tirto.id - “Tuhan Yesus, tolong!”
Pekik itu bersahutan usai Brimob tiga kali menembak tanah, jaraknya 1,5 meter dari kumpulan warga. Bayi dua bulan itu sontak menangis. Mama-mama dan siapa pun di situ ketakutan, juga Martheda Esterlina Selan (39).
Ester, demikian dia biasa dipanggil, harus kehilangan rumahnya di Desa Pollo, sekitar hutan adat Pubabu, Amanuban Selatan, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT) persis dua pekan sebelum ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia.
Saat penggusuran, seluruh barang Ester dibawa oleh aparat entah ke mana.
Pada 14 Agustus, seorang perwakilan warga Nikodemus Manao (40), juga Amaf--jabatan yang diberikan kepada orang tertentu berdasarkan garis keturunan, mendatangi DPRD provinsi di Kota Kupang, sekira dua jam perjalanan darat Pollo. Ia meminta para wakil rakyat menegur pemprov soal penggusuran.
Di tengah pertemuan ia mendapatkan kiriman foto penggusuran rumahnya sendiri. Dia bergegas pulang. Istri dan tiga anaknya ada di rumah.
“Istri tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka (aparat) membawa barang-barang kami, jagung dan padi, semua. Sampai saat ini saya tidak tahu di mana saya punya barang-barang itu,” ujar Niko ketika dihubungi reporter Tirto, Rabu (19/8/2020).
Niko bilang penggusuran rumah 29 kepala keluarga ini dimulai sejak awal Agustus. Dia menduga ada seratusan orang jadi korban penggusuran.
Sejak awal penggusuran, tepatnya pada 3 Agustus, penduduk telah melawan dengan menggelar ‘mimbar bebas’ di lahan sengketa. Aparat sempat menghentikan penggusuran di hari kelima mimbar bebas, meski dilanjutkan lagi.
Akibat penggusuran berturut-turut itu Ester, Niko, dan warga lain yang bernasib sama memilih menetap di bawah pohon. Mereka makan dan tidur di sana; hutan jadi toilet darurat. Makanan didapatkan dari sinode atau penduduk kampung sebelah. “Masyarakat tidak mau [pindah],” kata Niko.
Meski daun lontar telah jadi alas tidur, Satuan Polisi Pamong Praja dan Brimob tetap mengusir mereka. “Mereka langsung menembakkan ke tanah, tiga kali. Dua orang Brimob yang tembak.” Penembakan ini terjadi pada 18 Agustus.
Mereka digusur karena kampung yang didiami sejak puluhan tahun yang lalu itu akan dibangun pusat peternakan terbesar se-provinsi. Pemerintah sebetulnya menjanjikan relokasi, tapi jumlahnya hanya empat rumah. Tentu tak cukup.
Status tanah ini dapat dirunut sejak 1982. Ketika itu Kabupaten Timor Tengah Selatan dijadikan daerah proyek percontohan intensifikasi Peternakan Besi Pae. Untuk menyukseskan program tersebut, Gubernur NTT dan Bupati Timor Tengah Selatan saat itu meminta masyarakat di empat desa yang berada di hutan adat Pubabu--Pollo, Linamnutu, Oe Ekam, dan Mio--menyediakan lahan. Tetua adat bersedia memberikan 6.000 hektare tanah dengan syarat rumah, kebun, dan tanaman tetap dikelola oleh penduduk. Kontrak itu berlangsung lima tahun.
Deputi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTT Yuvensius Stefanus Nonga mengatakan pemerintah menerbitkan sertifikat hak pakai pada tahun 2013 untuk menggantikan “sertifikat yang hilang.” “Sertifikat duplikat itulah yang dijadikan dasar untuk usir masyarakat,” kata dia ketika dihubungi reporter Tirto.
Di sertifikat itu tercantum angka 6.000 hektare alias sama seperti lahan yang dipakai untuk proyek yang bekerja sama dengan pemerintah Australia 38 tahun lalu.
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menyatakan instansinya pernah menyurati Pemprov NTT pada 9 November 2012. Isinya berupa rekomendasi agar mereka mengembalikan lahan pertanian masyarakat yang dipinjam oleh Dinas Peternakan setempat, dan mengevaluasi UPTD .
“Kami (akan) meminta keterangan Gubernur NTT dan jajaran atas dugaan kekerasan, intimidasi dalam konflik lahan tersebut,” kata dia.
Penggusuran ini juga disertai penangkapan dua orang warga.
Pada 9 Agustus, sekira pukul 19. Anton Tanu asyik mendengarkan musik di rumah saudaranya di Besipae. Pemuda itu asal Desa Oe Ekam. Tiba-tiba datang 20-an polisi. Sebagian membekuknya, sebagian membongkar dapur rumah. Pemuda 19 tahun itu mengaku dipukul sepuluh kali.
Polisi menyebut ada tas hitam milik Anton yang berisi senjata rakitan.
“Saya tidak tahu karena baru dua pekan berada di Besipae. Saya dari Oe Ekam hanya datang untuk mengunjungi saudara yang lagi sakit. Saat itu mereka ikat jari-jari saya pakai tali, sampai bengkak,” ucap Anton.
Lantas dia digelandang ke polres naik mobil dalmas dan tetap jadi 'samsak'. Tiba di polres, ada satu polisi yang memukulinya dengan tongkat sebelum memasukkannya ke sel. Esok paginya dia dibebaskan. “Mereka membuat surat pernyataan supaya saya jangan pulang ke Besipae, nanti saya akan dibunuh.”
Polisi, lanjut Anton, mengeluarkan peluru senapan angin dari tas hitam lalu memintanya memegang barang itu dan memfotonya. Polisi juga memaksanya menandatangani surat pernyataan dan menyuruhnya balik ke rumah orang tua dengan membekali duit Rp50 ribu perak.
Lima hari kemudian, enam anggota Brimob dan satu intel kepolisian, ditemani Kepala UPT Dinas Peternakan NTT, meringkus Kornelius Nomleni (64) di Desa Mio.
“Saat penangkapan tidak diberikan atau menunjukkan surat penangkapan, juga tidak menjelaskan tindak pidana yang dilakukan oleh kedua warga Besipae tersebut,” ujar Akhmad Bumi, kuasa hukum Anton dan Kornelius.
Status Kornelius kini tersangka. Ia dijerat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dengan ancaman 10 tahun penjara. Alasan penangkapan lainnya yakni menyimpan dan menguasai bahan peledak, meski dari pengakuan Kornelius itu cuma perlengkapan berburu babi.
Kapolres Timor Tengah Selatan AKBP Aria Sandy tidak menyanggah penembakan saat penggusuran. Ia hanya menegaskan yang dikeluarkan adalah gas air mata. “Ke tanah, bukan ke masyarakat,” katanya kepada reporter Tirto, Rabu (19/8/2020).
Sementara soal penangkapan, ia mengatakan, “saat penertiban di salah satu rumah, petugas melihat gelagat mencurigakan dari seorang pemuda, kemudian diikuti oleh petugas dan ternyata dia menyembunyikan sebuah tas. Begitu digeledah ditemukan bubuk mesiu dan lain-lain. Pemilik rumah adalah Kornelius.” Sementara itu, “si anak (Anton) sudah kami kembalikan karena perannya tidak signifikan.”
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino