tirto.id - Presiden Joko Widodo mengukuhkan eks Panglima Marsekal TNI (Purn.) Hadi Tjahjanto sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional di Istana Negara, Jakarta Pusat, Rabu, 15 Juni 2022. Bila tak ada aral, maka Hadi akan memimpin instansi itu hingga 2024.
Usai bersumpah, Hadi pun buka suara tentang tiga tugas yang diberikan Jokowi. “Tugas saya yang pertama adalah menyelesaikan program sertifikat milik rakyat yang saat ini sudah terealisasi sampai 81 juta (sertifikat) dari target (harus tercapai) 126 juta,” kata Hadi.
Hadi menambahkan, “Kemudian sengketa tanah, ini kemungkinan ada tumpang tindih antara institusi dan satuan lain dan milik rakyat. Kemudian mengenai tanah Ibu Kota Negara, akan kami segera selesaikan dengan melakukan sinergi melalui kerja sama dengan instansi terkait.”
Penunjukan Hadi pun direspons beragam. Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Ahmad Nashih Luthfi mengatakan, Kementerian ATR/BPN menerima tugas dari presiden untuk melaksanakan kebijakan reforma agraria dan penyelesaian konflik agraria, dua agenda besar yang pelik, berat dan tidak mudah sebab sekian lama Indonesia meninggalkan kebijakan mendasar ini.
Di era Jokowi, Luthfi menilai, Kementerian ATR berani memperbaiki posisinya dari yang semula hanya sebagai pelaksana administrasi pertanahan, beralih menjadi perumus dan pelaksana politik pertanahan.
“Pada titik itulah kekhawatiran dan harapan saya, bahwa penyelesaian konflik pertanahan dan pelaksanaan reforma agraria untuk menyelesaikannya sekaligus membenahi ketimpangan pemilikan tanah, adalah persoalan politik. Ini prinsip yang harus dipahami,” kata dia kepada reporter Tirto, Kamis, 16 Juni 2022.
Artinya, kedua kebijakan itu adalah pengaturan ulang relasi kekuasaan yang terbentuk berbasis pemilikan atau penguasaan tanah. Sehingga menyelesaikannya berarti mengurus ketimpangan kekuasaan berbagai kepentingan yang bekerja berbasis pemilikan tanah seperti pengusaha besar perkebunan, pertambangan, industri, perumahan, yang lazim diketahui bahwa mereka berkelindan dengan kepentingan politik atau yang disebut oligarki selama ini. Di sisi lain, hak atas tanah masyarakat dan komunitas adat yang mengalami pelemahan secara struktural.
Negara dan pemerintah sebagai pelaksananya wajib berkekuatan penuh dan berani menyeimbangkan relasi kekuasaan yang timpang. Meski menteri adalah jabatan sipil, namun latar belakang Hadi Tjahjanto sebagai eks Panglima TNI, Luthfi kira memberi harapan akan kemampuannya dalam menangani ketimpangan kekuasaan tersebut.
Terlebih dalam beberapa kasus konflik perkebunan, kata dia, terdapat perkebunan-perkebunan yang ada dalam kendali militer. Ini memang tidak lepas dari proses sejarah di masa lalu bahwa ditengarai perkebunan-perkebunan menjadi sumber pendanaan operasi pemberontakan daerah sehingga diberlakukan UU Darurat 1956 dan Sukarno memerintahkan tentara pusat untuk menduduki perkebunan-perkebunan tersebut, kata dia.
“Saya berharap dengan latar belakang beliau tersebut mampu menyelesaikan konflik-konflik pertanahan, paling tidak yang turut melibatkan institusi militer langsung atau tidak langsung. Selain itu, secara teoretis, berdasarkan pengalaman dari berbagai negara pascakolonial, salah satu syarat terlaksananya penyelesaian konflik pertanahan dan keberhasilan reforma agraria adalah dukungan militer nasionalis,” jelas Luthfi.
Menurut dia, tentara turut berperan dalam membebaskan rakyat dari kolonisasi agraria yang menempatkan mereka semula hanya sebagai kuli, buruh, atau penumpang di atas tanah airnya sendiri.
Pada masa revolusi dikenal kredo bahwa “tentara adalah anak kandung rakyat (petani).” Sebab, kata Luthfi, mereka memang lahir dari tentara keamanan rakyat, dan saat bergerilya mempertahankan negara Indonesia, tentara dihidupi oleh pangan dan perlindungan dari rakyat desa yang utamanya adalah petani. Maka muruah tentara semestinya membela kepentingan petani, kata dia.
Di sisi lain, reforma agraria berjalan atas dasar prasyarat ketersediaan kemauan politik, organisasi rakyat yang kuat, data yang akurat, yang kesemuanya ini perlu diurus. Di tataran makro adalah mengatur ulang relasi kekuasaan tersebut dan di tataran mikro adalah memperkuat kelembagaan, relasi organisasi, pendataan, dan pengadministrasian pertanahan.
Sisa masa jabatan kurang lebih dua tahun pada masa pemerintahan Jokowi ini, Luthfi menilai, bisa dimanfaatkan untuk mengurus konfigurasi dan hubungan kekuasaan tersebut; sementara periode sebelumnya ia mengira sudah berupaya merapikan di tataran mezzo dan mikronya.
“Tanpa mengurus persoalan prinsipiel berupa hubungan kekuasaan itu, maka kebijakan penyelesaian konflik dan pelaksanaan reforma agraria tidak akan berhasil, fabianistis atau menghindar terus menerus dari problem utamanya,” kata Luthfi.
Upaya Konkret Menteri Anyar
Salah satu program prioritas Jokowi sejak dia terpilih sebagai orang nomor wahid di Indonesia adalah reforma agraria melalui Perhutanan Sosial (PS) dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Untuk TORA ditargetkan ada 9 juta hektare yang terbagi 4,5 juta legalisasi aset dan 4,5 juta hektare redistribusi lahan.
“Namun pencapaiannya sampai dengan saat ini masih minim, khususnya terkait redistribusi lahan kepada rakyat, hambatannya lebih kepada keinginan politik presiden dan pembantunya, khususnya Kementerian ATR/BPN, yang selama ini kami pandang enggan untuk menjalankannya,” tutur Kepala Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Nasional, Hadi Jatmiko, kepada reporter Tirto.
Indikator enggan menjalankan, misalnya seperti penyelesaian konflik yang jalan di tempat, keterbukaan informasi terkait perizinan di sektor perkebunan. Keterbukaan informasi terkait perizinan atau Hak Guna Usaha (HGU) harus menjadi langkah awal bagi menteri ATR/BPN jika ingin mewujudkan program prioritas presiden, yang selanjutnya dapat diikuti dengan penyelesaian konflik agraria yang berpihak kepada rakyat dengan meninjau ulang perizinan atau pencabutan izin.
Karena program TORA terkait retribusi lahan kepada rakyat sampai saat ini, berdasarkan catatan WALHI, baru 27 persen atau 0,76 persen dari total lahan yang dikuasai korporasi di Indonesia. Jatmiko mengatakan, selain hal bahwa presiden harus memimpin sendiri program reforma agraria secara teknis, salah satunya WALHI mendorong presiden untuk mengawasi kerja-kerja para menterinya dengan memberikan target yang jelas, misalnya pekerjaan awal selama 100 hari.
“Jika tidak tercapai, (maka bisa) evaluasi dan beri tindakan tegas. Jika ini dilakukan presiden, maka kejadian lamban dan jalan di tempatnya program reforma agraria tidak terjadi lagi,” kata Jatmiko.
Di sisi lain, masuknya militer di kabinet Jokowi menjadi kritik tersendiri lantaran jauh dari semangat reformasi. Watak militeristik, seperti menggunakan kekerasan, tidak dibawa dalam mewujudkan reforma agraria karena hanya berpotensi menambah konflik, kriminalisasi dan kekerasan.
“Dalam melihat konflik agraria yang terjadi di Indonesia tidak bisa ‘hitam-putih’. Bila ‘hitam-putih’ maka rakyat, masyarakat lokal, masyarakat adat, akan dirugikan jika menggunakan pendekatan legalitas kepemilikan lahan seperti surat-menyurat,” imbuh Jatmiko.
Sementara itu, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika berujar, sebelum ada kepemimpinan presiden yang jelas mengenai reforma agraria sejati serta penyelesaian konflik tersebut harus dituntaskan oleh para menteri terkait, maka siapapun dengan latar belakang apa pun mengisi jabatan itu tidak akan membawa perubahan signifikan.
“Karena konflik agraria tak hanya ada di Kementerian ATR/BPN. Semua problem agraria struktural itu sifatnya lintas sektoral,” kata Dewi kepada Tirto.
Menurut dia, bisa jadi hanya konflik agraria pertanahan yang di bawah yurisdiksi Kementerian ATR/BPN. Dia berharap program reforma agraria ini bisa mendapatkan pandangan dan pelaksanaan yang lebih maksimal.
“Selama ini reforma agraria hanya ‘disempitkan’ menjadi program sertifikasi tanah. Saya menunggu menteri ini punya gebrakan untuk betul-betul menjalankan reforma agraria sejati,” lanjut Dewi. Ia pun berharap cara-cara penanganan konflik agraria tidak mengedepankan kekerasan terhadap rakyat mengingat latar belakang Hadi sebagai pensiunan tentara.
Beda Fondasi, Belum Tentu Khatam
Dewi berpendapat latar belakang militer tidak cukup untuk memimpin kementerian yang berkaitan dengan perkara struktural agraria bangsa ini. Karena itu, ia menyarankan Hadi segera berkonsolidasi dengan berbagai pihak yang representatif untuk mendapatkan masukan dan solusi konstruktif perihal akar masalah maupun penyelesaian konflik agraria di Indonesia.
Hadi juga mesti paham dan peka, yang ditunggu masyarakat ialah reforma agraria sejati, kata Dewi. Jika Hadi sekadar melanjutkan kerja pendahulunya, maka sebenarnya pernyataan Joko Widodo soal sengketa pertanahan cepat diselesaikan, justru berpotensi kontraproduktif.
“Sengketa pertanahan bukan hanya masalah administrasi saja, tapi ada ketidakadilan kronis yang belum ada kanal penyelesaian,” ucap Dewi.
Ia menambahkan, “Proses-proses penyelesaian konflik agraria struktural dalam kerangka reforma agraria, harus menjadi fokus utama Pak Hadi. Kalau tidak, maka kekecewaan yang sama akan semakin terakumulasi.”
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz