tirto.id - Mengasuh anak perempuan remaja tentunya berbeda dengan mengasuh anak perempuan kecil. Tak jarang kita mendengar kisah tentang ayah yang terasing dari kehidupan anak gadisnya. Padahal, anak remaja perempuan masih butuh bimbingan ayah agar ia tumbuh menjadi manusia yang utuh.
Salah satu alasannya dapat dikaitkan dengan pengalaman hidup sang ayah yang, misalnya, tidak memiliki saudara perempuan.
“Ayah yang tumbuh sebagai laki-laki dan tidak memiliki pengalaman langsung dengan cara hidup perempuan, menghadapi tantangan bagaimana tetap bisa terhubung ketika [anak mengalami] diferensiasi gender menjadi remaja perempuan membuat kedua pihak berjarak,” tulis Carl E. Pickhardt, PhD di Psychology Today.
Meski begitu, seharusnya hal itu bukan kendala bagi kaum ayah ketika menghadapi anak gadisnya. Bukankah anak yang sama sudah diasuhnya sedari bayi?
Penting diingat, selama ini sudah banyak riset menjelaskan bahwa ayah yang terlibat dalam pengasuhan anak akan mendapat kepercayaan dari anaknya.
Anak perempuan terutama, melihat sosok ayah sebagai cinta pertama. Ayahlah laki-laki pertama dalam hidupnya yang mencintainya tanpa syarat.
Kerenggangan dalam hubungan ayah dan anak perempuan tidak berlaku pada Heri, ayah dari Shifa, anak perempuannya yang kini duduk di bangku kelas dua SMA.
Heri juga bercerita, anak gadisnya tidak berubah dalam mengekspresikan kepedulian pada dirinya.
“Kalau dulu waktu masih berumur 6 tahun dia akan mengompres badan saya kalau demam, sekarang dia akan bertanya apakah saya sudah minum obat, atau sudah ke dokter. Kalau mau ke dokter dia bersedia mengantar,” katanya.
Pergeseran sosial budaya dan hukum saat ini mendorong orang tua untuk merekonstruksi peran ayah. Mereka punya komitmen untuk ikut mengasuh anak—bukan sebagai pembantu istri semata—sehingga kaum ayah punya ikatan emosi yang kuat dengan anak. Inilah modal penting bagi anak untuk punya rasa percaya pada sosok ayah sebagai pelindung dan pemberi rasa aman.
Ada Kebutuhan Psikologis Dasar yang Harus Dipenuhi
Tim peneliti Turki dalam studi yang terbit di Journal of Adolescent (2018) pernah menguji pengaruh langsung dan tak langsung hubungan ayah terhadap kondisi psikologis remaja putrinya yang berusia 14 -18 tahun.
Mekanisme yang dapat menjelaskan itu adalah kebutuhan psikologis dasar. Ada tiga kebutuhan psikologis dasar yang harus dipenuhi oleh orang tua terhadap anak, yaitu otonomi, keterhubungan, dan kompetensi.
Kebutuhan otonomi diperoleh anak ketika dia diperbolehkan untuk punya kemauan, punya perasaan bebas untuk memilih, mampu memilih di antara banyak pilihan dan mengambil keputusan sendiri. Artinya, orang tua memberikan kesempatan pada anak untuk membangun kemandiriannya.
Kebutuhan keterhubungan dipenuhi oleh orang tua dengan memberinya relasi yang signifikan, tulus, hangat, responsif, penuh perhatian, intim dan timbal balik dengan orang lain yang juga penting.
Nah, terakhir, kebutuhan kompetensi, dapat terpenuhi ketika anak punya pengalaman berhasil atas usahanya, mampu menyelesaikan tugas dan menikmati keberhasilannya. Ia diizinkan untuk gagal dan memperbaiki kegagalannya.
Rasa frustasi akibat tidak dipenuhinya ketiga kebutuhan psikologis dasar itu menimbulkan penyakit psikologis dan psikopatologi, bentuk gangguan kesehatan mental.
Anak Gadis Tetap Butuh Role Model Ayah
“Waktu anak perempuan saya minta diantar ke tukang nail art, saya ikut coba pakai kuteks,” kata Han, ayah dari dua anak.
Demikian cara Han untuk memahami dunia anak gadisnya: memberikan rasa aman bagi anak untuk bebas mengekspresikan diri sekaligus bukti cinta pada sang anak.
Anak perempuan ingin dicintai apa adanya. Selama masa remaja, anak perempuan mengalami banyak perubahan termasuk perubahan hormonal yang dapat mengguncang rasa percaya dirinya.
Salah satu kenalan, seorang ayah, pernah mengeluhkan anak perempuannya yang mulai suka mewarnai kuku. Dia pun menegur istrinya, kenapa memperbolehkan anak berdandan seperti perempuan penghibur.
Celakanya, si anak mendengar obrolan itu dan seketika itu juga ia membenci ayahnya, bahkan menolak untuk bicara lagi dengan ayahnya. Si anak merasa sangat kecewa terhadap sikap ayahnya yang tega mengatakan hal buruk tentang dirinya. Harga dirinya luluh lantak.
Alih-alih melihat perubahan anak gadis dari sisi negatif, ayah dapat menjadi role model yang mengajarkan nilai-nilai yang penting untuk membantunya tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang utuh.
Terima anak gadis dengan sifat-sifat manusiawinya yang sama dengan ayahnya; pelupa, keras kepala, dan mudah bergaul. Ayah juga dapat mendukung minat anak gadisnya dengan mendorong, membimbing, dan membantu memperkuat keterampilan yang sedang dikembangkan anak gadisnya. Sesederhana menemaninya ikut les balet misalnya.
Lalu, bagaimana kalau terjadi konflik?
Terima saja. Gunakan situasi itu sebagai kesempatan untuk mengomunikasikan perbedaan di antara ayah dan si gadis secara terbuka. Kenali dia lebih baik, dan perlakukan dia sebagai sumber informasi ketimbang sebagai lawan.
Tak banyak yang berubah dari riset terdahulu tentang pentingnya partisipasi ayah dalam kehidupan anak perempuannya, bahwa relasi yang hangat dan komunikasi positif antara ayah dan anak gadisnya memberi kontribusi pada kemampuannya beradaptasi di berbagai bidang, termasuk di ranah akademik, dan tumbuh kembangnya menjadi manusia dengan harga diri yang kokoh.
Bagi para ibu, yuk, bantu ayah menjalin hubungan yang baik dengan anak perempuan mulai sekarang!
Penulis: Imma Rachmani
Editor: Sekar Kinasih