pengawas penegakan HAM, DPR sebagai mitra kepolisian, dan masyarakat sipil harus ikut mengawal dan berani mengawasi kinerja kepolisian.

Harapannya, kata Gufron, penggunaan anggaran di korps Bhayangkara berjalan baik, tepat sasaran, sehingga kinerja kepolisian membaik. “Kuncinya kan soal perbaikan kinerja," kata dia.

"Dalam kinerja apa pun, penegakan hukum, penegakan ham, pelayanan publik, sampai penanganan keamanan dalam negeri termasuk menangani demonstrasi. Kalau kinerjanya membaik, maka semua persepsi negatif yang hari ini muncul di publik, saya kira itu akan dengan sendirinya terkikis,” kata Gufron.

Baca juga artikel terkait APBN 2020 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz