tirto.id - Menteri Keuangan Sri Mulyani menuturkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024 memiliki postur yang makin sehat dengan defisit sebesar 2,29 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Angka tersebut jauh lebih rendah dari defisit APBN 2020 saat terjadi pandemi COVID-19 yang tercatat sebesar 6,14 persen.
“APBN kita posturnya akan makin sehat. Defisit kita menurun sangat tajam dari Rp947,7 triliun atau 6,14 persen terhadap PDB pada 2020 menjadi Rp522,8 triliun atau 2,29 persen terhadap PDB,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers RAPBN dan Nota Keuangan Tahun Anggaran 2024 dikutip dari Antara, Rabu (16/8/2023).
Defisit RAPBN 2024 juga lebih rendah dari APBN 2023 yang sebesar 2,84 persen maupun outlook yang diperkirakan sebesar 2,30 persen untuk tahun ini. Sri Mulyani menuturkan, proyeksi defisit RAPBN 2024 diperoleh dari pendapatan negara sebesar Rp2.781,3 triliun dan belanja negara Rp3.304,1 triliun, sehingga defisit RAPBN 2024 sebesar Rp522,8 triliun.
Pendapatan negara terdiri dari penerimaan perpajakan yang direncanakan sebesar Rp2.307,9 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) senilai Rp473,0 triliun. Sementara belanja negara RpRp3.304,1 triliun terdiri dari belanja pemerintah pusat (BPP) sebesar Rp2.446,5 triliun dan transfer ke daerah Rp857,6 triliun.
Sri Mulyani membandingkan RAPBN 2024 dengan catatan APBN 2020 yang menghadapi tantangan dari pandemi COVID-19. Terdapat kenaikan signifikan pada pendapatan negara, yakni sebesar Rp1.133,5 triliun dari Rp1.647,8 triliun pada APBN 2020.
Sementara belanja negara naik Rp708,7 triliun dari Rp2.595,5 triliun pada 2020. Bendahara Negara menyebut peningkatan tersebut menunjukkan perbaikan APBN yang makin sehat. Bila mempertimbangkan Indonesia yang mencatat pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen selama tujuh kuartal berturut-turut di tengah kerentanan global, Sri Mulyani mengatakan Indonesia memiliki kombinasi struktur ekonomi yang sangat langka di dunia.
Tetapi, Sri Mulyani menuturkan, akan mengelola pembiayaan dengan defisit Rp522,8 triliun dengan sangat hati-hati. Sebab, perekonomian global ke depan makin sulit untuk diprediksi.