tirto.id - Memiliki ayah yang workaholic dan sering meninggalkan keluarga untuk dinas ke luar negeri membuat Fajar sedari kecil merasa ‘jauh’ dari sosok tersebut.
“Kalau pas dapat kesempatan ngobrol atau jalan berdua sama Ayah, topiknya selalu fokus ke pekerjaan dia. Di meja makan, pas nyetir di mobil, pasti ngebahas konferensi atau riset yang baru dikerjakan, atau jurnal yang baru ditulis. Kaku. Nggak kayak hubungan ayah sama anak,” ujar laki-laki berusia 28 tahun ini.
Akibatnya, Fajar cenderung lebih dekat dengan ibu dan kakak perempuannya.
“Jadi malas mau curhat sehari-hari sama Ayah. Nggak nyaman aja rasanya kalau mau cerita ke Ayah tentang masalah-masalah pekerjaan, hubunganku sama pacar, atau sesepele hobiku nonton film,” jelasnya.
Ketika Fajar mengetahui ayahnya sedang berada di rumah, ia memutuskan untuk tetap bertahan di luar kota tempatnya bekerja alih-alih pulang kampung untuk menemuinya.
‘Jarak’ yang Fajar ciptakan dengan sang ayah dan luka yang Fajar rasakan lazim terjadi pada anak-anak yang ayahnya tidak terlalu terlibat dalam proses pengasuhan atau tumbuh-kembang mereka.
Luka emosional ini dikenal dengan istilah father wound.
Demikian diterangkan oleh Arida Nuralita, S.Psi., M.A., Psikolog dari RS Jogja International Hospital (JIH) Solo di Surakarta.
Senada disampaikan psikoanalis Dr. James Hollis dalam artikel di Psychology Today, "Seorang ayah mungkin hadir secara fisik, tetapi tidak ada secara spiritual.”
“Ketidakhadirannya bisa jadi karena alasan harfiah seperti kematian, perceraian, atau disfungsi, tetapi lebih sering berwujud simbolis seperti sikap diam dan ketidakmampuan untuk menyampaikan apa yang mungkin juga tidak dia miliki,” lanjut Hollis.
Karakter pendiam ini ditemui oleh Inaya (40) pada mendiang sang ayah.
“Kerjanya di luar kota, jarang pulang. Kami nggak dekat,” ujar Inaya, “Ada rasa rindu, tapi pas ketemu rasanya asing sekali. Rikuh pasti.”
“Berbeda dari Mama yang karakternya dominan dan overproud, Papa orangnya pendiam,” kenang Inaya, “Setiap aku nggak ranking 3 besar, Mama nolak ambil rapor. Papa yang selalu datang. Di saat aku dalam masalah dan di masa skorsing, Papa juga yang datang.”
“Mama malu kalo aku nggak ranking. Sedangkan Papa cuma diam, tapi di saat-saat itu dia selalu ada. It counts for me at least,” lanjut Inaya.
Ketika akhirnya sang ayah memutuskan untuk berpisah dengan ibunya dan hidup bersama keluarga barunya, lubang kehilangan dan kebingungan yang Inaya rasakan di hatinya semakin lebar.
Inaya sekeluarga terpaksa pindah ke rumah kontrakan dengan fasilitas terbatas. Kondisi keuangan mereka sempat karut-marut sehingga sehingga Inaya dan saudaranya harus berusaha ekstra untuk memperjuangkan beasiswa.
Kala sang ayah meninggal dunia, Inaya mengaku perasaannya berkecamuk, bahkan sampai hari ini.
Kasus ayah yang absen dari kehidupan anaknya bukanlah fenomena tunggal.
Menurut Biro Sensus Amerika Serikat tahun 2024, sebanyak 17,6 juta anak dan remaja, atau nyaris 1 dari 4 anak dibesarkan di dalam rumah tangga tanpa kehadiran ayah kandung, ayah tiri, atau ayah angkat.
Sayangnya, di Indonesia belum tersedia statistik spesifik tentang ini, meski gambaran umumnya pernah disampaikan melalui survei oleh Populix pada 2023 silam.
Hasilnya, sebanyak 714 dari 2295 responden atau sekitar 31,1 persen orang mengakui berada dalam kondisi fatherless.
Ketika anak yang mengalami father wound beranjak dewasa, melansir situs Attachment Project, ia berpotensi mengembangkan masalah kesehatan mental seperti kecemasan atau depresi, kesulitan mengelola emosi, bahkan menggunakan kemarahan untuk melindungi rasa sakit yang dideritanya.
Selain itu, anak-anak dengan father wound biasanya bersedia untuk mengkompromikan batasan (boundary) karena memiliki harga diri yang cenderung rendah.
Akibatnya, mereka kerap kesulitan menolak permintaan orang lain, apalagi menegaskan kebutuhan atau keinginannya sendiri.
Arida menambahkan, "Tanda-tandanya mirip dengan gangguan psikologis pada umumnya. Mereka mudah cemas karena takut ditolak, takut ditinggalkan orang yang disayangi. Mereka mengalami kendala membangun hubungan dengan orang lain, bisa ketergantungan emosi berlebihan seperti posesif, atau sulit percaya orang lain."
Hal lain yang paling identik dengan father wound, ujar Arida, adalah konsep diri yang blur, tidak jelas, atau kabur.
Masih melansir Attachment Project, anak yang yang mengalami father wound bisa jadi menyalahkan diri sendiri atas ketidakhadiran ayah mereka sehingga menyebabkan mereka memiliki pandangan negatif terhadap diri sendiri atau kurang percaya diri.
Dalam beberapa kasus, pada anak laki-laki, mereka merasa “tidak cukup baik” dalam melakukan sesuatu sehingga kerap bergumul dengan perasaan ragu-ragu, tidak mampu, dan kebutuhan akan persetujuan dan validasi, terutama dari figur otoritas.
Atau, sebaliknya, mereka mengembangkan kemarahan yang sangat besar terhadap ayah mereka yang kemudian terinternalisasi, sehingga mengarah pada pandangan diri yang negatif.
“Aku sering merasa gagal, lebih bodoh. Minder kalau lihat temen-temen lain yang ‘jalannya lebih mulus’ karena punya bapak yang peduli, mau meluangkan waktu untuk kasih arahan, perhatian, dukungan dari A sampai Z ke anaknya,” kata Fajar yang sampai sekarang mengaku masih enggan untuk bertemu atau mengobrol langsung dengan ayahnya.
Sementara itu, anak perempuan yang mengalami father wound cenderung tumbuh dewasa dengan kekurangan rasa percaya diri.
Mereka biasanya mendambakan cinta yang tidak mereka dapatkan dari ayah mereka, sehingga cenderung menerima perilaku tidak sehat dari pasangannya.
Pada beberapa perempuan, mereka berpotensi mengalami kesulitan untuk memercayai laki-laki sehingga kerap menghindari keintiman atau menolak menjalin hubungan dekat dengan pasangan romantis.
Pada akhirnya, interaksi yang kita jalani sedari usia dini dengan orang-orang yang mengasuh kita, seperti ayah kandung atau figur bapak, dapat berdampak pada pola keterikatan kita dengan pihak lain pada masa depan.
Gaya keterikatan (attachment style) ini dijabarkan lebih jauh oleh Kathleen Douglass, terapis dari penyedia layanan psikologi Charlie Health yang berbasis di Amerika Serikat.
Apabila merujuk pada attachment theory atau teori keterikatan, kita akan cenderung menumbuhkan gaya keterikatan yang aman apabila dibesarkan oleh orang-orang yang mendukung dan ‘hadir’ dalam hidup kita.
Sebaliknya, apabila kita memiliki orang tua yang kurang terlibat, terlebih jika kita memendam father wound, kita pun berpeluang membentuk pola keterikatan yang tidak aman, seperti keterikatan yang sifatnya menghindari (avoidant), remeh dan abai (dismissive), atau cemas (anxious).
Menyembuhkan father wound jelas tidak tidak mudah, akan tetapi tentu bisa dilakukan.
Arida memiliki jumlah saran. Pertama, penting bagi kita untuk menerima dan tidak perlu denial atau menyangkal.
Kedua, memaafkan, baik ayah masih ada atau sudah tidak ada.
"Misalnya ayahnya pergi karena perceraian, atau ayahnya mengabaikannya saat kecil, maka coba maafkan. Dengan memaafkan bukan berarti menyetujui apa yang telah dilakukan ayahnya. Namun memberikan ruang untuk diri sendiri dengan melepaskan memori buruk tentang ayahnya. Lepaskan semua kemarahan dan kekecewaan."
"Ketiga, jika selama ini memiliki keyakinan negatif tentang diri sendiri, cobalah untuk mengubah pola pikir dengan afirmasi dan sudut pandang yang positif."
Jangan lupa untuk perlakukan diri sendiri dengan kebaikan dan kasih sayang. Tetap cintai diri kita. Selain itu, ingat selalu untuk menjaga kesehatan fisik dengan tidur cukup dan pola makan yang sehat.
"Selanjutnya, membangun support system dengan pasangan, teman, sahabat, atau ibu. Tujuannya untuk mengganti figur ayah yang hilang dengan sosok-sosok lain yang lebih bermakna."
"Terakhir, mencari bantuan profesional atau konselor. Profesional dapat membantu kita karena mereka punya sudut pandang yang berbeda terkait pengalaman masa lalu kita. Dengan psikoterapi atau konseling dapat membantu kita dalam memproses luka emosional dengan lebih baik," pungkas Arida.
Editor: Sekar Kinasih