tirto.id - Sekelompok tentara beringas. Mulyanto ambruk dihantam popor laras panjang. Saat ia bergegas bangkit dan berlari menjauh, terdengar rentetan suara tembakan. Peristiwa itu terjadi di sebuah perempatan di dekat Kantor Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) TNI AD, Desa Setrojenar. Sesampainya di perbatasan Desa Brecong, rekannya bekata, punggung Mulyanto penuh darah.
“Setelah saya usap, ternyata darah semua. Saya pakai jaket dan tembus. Bolong,” kata Mulyanto. Awalnya ia menduga, itu hanya peluh karena berlari sejauh sekitar satu kilometer.
Beberapa jam sebelum huru-hara pada Sabtu, 16 April 2011 siang itu terjadi, Mulyanto bersama puluhan warga pergi ke makam desa. Tujuannya untuk berziarah—ini bagian dari serangkaian protes warga terhadap rencana latihan uji senjata berat setelah beberapa peluru kendali (rudal) datang. Sejak awal Januari 2011, tensi sudah meninggi karena TNI AD mengklaim tanah yang mereka gunakan untuk latihan.
Sebelumya, pada 11 April 2011, warga mengepung Dislitbang TNI AD: memblokir jalan masuk ke dan memasang spanduk protes di sepanjang jalan. Mereka menolak klaim TNI AD atas tanah di pesisir selatan Kebumen yang kemudian dijadikan wilayah latihan menembak.
Namun pengepungan bubar setelah ada audiensi yang diwakili Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan dengan sejumlah pejabat Pemerintah Kebumen, TNI, AD dan Polri. Hasil audiensi yang disepakati: dalam dua pekan akan dilakukan musyawarah dan selama itu tidak ada latihan senjata.
Namun malam tanggal 15 April 2011, warga mendengar kabar TNI AD tetap akan menggelar latihan, menggeser lokasi latihan ke desa sebelah. Warga tetap menolak lalu berkumpul melakukan ziarah makam 5 bocah yang meninggal akibat ledakan mortir pada tahun 1997. Lima bocah itu terkena ledakan mortir sisa latihan TNI AD yang tercecer di ladang.
Ziarah selesai. Warga mendapat kabar tentara melucuti spanduk penolakan dan membongkar blokade. Warga segera menuju titik yang dibongkar dan kembali menumpuk kayu, memasang ulang blokade. Tak ada tentara di situ.
Puluhan warga lain mengecek titik blokade yang dipasang di jalan masuk Dislitbang TNI AD dari arah utara. Blokade sudah dibongkar. Massa tersulut emosi, merobohkan sebuah gapura yang kurang lebih tertulis “Lapangan Uji Tembak TNI AD”.
Sesudah itu, warga bergerak menuju bangunan menara tiga lantai yang dibangun TNI AD di tanah bersertifikat hak milik seorang warga bernama Mihad. Warga sudah berniat merobohkan bangunan itu, akan tetapi urung dilakukan.
Rombongan kembali bergerak ke utara, sampai di dekat perempatan dekat Dislitbang TNI AD, tentara mengadang. Letusan senapan pertama terdengar, lalu diikuti senapan lain,warga dihujani peluru karet. Mereka juga disergap, dipukul, dan ditembak seperti Mulyanto.
Mulyanto yang saat itu masih berusia 22 tahun dan baru sebulan menikah, hampir saja mati. Peluru yang ditembakkan tentara bersarang di punggungnya.
“Tembus hampir kena jantung. [Peluru bersarang di dalam] lalu diambil,” tuturnya.
Mulyanto segera dibawah ke rumah sakit. Peluru berhasil dikeluarkan. Dia selamat. Luka bekas peluru di punggungnya masih kentara, meski peristiwa yang nyaris merenggut nyawanya itu telah berlalu satu dekade.
“Pas mau dioperasi, dokter bilang kalau nyampai 1,5 sentimeter lagi, saya sudah enggak ada. Katanya hampir kena jantung,” ujarnya.
Mulyanto adalah satu-satunya korban luka akibat peluru tajam. Enam orang lainnya mengalami luka tembak peluru karet. Laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang dikeluarkan satu bulan setelah peristiwa itu menyebutkan, setidaknya ada 14 korban warga sipil yang mengalami luka tembak maupun dipukul. Sedangkan korban dari TNI AD, ada satu orang yang mengalami luka tusuk.
Selain banyak warga sipil yang mengalami luka. Sejumlah warga juga ditangkap polisi atas kasus perusakan fasilitas TNI AD dan penganiayaan. Empat orang dijadikan tersangka perusakan, yakni Solekhan, Mulyono, Adi Waluyo dan Sobirin. Dua pelaku penganiayaan, yakni Asmarun dan Sutriono.
Kami bertemu dengan Solekhan pada Maret 2021 lalu. Dia adalah warga yang pertama kali ditangkap setelah peristiwa 16 April 2011 itu. Polisi memiliki bukti sebuah rekaman video yang memperlihatkan Solekhan menebas besi gapura TNI AD dengan kapak.
“Yang jelas gapura itu tidak pernah ada surat resmi pendirian dan berada di tanah warga,” kata Solekhan.
Meski begitu, Solekhan dan kawan-kawannya tetap dijatuhi hukuman. Majelis hakim Pengadilan Negeri Kebumen memutuskan, Solekhan dan tiga rekannya terbukti melakukan tindak pidana “secara terang-terangan dengan tenaga bersama-sama menggunakan kekerasan terhadap barang”. Mereka dijatuhi vonis enam bulan penjara.
Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding, meminta Solekhan dan tiga rekannya dihukum 1 tahun penjara. Namun di tingkat banding, majelis hakim justru memutuskan mengurangi masa hukuman penjara, menjadi 5 bulan 28 hari.
Komnas HAM dalam laporannya menyimpulkan, dalam peristiwa 16 April 2021 terdapat indikasi pelanggaran hak asasi manusia. Khususnya, hak atas kepastian hukum tentang status tanah, peruntukan, dan penguasaanya. Akibat belum jelasnya pengaturan tersebut, menjadikan konflik berujung adanya bentrokan antara warga Setrojenar dan TNI AD.
Atas tindakan TNI AD yang menyerang dan menembak warga, Komnas HAM menyebut terdapat indikasi pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan TNI AD. Khususnya, hak atas rasa aman, hak untuk bebas dari ketakutan, dan hak untuk bebas dari perlakuan yang kejam atau tidak manusiawi.
Komnas HAM juga menyebut ada indikasi pelanggaran hak atas milik, berupa perusakan aset TNI AD yang diduga dilakukan warga.
Pusat Penerangan Mabes TNI mengeluarkan rilis resmi pada 18 April 2021. Disebutkan, prajurit TNI AD telah melakukan upaya persuasif. Namun situasi protes disebut makin kaos dan “membahayakan”. Sehingga “prajurit TNI AD mengambil langkah sesuai prosedur, yaitu memberikan tembakan peringatan ke atas, akan tetapi tetap tidak dihiraukan.
Dalam rilis itu, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono juga mengklaim, lahan latihan yang digunakan Dislitbang TNI AD itu sudah mereka sejak zaman peninggalan Belanda. Bahkan sejak tahun 1949 lahan tersebut sudah dijadikan tempat latihan menembak.
Muasal Klaim Tanah TNI AD
Huru-hara 16 April 2011 adalah fragmen dari sejarah panjang klaim TNI AD atas tanah di Urut Sewu, sebuah nama wilayah non administratif untuk menyebut kawasan pesisir selatan sepanjang Kebumen-Purworejo, Jawa Tengah. Di Kebumen, Urut Sewu meliputi enam kecamatan: Ambal, Buluspesantren, Klirong, Mirit, Petanahan, dan Puring.
Ambal, Buluspesantren, dan Mirit memiliki kesamaan: sejak 1937 dijadikan tempat latihan perang oleh tentara kolonial Belanda, militer Jepang, dan tentara Indonesia. Ada 15 desa di tiga kecamatan itu, letaknya berderet di pesisir selatan yang digunakan untuk latihan.
Pada 1982 TNI AD membeli tanah dari pemerintah desa untuk pembangunan Gedung Dislitbang TNI AD. Latihan dan uji coba senjata berat mulai terjadwal. TNI AD membuat surat “pinjam tempat ketika latihan” kepada kepala desa setempat. Namun belakangan “pinjam tempat” tidak lagi dilakukan, cukup hanya memberikan surat pemberitahuan ketika latihan.
Ketegangan antara TNI AD dan warga mulai muncul pada 22 Maret 1997, tatkala ada lima anak Desa Setrojenar yang tewas mengenaskan. Penyebabnya, mereka memungut mortir sisa latihan dan meledak di rumah keluarganya.
Setahun setelahnya, secara sepihak TNI AD melakukan pemetaan tanah untuk area latihan dan uji coba senjata—mulai dari muara Kali Lukulo sampai muara Kali Wawar dengan lebar kurang lebih 500 meter dari garis pantai ke utara dan panjang 22,5 kilometer, melintasi pesisir 15 desa. Tanah yang sudah dipetakan itu kemudian diklaim dan dinamai “Tanah TNI AD”.
Pada 2005 kembali jatuh korban luka dan cacat permanen di bagian tangan dan kaki, akibat memungut peluru mortir sisa latihan dan meledak.
Klaim TNI AD atas tanah di Urut Sewu berkembang. Pada 2007 terjadi pelebaran klaim, dari 500 meter, 750 meter, menjadi 1.000 meter dari garis pantai sepanjang 22,5 kilometer—membujur di 15 desa. Klaim 1.000 meter itu itu kemudian ditegaskan dengan patok cor bertuliskan “TNI AD”. Atas dasar klaim itu, TNI AD meminta ganti rugi atas pembangunan proyek Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS) yang menggunakan tanah di antara 750-1.000 meter dari garis pantai.
Klaim itu, mengabaikan kepemilikan tanah warga yang telah memiliki sertifikat hak milik dan yang sebagian besar bukti kepemilikannya hanya terdaftar di peta C desa.
Awalnya, tidak semua tanah di pesisir Urut Sewu bersertifikat sebab model kepemilikannya komunal. Tanah didapat dari membuka lahan pasir yang kemudian berkembang pertanian hortikultura dan garam. Kemudian pada zaman penjajahan Belanda diatur, tanah 150-200 meter dari bibir pantai merupakan tanah negara. Namun warga melawan pengaturan itu.
Hingga akhirnya, setelah Indonesia merdeka dan pemerintah Sukarno mengesahkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), pada 24 September 1960, mulai mendaftarkan tanah mereka untuk mendapatkan sertifikat. Sejumlah warga yang telah mendaftarkan tanahnya di pesisir, tercantum dalam sertifikat: batas paling setelah adalah laut. Sehingga tidak ada lagi tanah negara di bibir garis pantai.
Namun setelah Soekarno lengser dan Soeharto berkuasa melalui pembantaian massal 1965, terhadap seluruh orang yang dituding terkait Partai Komunis Indonesia (PKI). UUPA yang merupakan aturan kebijakan yang didukung PKI terstigma. Orang-orang takut mengakui sertifikat tanah miliknya karena bisa dituduh PKI.
Rentetan Kekerasan Tentara di Urut Sewu
Sebelum pecah huru-hara pada tahun 2011, intensitas konflik warga dengan TNI AD sudah tinggi. Setelah memperluas klaim hingga 1.000 meter dari garis pantai, TNI AD melalui Kodam IV/Diponegoro menyetujui penambangan pasir besi di wilayah lahan yang mereka klaim.
Pada tanggal 25 September 2008, Kodam IV/Diponegoro mengeluarkan surat Nomor B/1461/IX/2008, tentang persetujuan pemanfaatan tanah TNI AD di Kecamatan Mirit, seluas 317,48 hektare untuk penambangan pasir besi PT Mitra Niagatama Cemerlang (MNC). Saat itu Komisaris PT MNC adalah Rianzi Julidar, jenderal TNI bintang dua aktif yang menjabat sebagai koordinator staf ahli kepala staf angkatan darat (KSAD).
Setelah muncul surat itu, perlawanan yang mulanya cenderung terkonsentrasi di Desa Setrojenar, meluas dan bertambah kuat di desa lain. Warga pesisir di Kecamatan Mirit yang lahan desanya hendak ditambang seperti Mirit Petikusan, Mirit, Tlogodepok, Tlogopragoto, Lembupurwo, dan Wiromartan protes.
Tiga tahun setelah surat persetujuan dari Kodam IV Diponegoro keluar, pada Januari 2011 izin eksploitasi atau izin usaha pertambangan operasi produksi, diberikan kepada PT MNC. Dalam izin tersebut, luasan lahan yang akan ditambang adalah 591,07 hektare, seluas 317,48 hektare di antaranya adalah tanah milik TNI AD.
Setelah serangkain protes warga atas rencana pertambangan itu, pada Mei 2011, TNI AD mencabut persetujuan penambangan pasir besi. Namun izin eksplorasi yang sudah keluar dan berlaku selama 10 tahun belum dicabut. Mei 2012 warga mengusir PT MNC dari Kecamatan Mirit.
Ketegangan kembali terjadi pada November 2013. TNI AD mulai melakukan pemagaran di tanah yang mereka klaim di 15 desa secara bertahap. Pagar dibangun 500 meter dari bibir pantai. Pemagaran dimulai dari desa-desa di Kecamatan Mirit. Meskipun mendapatkan penolakan dari warga, pemagaran tetap berlangsung.
Pemagaran terus dilakukan secara bertahap, pada Juli 2015 sejumlah warga yang melakukan protes atas pemagaran di Desa Lembupurwo dipukuli tentara. Sebulan usai pemagaran di Desa Wiromartan, tentara kembali brutal memukuli warga yang melakukan aksi penolakan. Dalam insiden itu ada sekitar 30 warga termasuk Kepala Desa Wiromartan Widodo Sunu Nugroho dan seorang perempuan yang sedang hamil, menjadi korban pemukulan tentara. Sunu bahkan kepalanya bocor karena dipukul pentungan hingga pingsan.
Pemagaran terus dilakukan. Kemudian pada September 2019, kembali terjadi insiden. Tentara dengan brutal menghajar warga yang melakukan protes pemagaran di Desa Brecong. Total ada 16 warga yang mengalami luka-luka.
Kepala Penerangan Kodam IV/Diponegoro, Letkol Kav Susanto berdalih terpaksa bersikap represif lantaran warga, yang diklaimnya tak punya surat kepemilikan, bertindak vandalis, dan tidak mau dibubarkan.
Janji KSAD Usai Mendapatkan Sertifikat
Setelah serangkaian kekerasan yang terus berulang di Urut Sewu, TNI AD memunggungi warga yang berkukuh menyatakan proses. Sertifikat Hak Pakai Tanah di Urut Sewu kini sudah ada digenggaman TNI AD—dari 15 desa yang diminta, sebanyak sembilan di antaranya sudah diserahkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jawa Tengah.
KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa mengatakan, tak akan menyentuh dan mengelola tanah yang belum jelas status haknya atau belum ada sertifikat haknya. Hal itu ia sampaikan dalam acara simbolis, penyerahan sertifikat hak pakai TNI AD di Korem 072/Pamungkas, 4 September 2021 lalu.
“Intinya, tidak perlu lagi ada kekhawatiran karena kami tidak akan turun atau memaksakan secara sepihak tentang wilayah yang belum secara resmi bisa kami pakai,” kata Andika. Dia berharap, berbagai peristiwa yang terjadi sebelumnya tak terulang lagi.
Dia mengakui, sempat ada dugaan pemakaian tanah walaupun belum mendapatkan sertifikat hak pakai. Namun ia berharap hal itu tak terulang lagi.
“Jadi tidak ada lagi seperti yang terjadi waktu itu. Tidak ada lagi di lapangan karena kami ke bawah, Pangdam, Danrem dan Kodim akan memegang itu saja. Selama sudah terbit sertifikat hak pakai dari BPN, ya itu yang kami pegang. Kalau belum, ya kami juga tidak akan mencoba untuk menyentuh apalagi mengelola,” ujarnya.
==================
Laporan ini terselenggara berkat kolaborasi dengan sejumlah jurnalis di antaranya Jamal Abdun Nashr (Tempo), Stanislas Cossy (Serat.id), Rudal Afgani Dirgantara (Liputan6.com), dan Anin Kartika (Radio KBR).
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana