Menuju konten utama

Simsalabim Sertifikat Tanah TNI AD di Urut Sewu

Bagaimana bisa tanah yang dikelola puluhan tahun oleh warga, berubah status menjadi hak pakai TNI AD untuk latihan menembak?

Simsalabim Sertifikat Tanah TNI AD di Urut Sewu
Ilustrasi HL Indepth Sertifikat TNI di Urut Sewu. tirto.id/Lugas

tirto.id - Sertifikat hak pakai tanah di Urut Sewu, pesisir selatan Kebumen, Jawa Tengah yang didapatkan TNI Angkatan Darat (AD), menjadi kenyataan getir bagi warga. Salah satu dari mereka, Basiran, petani berusia 58 tahun, heran ujug-ujug tanah pertanian yang ia garap disertifikatkan oleh TNI AD. Komnas HAM menganggap kasus ini sebagai konflik agraria, warga yang protes seringnya direspons dengan kekerasan oleh TNI AD.

“Tak pernah diajak rembukan, tahu-tahu ada sertifikat TNI,” kata Basiran kepada kami.

Kolaborasi sejumlah media, termasuk Tirto di dalamnya, mendalami cerita perubahan status tanah warga yang diduga secara sepihak ini.

Basiran menunjukkan beberapa bukti pembayaran pajak bumi dan bangunan yang rutin ia bayar atas tanahnya. Dia juga memiliki Surat Jual Beli Tanah Tegalan (sawah) tahun 1988 atau 33 tahun silam. Ini bukti ia membeli tanah yang tercatat di buku peta atau C desa dengan Nomor 620/persil, disertai dengan batas miliknya yang pada sisi selatan berbatasan langsung dengan laut. Surat itu ditandatangani oleh kepala Desa Ambalresmi, sekretaris Desa Ambalresmi, dan kepala Dusun Ambalresmi saat itu.

Beberapa warga, termasuk Basiran, meyakini perjanjian jual beli itu adalah bukti kepemilikan yang sah. Hanya saja belum disertifikasi oleh negara melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN).

“Jangan sewenang-wenang!” pintanya ke pemerintah dan TNI AD.

Selain Basiran, pada awal Mei lalu, Suturno mengajak kami dan Parijo mengunjungi tanah miliknya. Tanah itu sudah ia kelola sejak lebih dari 20 tahun yang lalu. Pajaknya rutin ia bayar.

Suturno menunjukkan salah satu surat pemberitahuan pajak terhutang, pajak bumi dan bangunan (PBB) tahun 2021 yang Suturno tunjukkan, tercantum luasan tanah 2.371 meter persegi. Tanahnya bentuk persegi panjang, membujur dari utara ke selatan sampai sekitar 250 meter dari bibir pantai. Lahan itu ia tanami terong.

Lahan milik Suturno berjarak sekitar dua kilometer dari rumahnya, lokasinya di bibir pantai. Untuk menuju ke lahan itu, kami membutuhkan waktu sekitar lima menit menggunakan mobil, sampai melewati jalanan tak beraspal. Jalanan tanah itu lebarnya lima meter, biasa dilalui truk atau pikap pengangkut hasil pertanian.

Sesampainya di lahan milik Suturno, Parijo menunjukkan lokasi yang ditanam patok sebagai penanda batas tanah hak pakai TNI AD. Parijo adalah kepala urusan perencanaan Desa Ambalresmi, Kecamatan Ambal, Kebumen. Dia salah satu perangkat desa yang diminta menjadi saksi pengukuran dan pematokan tanah oleh TNI AD pada awal 2020 yang lalu.

Parijo masih ingat betul koordinat patok-patok berupa potongan bambu itu. Sebab setiap titik yang ditandai, dicocokkan terlebih dahulu dengan peta dan alat pengukuran yang dibawa petugas berbaju TNI AD. Setelahnya, Parijo diminta untuk menandatangani berkas berita acara yang menyatakan ia menjadi salah satu saksi pengukuran. Namun setelahnya, tak ada sosialisasi atau pemberitahuan apa pun mengenai hasil pengukuran.

“Tidak ada pemberitahuan, sosialisasi kepada warga ya enggak,” kata Parijo kepada kami.

Dari timur ke barat jaraknya sekitar 1,5 kilometer, kata Parijo, menunjukkan batas batas tanah dan patok yang dibikin TNI AD. Di sisi timur patok berbatasan langsung dengan Desa Kaibon Petangkuran, kemudian di sisi barat berbatasan dengan Desa Kenoyojayan.

Di sisi utara, Parijo menunjukkan patok yang telah ditancapkan, berjarak sekitar 500 meter jika ditarik ke selatan menuju bibir pantai. Jika benar-benar diukur secara cermat, panjang dan lebar batas tanah itu mendekati luasan tanah seperti dalam sertifikat hak pakai TNI AD yang diserahkan pada Agustus 2020, seluas 47,72 hektare. Tanah itu itu kira-kira berbentuk persegi panjang 1.200 x 400 meter persegi. Dan tanah milik Suturno berada di tengah tanah yang disertifikat oleh TNI AD itu.

Belakangan tanah yang diukur itu telah disertifikasi hak pakai oleh TNI AD. Pada 12 Agustus 2020 Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil, menyerahkan langsung sertifikat di lima desa, termasuk Ambalresmi kepada Kepala Staf TNI AD (KSAD) Jenderal Andika Perkasa di Kodam IV/Diponegoro.

Sertifikat hak pakai yang diserahkan masing-masing seluas 47,72 hektare di Desa Ambalresmi; 24,78 hektare di Desa Kenoyojayan; 55,46 hektare di Desa Sumber Jati; 59,58 hektare di Desa Tlogodepok; dan 25,68 hektare di Desa Tlogopragoto.

Pandemi Corona Jadi Dalih Tak Sosialisasi

Basiran baru mengetahui tanahnya berubah status menjadi hak pakai untuk TNI AD, dari berita serah terima sertifikat kepada TNI AD yang beredar di media massa. Begitu juga Suturno. Kepala Desa Ambal Resmi, Wagino mengakui memang tak ada sosialisasi ke warga.

“Kalau sosialisasi ke masyarakat itu kemarin kebentur Corona tidak boleh punya hajatan dan kumpul-kumpul,” kata Wagino kepada kami melalui sambungan telepon. Wagino lebih dikenal dengan nama Tino, ia juga menggunakan nama ini untuk sejumlah rumah makan dan warung sate miliknya.

Tino berdalih pengukuran dan sertifikasi hak pakai “tanah negara” oleh TNI AD itu sudah sesuai dengan peta desa dan Letter C. Klaim hak tanah atas TNI AD yang berpedoman pada “peta minute” atau “minout” disebutnya sesuai dengan peta desa. Sehingga tak membutuhkan persetujuan dari masyarakat, cukup diwakili oleh dirinya sebagai kepala desa.

Dalam peta desa atau “peta minute” itu, kata Tino, selain ada tanah negara yang disebutnya “untuk latihan TNI AD”, tetap ada tanah milik masyarakat. Sehingga hak tanah masyarakat tetap diakui. Jika ada masyarakat yang hendak mensertifikatkan tanah di pesisir, bisa dilakukan seperti halnya TNI melakukan sertifikasi.

Namun Tino yang menjabat sebagai kepala desa tiga periode ini mengaku, sebelum TNI selesai melakukan sertifikasi, ia tak menerima pengajuan sertifikasi tanah dari masyarakat dengan alasan batas tanah negara dan masyarakat belum jelas.

“Iya [masyarakat saat itu] belum bisa [mengajukan sertifikasi tanah di pesisir] karena masih grambyang [tidak jelas]. Belum begitu fix. Kalau sekarang sudah fix karena itu yang menentukan bukan tentara tapi BPN pusat atau provinsi,” ujarnya.

Padahal Basiran dan Suturno pernah mengurus penyertifikatan tanahnya ke BPN. Tiga atau empat tahun sebelum sertifikat hak pakai TNI-AD terbit, mereka mengajukannya melalui program sertifikasi massal. Namun saat itu pengurus desa menyatakan, sertifikasi tanah pesisir di antara garis pantai dan Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS) belum dapat diproses dengan dalih batas-batasnya belum jelas.

“Saya mau sertifikat semua [tanah saya] tapi ya itu Pak Lurah bilang, JJLS ke selatan batasnya belum jelas. Tapi ujung-ujungnya ya itu keluar sertifikat hak pakai [TNI],” kata Suturno.

Basiran

Basiran warga Desa Ambalresmi, Kecamatan Ambal, Kebumen menunjukkan bukti surat perjanjian jual beli tanah dan pembayaran pajak tanah yang kini disertifikat TNI AD. FOTO/Tim Kolaborasi/Maret 2021

Di sisi lain, harusnya ada sosialisasi ke warga terkait pengajuan sertifikasi hak pakai oleh TNI AD. Dalam Pasal 26 ayat 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah disebutkan: hasil pengukuran harus diumumkan paling tidak 30 hari untuk pendaftaran tanah sistematik dan 60 hari untuk pendaftaran tanah sporadis.

Namun mengenai waktu itu kemudian tak berlaku dan diganti melalui dalam PP Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Waktu pengumuman dalam aturan pengganti dipercepat: untuk sistematik 14 hari dan sporadis 30 hari. Pengumuman dapat dilakukan melalui website yang disediakan kementerian.

Sementara dalam Pasal 26 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 yang masih berlaku, pengumuman dilakukan di Kantor Panitia Ajudikasi dan Kantor Kepala Desa/Kelurahan letak tanah yang bersangkutan atau di tempat lain yang dianggap perlu.

“Saya merasa [aturan] itu diterabas. Tidak prosedural,” kata Koordinator Tim Advokasi Petani Urut Sewu Kebumen (TAPUK) Teguh Purnomo kepada kami.

Atas penerbitan sertifikat hak pakai yang diberikan kepada TNI AD itu, belasan warga melakukan protes. Mereka mengirim surat keberatan atas terbitnya sertifikat hak pakai TNI AD, surat itu ditujukan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang, serta Kepala Badan Pertanahan Nasional Jawa Tengah.

Basiran dan Suturno di antara yang jadi perwakilan mengantarkan surat tersebut ke Semarang pada 7 September 2020. Mereka didampingi tim TAPUK yang di dalamnya ada sejumlah lembaga seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang dan LBH Yogyakarta.

Warga Dituding Menelantarkan Tanahnya

Surat perjanjian jual beli tanah dan surat pembayaran pajak seperti yang ditunjukkan Basiran dan Suturno, dianggap bukan bukti kepemilikan yang sah. Hal itu diungkapkan oleh Embun Sari. Dia kini menjabat sebagai, Direktur Jenderal (Dirjen) Pengadaan Tanah dan Pengembangan Pertanahan Kementerian ATR/BPN. Saat kami berbincang dengannya, ia masih menjabat sebagai kepala Kantor Wilayah BPN Jawa Tengah.

Embun malah balik mempertanyakan klaim warga atas tanah yang disertifikat TNI AD itu. Menurutnya, warga yang merasa menguasai tanah itu, seharusnya mengusir jika ada pihak yang hendak mengukur dan melakukan sertifikasi seperti halnya yang dilakukan TNI AD.

“Berarti warga tidak menguasai di lapangan. Tidak ada di lapangan. Dia kemana kalau itu tanah dia seharusnya itu dia kuasai?” ujar Embun kepada kami.

Jika sampai tidak tahu ada orang yang mengukur dan mematok tanah, kata Embun, itu menandakan warga itu tak menguasai tahan tersebut.

“Bukti kamu memiliki tanah kamu siapa pun yang datang itu bisa kamu usir. Kalau kamu tidak peduli berarti kamu menelantarkan tanah kamu,” imbuhnya.

Meski tak mendapatkan pemberitahuan ataupun sosialisasi, kata Embun, jika warga merasa memiliki tanah maka harus menjaga dan menguasai tanah itu.

“Sampai tidak tahu, kamu kemana? Kok bisa sampai tidak tahu tanahmu dibangun orang. Itu bukti kamu menelantarkan tanah kamu. Tanda batas itu permanen. Bilang dong komplain ‘itu tanah saya kok dipasang tanda batas’ atau lapor ke polisi. Kami bukan polisi batas,” ujar Embun.

Embun menuturkan, Komando Daerah Militer IV/Diponegoro mengajukan pengukuran tanah di 15 desa di Urut Sewu untuk keperluan sertifikasi hak pakai, pada 4 Februari 2020. Mereka menyodorkan bukti pernyataan penguasaan secara fisik tanah yang berada di 15 desa tersebut.

Namun kepada kami, Embun enggan menunjukkan atau menerangkan bukti seperti apa yang disodorkan kepada BPN.

“Ini [ada] surat alas hak dari TNI,” ujar Embun, “saya enggak mungkin men-share dengan kamu kan. Tapi ini ada.”

Embun hanya mengatakan, 15 bidang tanah di 15 desa itu dikuasai secara fisik oleh TNI AD sejak tahun 1949 dan sudah masuk dalam daftar inventarisasi kekayaan negara di Kementerian Pertahanan. Salah satu dokumen yang disodorkan ada “peta minute” yang digunakan sebagai referensi.

Infografik HL Indepth Sertifikat TNI di Urut Sewu

Infografik HL Indepth Bim Salabim Sertifikat TNI di Urut Sewu. tirto.id/Lugas

Singkatnya, dengan bukti-bukti yang disodorkan TNI itu, pengajuan sertifikasi disetujui oleh BPN. Setelah adanya surat permohonan kemudian dilakukan rapat koordinasi dan survei lapangan dengan Pemerintah Kebumen bersama seluruh kepala desa. Rapat koordinasi dilakukan 18 Februari 2020 di Kantor BPN Kebumen. Selang sehari kemudian, mulai dilaksanakan pengukuran.

“Sepanjang TNI bisa memasang tanda batas, tanah dikuasai tidak ada yang komplain di lapangan terpenuhi asas itu, maka keluarlah peta bidang,” ungkapnya.

Kemudian dilakukan pemeriksaan tanah oleh tim peneliti. Lalu diperiksa hubungan hukum antara alas hak atau bukti penguasaan hak atas tanah TNI AD.

Hingga kemudian terbitlah lima sertifikat tanah di lima desa yang diserahkan kepada KSAD pada 12 Agustus 2020. Menyusul kemudian pada Oktober hingga November 2020, dua sertifikat hak pakai TNI AD di pesisir Desa Brecong seluas 65,24 hektare dan di Desa Mirit seluas 22,98 hektare.

Embun mengatakan, sertifikat di tujuh desa itu sah. Meskipun Suturno, Basiran, dan beberapa warga lain melakukan protes dan telah melayangkan surat keberatan secara resmi ke Menteri dan BPN Jateng. Namun hingga kini belum ada jawaban. Sikap warga memprotes terbitnya sertifikat TNI AD karena menyerobot tanah mereka, tak diindahkan.

Embun merasa BPN Jateng tak pernah menerima surat keberatan tersebut. Harusnya warga yang menyatakan penolakan tersebut saat datang ke BPN meminta audiensi. Namun memang saat itu mereka tak ditemui oleh pejabat BPN.

“Oh mungkin [saat itu pejabatnya] lagi sibuk ya. Tapi minta maaflah ya,” kata Embun. “Kami terbuka kalau memang ada suratnya akan kami jawab.”

Pemasangan Patok Dibatalkan Karena Ada Penolakan Warga

Kepala Seksi pendaftaran Hak Tanah BPN Jateng, Afandi, tak tahu pasti, apakah perangkat desa melakukan sosialisasi kepada warga atau tidak. Terlebih bukan hanya sosialisasi, perangkat desa juga harus meminta persetujuan warga terkait rencana pengukuran tanah untuk sertifikasi hak pakai TNI AD.

Namun yang Afandi ketahui, ada penolakan dari warga.

“Turun pertama ada penolakan. Akhirnya ya sudah kami batal. Kami enggak jadi ukur desa pertama yang dari barat. Kalau tidak salah Desa Ayamputih. Itu belum ada persetujuan [warga] maka sampai sekarang itu belum terbit peta bidang,” tuturnya.

Menyadari terjadi penolakan di desa pertama yang diukur, ia kemudian berpindah ke desa lain dan memastikan agar pihak desa memberikan sosialisasi sekaligus persetujuan warganya.

“Jadi bukan ujug-ujug kami datang ke lapangan langsung ukur itu tidak. Karena kami tahu ini area yang sensitif,” ujarnya.

Afandi merupakan salah satu petugas yang turun ke lapangan untuk mengawasi pengukuran tanah. Dia tahu persis apa dasar TNI AD melakukan pengajuan sertifikasi hak pakai, meski ia tak paham beberapa hal seperti “peta minute”.

“Yang pertama memang dari ‘peta minute’ zaman Belanda. Kami sendiri kalau sejarahnya tidak paham ‘peta minute’ seperti apa dan bagaimana cara membuatnya dan memang dari pihak TNI juga tidak memperbolehkan kami untuk merekam peta itu,” tuturnya.

“Kami,” lanjut Afandi, “hanya diperbolehkan untuk melihat. Jadi memang di situ ada semacam peta persil zaman Belanda.”

Di peta itu, kata Afandi, ada informasi setiap persil lengkap dengan nomor dan pemiliknya. Selain itu juga terdapat gambar lapangan tembak TNI AD di peta itu.

“Itu memang peta lama. Memang kebetulan kami tidak boleh untuk merekam dan memotret,” ujar Afandi.

Bukti Pertanian & Penguasaan Lebih 20 Tahun Harusnya Menjadi Hak Milik

Penguasaan dan pemanfaatan atas tanah tak serta merta ditandai dengan selalu hadirnya pemilik tanah di lokasi itu. Secara hukum, status tanah itu bisa menjadi hak milik dengan pembuktian: ada lahan budi daya pertanian yang terawat. Hal ini diungkapkan Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Nurhasan Ismail.

“Kalau memang ada tanaman dan tanaman itu tampak terawat itu artinya ada orang yang menjalankan kegiatan dan penguasaan atas tanah itu,” kata Nurhasan kepada kami.

Artinya jika ada yang hendak mengukur atau mematok tanah itu, harus memberitahu orang yang mengelola tanaman di lahan itu. “Karena dengan orang menguasai dan memanfaatkan secara intensif itu bukti kepemilikan,” lanjutnya.

Selain itu, penguasaan dan pemanfaatan tanah secara fisik lebih dari 20 tahun, itu menjadi alas hak untuk menguatkan kedudukan dari penduduk itu sebagai pemegang hak. Penjelasan Nurhasan ini, sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Ditambah lagi, Pasal 24 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan, pembuktian hak dapat dilakukan, berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahuluan-pendahulunya. Syaratnya, penguasaan dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya.

“Prinsipnya siapa yang menguasai dan memanfaatkan tanah secara intensif dialah yang harus diakui kalau itu berjalan bertahun-tahun,” terangnya.

Sehingga bila terbukti masih ada penduduk atau orang yang menguasai dan memanfaatkan tanah tersebut ketika dilakukan peninjauan lapangan, maka surat keputusan (SK) dari BPN belum bisa diterbitkan.

“Di dalam peninjauan lapangan itu harus ada catatan itu [masing ada penduduk yang menguasai dan memanfaatkan atau tidak]. Kalau ada mestinya tidak keluar surat keputusan pemberian hak,” ujarnya.

Alternatif lainnya, panitia harus mencatat dan memberikan rekomendasi: masih ada penduduk di atas tanah tersebut dan harus diselesaikan terlebih dahulu dengan yang bersangkutan.

Jika masih ada penduduk yang menguasai dan memanfaatkan tanah itu, kata Nurhasan, harusnya, “Dihormati, jangan diberikan dulu [SK pemberian hak]. Diselesaikan dulu, itu ya bisa diberikan ganti rugi. Jadi kalau penduduk sudah menguasai 20 tahun atau lebih ya mereka harus dianggap sudah memiliki. Jadi kalau mau digunakan dan diminta TNI ya mereka harus diberi ganti kerugian.”

Terkait dengan “peta minute” peninggalan zaman Belanda yang digunakan sebagai salah satu referensi alas hak oleh TNI AD, menurut Nurhasan, bukti itu belum cukup kuat.

“Semua pasti ada peta zaman Hindia Belanda tetapi yang diakui oleh UUPA itu adalah mereka yang menguasai dan memanfaatkan secara intensif. Itu saja,” ungkapnya

Andika Perkasa Meminta Warga Menggugat Melalui Jalur Hukum

KSAD Jenderal Andika Perkasa menyatakan, meminta warga yang merasa tanahnya diserobot oleh sertifikat hak pakai TNI AD untuk menggugat melalui jalur hukum.

“Ya enggak apa-apa [ada warga yang protes], kan yang penting kami patuh hukum. Mereka [warga] juga monggo, punya hak setiap warga negara untuk misalnya membawa tuntutan ke ranah hukum kami terbuka sekali karena itu mekanisme paling fair,” ujar Andika kepada kami.

Mantan Danpaspampres Presiden Jokowi itu menuturkan, ia telah menerima sembilan sertifikat hak pakai dari sembilan desa di Urut Sewu untuk TNI AD. Terakhir dari tujuh sertifikat, pada Oktober hingga November 2020, bertambah dua lagi pada 4 September 2021. Total luas seluruhnya 464,32 hektare. Itu masih sebagian saja. Menurutnya, total tanah milik negara yang akan digunakan TNI AD ialah 965 hektare di 15 desa, daerah Urut Sewu. Landasannya ialah “peta minute”.

Berdasarkan peta itu, kata Andika, ada dua bagian tanah yang diklaim sebagai tanah negara, sebagai Government Ground (GG 2), berbatasan langsung dengan laut. Lebarnya sekitar 500 meter membujur sepanjang garis pantai Urut Sewu kurang lebih 22 kilometer atau hampir setengah dari seluruh dari garis pantai Kebumen sepanjang 57 kilometer. GG 2 itulah yang saat ini diklaim dan disertifikat oleh TNI AD.

Selain itu, ada GG 1 yang membujur juga sekitar 22 kilometer di utara GG 2, akan tetapi terpisah oleh bukan tanah negara yang di antaranya dimiliki oleh masyarakat.

Andika menuturkan, sertifikasi tak harus kaku merujuk ke “peta minute”. Dia mengutarakan itu kepada Bupati Kebumen Arif Sugiyanto saat penyerahan sertifikat tanah. Sebab jika mengikuti peta itu, akan ada tanah milik orang lain yang berada di antara tanah hak pakai TNI AD.

“Kita cari jalan temunya saja, toh bukan milik angkatan darat, angkatan darat cuma hak pakai, tapi ini punya pemerintah dan enggak ada salahnya kalau kita tukar-tukaran, misalnya begitu. Yang penting di daerah itu karena kepentingan penggunaan lahan itu kan untuk penelitian dan pengembangan sekaligus kadang-kadang kami gunakan untuk latihan menembak,” ujarnya.

Selain melakukan wawancara langsung dengan Jenderal Andika, kami juga telah melakukan upaya konfirmasi kepada pimpinan Kodam IV/Diponegoro, sebagai pihak yang disebut BPN mengajukan pendaftaran sertifikasi bidang tanah di 15 desa di Urut Sewu. Kami menghubungi Plh Kapendam IV/Diponegoro Letkol Inf Muchlis Gasim, melalui aplikasi pesan singkat, pada 30 Juli 2021, untuk mengajukan permohonan wawancara, akan tetapi belum ada respons hingga laporan ini tayang. Surat permohonan wawancara yang kami kirimkan ke Kodam, pada 20 Agustus 2021, juga belum ditanggapi.

==================

Laporan ini terselenggara berkat kolaborasi dengan sejumlah jurnalis di antaranya Jamal Abdun Nashr (Tempo), Stanislas Cossy (Serat.id), Rudal Afgani Dirgantara (Liputan6.com), dan Anin Kartika (Radio KBR).

Baca juga artikel terkait KONFLIK AGRARIA atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Hukum
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana