tirto.id - Sore itu, Mursani Sukarpi memandang nanar reruntuhan bangunan rumahnya di Jl. Tarumanegara, Ciputat. Empat tahun lalu, masih ada bangunan yang berdiri di atas tanah seluas 280 meter itu. Bangunan yang menjadi tempat bernaungnya bersama suami, anak, dan para cucu.
Pada 2013, segerombol orang yang menyebut diri mereka “tim eksekutor” merobohkan bangunan itu. Tanpa basa-basi, mereka memaksa semua penghuni keluar dan meratakan bangunan menggunakan ekskavator. Aksi tersebut merupakan dampak sengketa lahan antara warga dengan Kementerian Agama (Kemenag) sebagai pengguna barang dan Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta sebagai kuasa pengguna barang yang berlangsung sejak tahun 2011.
Baca juga:Harga Rumah Makin Mahal
Suasana semakin chaos ketika Mursani enggan direlokasi. Ia mengatakan rela mati membela rumah satu-satunya yang dibeli secara legal pada tahun 80-an tersebut. Ketiga cucunya yang saat itu masih berumur 5, 7, dan 8 tahun menangis ketakutan. Oleh ibunya, mereka langsung digendong keluar, menyelamatkan diri dari ayunan ekskavator yang sudah berada di atas kepala.
“Cucu-cucu saya menggigil ketakutan. Sampai sekarang tidak betah di rumah baru,” katanya kepada Tirto.
Rumah baru yang dimaksud Mursani adalah sepetak kontrakan yang disewa anak dan menantunya di Serua, Ciputat. Wilayah yang berjarak sekitar 10 km dari rumah mereka yang terkena gusur. Keluarganya, hingga kini belum mendapat uang kerohiman yang dijanjikan pihak Kemenag dan UIN Jakarta sebesar Rp 50 juta. Lantaran tak betah berada di sana, kini ia dan ketiga cucunya menumpang di rumah anak kelima Mursani yang berjarak hanya sekitar 300 meter dari rumah pertama mereka.
Cucu-cucu Mursani—Revan, Reza, dan Febrizki—saat ini masing-masing sudah berada di kelas 4 SD, 6 SD, dan 1 SMP. Mereka terlihat lebih tegar dari neneknya yang masih memperlihatkan air muka kesedihan saat bercerita mengenai penggusuran tersebut. Namun, di balik wajah cerianya, terselip trauma. Apalagi mereka harus kehilangan kakek tercinta 100 hari setelah penggusuran dilakukan. Sebelum meninggal dunia, ia diduga mengalami depresi.
Pada 28 November lalu, mereka harus melihat kembali penggusuran rumah-rumah di depan tempat tinggal mereka. Revan, Reza, dan Febrizki baru saja pulang sekolah dan mendapati rumah tetangganya sudah rata dengan tanah.
“Langsung ingat dulu kita digusur juga, enggak berani lawan karena masih kecil. Yang ada cuma takut,” kata si sulung Rizki.
Baca juga:Antara Rumah Tapak dan Apartemen
Soal tempat tinggal, ketiganya mengaku lebih suka menumpang di rumah paman dan bibinya karena jaraknya lebih dekat dengan sekolah mereka kawasan Legoso, Ciputat. Selain itu, mereka juga enggan meninggalkan teman-teman sepermainan. Apalagi lingkungan tersebut merupakan tempat mereka tumbuh dan berkembang sejak pertama dilahirkan.
“Sudah enak di sini,” ujarnya menegaskan.
Trauma karena Berpindah Hunian
Cerita yang dialami Revan, Reza, dan Febrizki juga bisa dialami oleh anak-anak lain. Berpindah hunian, apalagi jika terpaksa seperti dalam kasus penggusuran, bukanlah perkara remeh. Mereka bukan hanya harus menyesuaikan diri dengan hal-hal yang bersifat fisik seperti bangunan dan tempat baru.
Lebih dari sekadar perkara ragawi, berpindah hunian biasanya melibatkan perubahan emosi dalam menghadapi segala hal yang baru. Rasa nyaman terhadap lingkungan dan teman-teman di hunian terdahulu kerap membuat anak-anak sukar kerasan.
Vera Itabiliana Hadiwidjojo, seorang psikolog anak dan remaja, menyatakan dampak negatif berpindah rumah bagi anak bisa bertambah parah dikarenakan kondisi tertentu. Anak bisa mengalami trauma apabila proses tersebut diwarnai dengan peristiwa menakutkan yang membuat anak merasa terancam seperti penggusuran seperti dialami Rizki dan adik-adiknya.
“Anak dapat mengalami kecemasan karena perubahan drastis di dalam hidupnya: kehilangan tempat tinggal, teman, dll,” kata Vera kepada Tirto.
Baca juga:Jangan Ragu Meninggalkan Teman yang Beracun
Luka batin atau trauma pada anak akan membawa perubahan suasana hati mereka. Beberapa perilaku yang lazim ditunjukkan pasca-kepindahan dari hunian lama adalah murung, gelisah, rewel, dan emosional. Untuk meminimalkan dampak negatif, orangtua perlu membantu anak beradaptasi.
Alice R Rumbold dkk, pada tahun 2012 meneliti 403 keluarga di Australia yang sering berpindah rumah. Hasilnya menyatakan pindah rumah ≥ 2 kali sebelum usia 2 tahun dikaitkan dengan peningkatan perilaku tertutup anak di usia 9 tahun.
Efek negatif juga dinyatakan dalam penelitian lama yang dilakukan Marion Gindes (1998). Ia menemukan adanya periode sensitif bagi anak dalam beberapa tahun pertama setelah pindah rumah. Penyebabnya adalah keharusan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru serta kehilangan teman-teman di hunian lama. Peningkatan frekuensi berpindah rumah juga memiliki efek buruk pada kesehatan mental anak.
Orang-orang terdekat dari anak mesti pandai merespons kepindahan itu. Orangtua yang lebih mampu beradaptasi saat pindah rumah, biasanya akan diikuti dengan baik oleh anak-anaknya. Efek trauma pun dapat diminimalkan atau malah tidak ada trauma sama sekali.
“Tentu ini tidak mudah, karena orangtua sendiri juga harus menyesuaikan perubahan yang terjadi,” kata Vera.
Namun, ia kembali menjelaskan bahwa kemampuan anak terbatas dalam mengatasi gejolak emosinya. Maka, orangtua benar-benar harus berupaya untuk tenang dan bersikap. Anak-anak perlu diberi pemahaman bahwa ada perubahan-perubahan yang harus dijalani.
“Sedapat mungkin, [orangtua] mengembalikan anak ke dalam aktivitas rutinnya seperti kembali sekolah dll,” ujarnya.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani