Menuju konten utama

Penggusuran Jakarta: Bagaimana Perempuan & Anak Menjadi Korbannya?

Kini Tuminah dan keluarganya hidup hanya dengan satu baju pengganti.

Penggusuran Jakarta: Bagaimana Perempuan & Anak Menjadi Korbannya?
Sejumlah warga mengais puing-puing bangunan semi permanen yang telah digusur di kawasan Sunter, Jakarta Utara, Selasa (18/11/2019). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Huda, bocah lelaki berusia tiga tahun. Dia rebahan di sofa. Berkeringat. Tak bisa tidur. Lalu merengek meminta selimut kesayangannya.

Namun ibunya, Tuminah yang berusia 35 tahun, tak bisa menuruti permintaan Huda. Dia malah mengeluh kepada saya.

"Gimana enggak sedih coba, Mbak, kalau anak minta apa-apa. Padahal semuanya sudah kena gusur," kata Tuminah, Kamis (21/11/2019).

Seminggu sebelumnya penggusuran terjadi, Kamis (14/11/2019) sekitar pukul 06.30. Dia hanya berhasil menyelamatkan sofa itu, tas yang berisi identitasnya, serta sebuah telepon genggam. Sisanya dilumat alat berat yang dikawal 1.500 personel gabungan polisi, Satpol PP, dan PPSU.

Barang penting lainnya seperti perlengkapan sekolah anak, rapor, buku, seragam, hingga akta kelahiran anak hilang bersama reruntuhan rumah mereka.

Kini Tuminah, suaminya, dan kelima anaknya tinggal di sofa tersebut. Letaknya sekitar lima meter dari bekas rumahnya yang telah luluh lantak. Bekas rumahnya beralamat di Jalan Sunter Agung Perkasa VIII, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Dia membuat atap sederhana dari terpal biru yang dibentangkan dan disangga balok kayu. Terik mentari siang itu, sekitar pukul 14.00 menembusa terpal yang lobang di mana-mana.

"Mau masak, enggak ada dapur," lanjut Tuminah. "Mau kerja, enggak ada lapak."

Sebelumnya, Tuminah bekerja sebagai pengepul barang loak bersama suaminya. Setiap bulan, mereka mendapatkan penghasilan rata-rata Rp2 juta.

"Ya sejak digusur, kerjaannya paling duduk di sini saja seharian, sambil jaga anak," tuturnya. Penggusuran itu telah memusnahkan rutinitasnya.

Anak Tuminah, Aski yang berusia 2 tahun dan Hudan memang belum sekolah. Namun tiga anaknya lainnya, Yasmin (10), Mai (9), dan Arif (6) terpaksa berhenti sekolah.

"Ya setiap malam, Arif suka nangis mau sekolah. Kalau kakaknya bingung, soalnya mau ujian [akhir semester], tapi mau sekolah gimana? Baju enggak ada, buku enggak ada," ujarnya.

Bahkan kini, keluarga itu hidup hanya dengan satu baju pengganti.

Menolak Pindah

"Angin! Tutup muka!" teriak seorang pria kepada Tuminah.

Debu beterbangan dari reruntuhan rumah. Tuminah pun langsung menutup mata kedua anaknya. Saya pun refleks turut melindungi wajah. Kedua anaknya tak kenapa-kenapa, tetapi mata Tuminah mengeluarkan air mata.

Tuminah tertawa, "ya, suka gitu emang kalau di sini." Dia berusaha membuat saya memakluminya.

Usai penggusuran, ia dan beberapa warga lainnya kekeuh bertahan di area bekas tempat tinggalnya masing-masing. Anak-anak, kata Tuminah, banyak yang sakit. Bahkan anaknya sendiri, Huda, sempat demam dan batuk-batuk.

"Ya kalau kita [orang dewasa] sih mau ditaruh di bawah jembatan juga enggak masalah. Kalau anak-anak kan beda," kata perempuan asal Madura tersebut.

Sebelumnya, Wali Kota Jakarta Utara, Sigit Wijatmoko, telah menawarkan warga yang digusur untuk pindah ke Rumah Susun Maruda. Jaraknya sekitar 14 kilometer dari bekas rumah Tuminah. Dia menolak tawaran itu.

Alasannya, dia harus memulai lapak usaha dari awal kembali. Belum lagi harus mengurus pindah sekolah tiga anaknya.

"Gimana kerjanya?" kata Tuminah. "Makan dari mana? Sekolah anak gimana?"

Tuminah bingung, siapa yang menjadi penanggung jawab atas penggusuran tersebut. Di satu sisi, ia merasa kesal dengan aparat gabungan yang menggusurnya. Di sisi lain, ia menilai sebetulnya tak lepas dari kebijakan yang diambil oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

"Kalau Anies, keterlaluan ya. Dulu kita pada milih, karena dia kan janjinya gak mau gusur. Tapi giliran gini, rakyat kecil lagi kan yang kena," lanjutnya.

Padahal, kata Tuminah, ia rajin membayar listrik. Dia juga mengklaim memiliki KTP resmi Jakarta. Suaminya pun rutin mengikuti pertemuan pengurus RT.

"Saya ini sudah jadi warga Jakarta loh, sudah ada KTP," ujarnya sembari menunjukan KTP-nya ke saya.

Warga korban penggusuran, menyimpan dendam yang membara terhadap Satpol PP. Selain Tuminah, satunya dari mereka ialah Subaidah, perempuan berusia 40 tahun.

"Satpol PP enggak punya hati," kata Subaidah kepada saya.

Subaidah menuturkan, saat penggusuran paksa terjadi, ia dan ibu-ibu yang tengah berada di rumah dipaksa keluar. Caranya dengan ditarik ramai-ramai oleh personel Satpol PP.

"Itu keterlaluan," ungkapnya.

Baca juga artikel terkait PENGGUSURAN atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Dieqy Hasbi Widhana