tirto.id - Seno (30) baru saja punya bayi laki-laki.
Setiap pagi, anaknya digendong jalan-jalan mengitari kluster perumahan kami yang tak terlalu besar.
“Kata Ayah, seperti inilah yang dilakukannya dahulu pada saya sebelum beliau berangkat kerja,” kata Seno sambil tersenyum.
Kalau ditanya, siapa orang yang dia jadikan panutan, Seno menjawab mantap, “Ayah!”
Bagaimana sosok sang ayah, ini kisahnya.
“Ayahku humoris dan tidak banyak bicara. Tegas kalau melarang, tapi tanpa nada tinggi. Waktuku dengan Ayah tergolong banyak. Kalau Ayah libur, ia mengajakku ke bengkel, ke pasar, ngobrol, jalan-jalan ke gunung. Dari Ayah, aku juga belajar cara merawat bayi ketika adikku lahir, waktu umurku 12 tahun.”
Seno melanjutkan, “Bersama Ayah, dunia terasa sangat luas, tidak ada batasan. Semua bisa dan boleh dilakukan sejauh itu baik. Aku pernah jadi juara memasak waktu SMA. Tanggung jawabku juga ditambah sejalan bertambahnya umur: mencuci pakaian seluruh keluarga.”
Jelas, Seno berharap betul bisa menjadi sosok ayah seperti ayahnya.
Menurut riset panjang terhadap ribuan ayah dan anak laki-lakinya yang dikutip Flint, terdapat korelasi antara perilaku ayah dan anak.
Anak laki-laki yang ayahnya taat hukum, hanya empat persen yang terbukti melakukan kenakalan. Sedangkan anak laki-laki yang ayahnya pelanggar hukum, 40 persen terbukti melakukan lebih dari satu kali kenakalan.
Perhatian utama orang tua saat mengasuh anak biasanya adalah kesehatan fisiknya. Apakah dia cukup makan, minum, pertumbuhannya sesuai? Apakah tidurnya, dan aktivitas bermainnya, sudah cukup?
Namun, pernahkah kita terpikir, apakah anak kita sudah tumbuh sehat secara emosional? Lalu, bagaimana caranya kita bisa tahu kondisi emosi anak kita sehat?
Hal itu tentu saja melalui proses belajar sepanjang hidupnya. Kata Feka, pada anak laki-laki, ayah menjadi contoh saat menghadapi konflik atau masalah, bagaimana cara ayah bertindak, khususnya dalam merespon secara emosi.
“Apakah ayah marah-marah mengeluarkan sumpah serapah? Apakah membanting barang-barang? Apakah dalam relasi, ayah ingin agar semua orang mendengarkannya saja dan patuh pada arahan ayah?”
Kemampuan berbicara menjadi skill penting untuk anak belajar mengelola emosi. Orang tua diharapkan dapat membantu anak membicarakan emosinya—apakah ia sedang merasa sedih, marah, atau kecewa, dan bagaimana menyelesaikan masalah emosinya dengan cara yang tepat dan tidak merugikan siapapun.
“Anak-anak yang sehat emosional memiliki fungsi pengambilan keputusan yang lebih baik yang memungkinkan mereka menanggapi situasi dengan pengendalian diri dan pemikiran yang kritis,” kata Nicholas Hardy di artikel Healthline.
Kesehatan emosional memang penting bagi semua anak. Akan tetapi, terutama bagi anak laki-laki, menjadi sangat penting. Sesederhana karena masyarakat acap kali punya tuntutan tertentu terhadap anak laki-laki sehingga mereka terkondisi untuk mempunyai perilaku tertentu.
Kita sudah sering dengar sendiri, bagaimana anak laki-laki dituntut untuk menekan emosi sedih dan bertabah namun pada waktu sama harus dapat menerima kekerasan, agresi, dominasi.
Seno mengaku seumur hidupnya tidak pernah terlibat perkelahian dan tidak punya musuh. Di sekolah pun, akunya, dia tak pernah dihukum karena membolos atau merusak properti sekolah.
Di mata sebagian orang, perilaku Seno bisa dibilang aneh jika bukan “terlalu lurus” untuk ukuran anak laki-laki.
Rupanya, dengan mengamati perilaku ayahnya selama ini, Seno menyadari bahwa menjadi laki-laki tidak harus kasar, ribut menghadapi masalah, dan mendominasi.
“Melalui ayah, pada umumnya anak laki-laki akan belajar bagaimana nantinya dia berperan sebagai individu, sebagai ayah, sebagai suami dalam kehidupan sehari-harinya,” kata psikolog Feka yang berpraktik di RS Colombia Asia, Jakarta Pusat.
Menurutmu sendiri, bagaimana sih ayah yang luar biasa itu?
Jika ada satu kriteria yang pasti kamu amini, ayah panutan tentunya mempunyai kesadaran penuh untuk tidak menganut nilai-nilai maskulinitas yang dipuja-puji lingkungan sosial selama ini; tabah, tegar, menyembunyikan perasaannya yang lembut.
Nilai-nilai maskulinitas versi harapan masyarakat semacam itu, dikutip dari WebMD, menjadi pedoman sosial yang secara stereotip dikaitkan dengan kejantanan yang berdampak buruk pada laki-laki, pada perempuan dan masyarakat—atau istilahnya sudah sering kamu dengar: toxic masculinity alias maskulinitas beracun.
Dunia yang sudah warna-warni ini tak butuh toxic masculinity karena justru inilah karakteristik laki-laki yang belum dewasa dan belum menemukan maskulinitasnya yang mendalam.
Penulis: Imma Rachmani
Editor: Sekar Kinasih