tirto.id - TNI Angkatan Darat (AD) mengajukan sertifikasi hak pakai tanah yang sebagian dimiliki oleh warga Urut Sewu, Kebumen, Jawa Tengah. Warga yang sebagian besar adalah petani, melawannya. Penolakan pertama terjadi di Desa Ayam Putih dan Setrojenar. Dua desa itu adalah desa paling barat Urut Sewu yang menjadi target awal pengukuran dan pematokan oleh TNI AD, pada Februari 2020 lalu.
Paryanto, warga Setrojenar, menjadi saksi saat sejumlah anggota TNI AD bersama BPN datang ke lahan pesisir Setrojenar. Salah satu lahan yang diukur dan akan dipasangi tanda pembatas adalah peninggalan keluarganya. Dia menolak dan mempertanyakan dasar tindakan itu.
“Ini apa-apaan?” kata Paryanto mengisahkan pertanyaannya kepada anggota TNI dan BPN.
Lalu seorang anggota TNI menjawab, pengukuran dan pematokan berdasarkan "peta minute" atau "minout" yang sudah ada sejak zaman Belanda.
“Langsung saya jawab. Sekarang apa bedanya TNI dengan Belanda? Kalau itu peninggalan Belanda, berarti TNI sama dengan Belanda. Penjajah,” katanya.
Jerit Petani: Hak Kami Mau Dirampas
Pesisir Desa Kaibon Petangkuran di Kecamatan Ambal adalah satu dari enam desa yang kini belum disertifikasi hak pakai oleh TNI AD. Sejumlah warga ngotot menolak sertifikasi lahan yang puluhan tahun mereka manfaatkan untuk bertani.
Pematokan dan pengukuran sebagai syarat sertifikasi lahan di Kaibon Petangkuran, sebenarnya sudah dilakukan pada awal 2020 lalu sekitar bulan Februari. Turiyo ingat betul saat itu hari Senin. Dia diutus kepala desa untuk menjadi pengukuran lahan yang dilakukan TNI AD.
“Batin saya bertentangan, di satu sisi saya tidak sepakat dengan proses [pengukuran] itu, tapi di sisi lain saya sebagai perangkat desa diminta oleh atasan mengikuti itu,” kata Turiyo.
Turiyo bertanya ke salah seorang anggota TNI yang ada di lokasi pengukuran soal maksud dan tujuan mereka. Dijawab bahwa mereka hendak memasang patok di lahan yang disebut sebagai Government Ground (GG) 1 dan GG 2, sebagaimana klaim mereka sesuai ‘peta minute’.
‘Peta minute’ yang disebut TNI sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda dan dijadikan dasar klaim tanah di Urut Sewu. Dalam peta disebutkan ada GG2 yang berbatasan langsung dengan laut selatan dan GG1 di sebelah utara GG2 namun terpisah bidang tanah lain. TNI AD menyebut keduanya membujur 22 kilometer di pesisir urut sewu. GG2 lebarnya sekitar 500 meter, sedangkan GG2 lebih kecil.
“Lebih baik saya mengikut jadi saya tahu persis kalau ada sesuatu saya bisa cerita. Bahkan saya siap pasang badan pada warga,” katanya.
Pematokan berlangsung dari arah barat ke timur. Setiap 100 meter mereka berhenti. Saat alat ukur menunjukkan indikator lampu hijau, berarti koordinat sudah pas lalu ditancapkan patok bambu dicat kelir merah dengan tinggi sebatas lutut. Usai pengukuran para saksi termasuk dirinya diminta menandatangani berita acara.
“Walaupun saya ikuti dan saya tanda tangan, tetapi baik secara pemerintahan maupun pribadi saya tidak setuju proses ini,” ujarnya.
Sekitar satu bulan setelahnya, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kebumen dan Jawa Tengah melakukan sosialisasi hasil pengukuran. Namun warga dan perangkat desa meresponsnya dengan penolakan. Turiyo juga mengirimkan surat penolakan yang berisi tanda tangan warga ke BPN Kebumen.
“Sudah terjadi semacam sosialisasi dan di Desa Kaibon Petangkuran pada intinya menolak dengan adanya proses pengukuran tersebut yang kelihatannya mau dijadikan dasar penerbitan sertifikat oleh TNI,” tuturnya.
Turiyo menuturkan, warga bisa sewaktu-waktu kehilangan tanah penghidupan mereka. Lebih dari itu, tanah pesisir bagi masyarakat Urut Sewu adalah halaman rumah, sumber kesejahteraan dan ketentraman.
“Sebagai orang luar tidak merasakan apa-apa. Padahal hak kami mau dirampas,” keluhnya.
Sebagian warga memang kini masih bisa menanam di lahan-lahan milik masing-masing, tetapi kata Turiyo kini sudah tak ada lagi ketentraman.
“Kalau sampai [sertifikat hak pakai TNI AD ] itu keluar, kami akan melakukan aksi penolakan. Intinya perjuangan tidak ada habisnya selagi darah mengalir dan masih bisa berpikir bisa berdaya upaya ya kita tepat berjuang,” tegasnya.
TNI AD Membangun Pagar Beton yang Diprotes Warga
Wagiatno adalah saat itu menjadi salah satu warga yang diminta menyaksikan pengukuran dan pematokan oleh TNI AD bersama BPN. Dari awal ia menolak klaim TNI AD atas tanah di pesisir desanya itu, sampai adanya pemagaran oleh TNI AD di lahan 500 meter ke utara dari garis pantai. TNI AD mengklaim pagar merupakan batas tanah mereka.
“Saya juga bingung apa yang mau dibikin pegangan buat rakyat,” kata Wagiatno saat kami temui Mei lalu.
Wagiatno adalah petani yang lahannya di Desa Kaibon ikut diukur dan dipatok. Usai pengukuran dan pematokan, Wagiatno dan beberapa saksi lain meninggalkan lokasi. Mereka menolak menandatangani berita acara pengukuran.
“Setelah pengukuran kami ketemu untuk sowan ke Pak Kepala Desa. Kami menyampaikan kalau hasil pengukuran itu masyarakat belum cocok, belum pas,” ujarnya.
Wagiatno tak bisa memungkiri, berhadapan dengan bedil tentara bikin ciut nyalinya, tetapi “kalau ditanya mempertahankan, ya kami pertahankan itu sebagai warisan dari leluhur kami, orang tua kami.”
Begitu juga Paino, hidupnya tak lagi tenteram. Sebab lahan yang sejak dulu kala ia tanami cabai, diklaim oleh TNI AD. Lahan itu sejak tahun 2014 telah dipagari beton oleh TNI AD. Lahan yang dipagari, terdapat di sembilan desa yang hak pakainya sudah dikantongi TNI AD.
Paino khawatir sewaktu-waktu TNI AD mengambil tanah penghidupannya. Sebab ia kini berusia 49 tahun dan menggantungkan sumber penghasilan dari bertani, untuk menghidupi istri dan kedua anaknya.
“[Kalau tanah sampai] disertifikatkan ABRI, waduh ya perang saja,” kata Paino, warga Desa Kaibon Petangkuran. Dia menggunakan istilah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang digunakan untuk menyebut TNI sebelum terjadi reformasi 1998.
Pengalaman serupa juga dilalui Mohammad Muslikhudin, sekretaris Desa Mirit Petikusan. Dia saksi pengukuran dan pematokan tanah yang dilakukan TNI bersama BPN.
“Anehnya kenapa mereka tanya itu tanah siapa tanpa mengajak pemilik tanah," kata Muslikhudin.
Dia memang juga memiliki lahan di lokasi yang kemudian dipatok oleh TNI itu. Kesaksiannya, pemerintah desa tiga kali melakukan sosialisasi soal sertifikasi tanah yang dilakukan oleh TNI AD.
“Tiga kali sosialisasi warga menolak,” ujarnya. Protes itu dibuktikan dengan berita acara penolakan yang ditandatangani oleh warga.
Berdasarkan salinan dokumen berita acara penolakan warga Mirit Petikusan terhadap sertifikasi tanah oleh TNI AD, ada dua kali pernyataan penolakan resmi. Pertama, dalam sebuah pertemuan, pada 21 Juli 2020, setelah terjadi pengukuran dan pematokan. Sikap tersebut ditandatangani 34 orang, dibubuhi stempel pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Kemudian yang kedua, pada 25 September 2020, secara resmi warga melayangkan surat penolakan kepada BPN Kebumen dan Bupati Kebumen Arif Sugiyanto. Surat itu berkop Pemerintah Desa Mirit Petikusan dengan nomor 590/84/Ds.MP/IX/2020 yang ditandatangani Kepala Desa, Kepala BPD, dan perwakilan pemilik tanah. Mereka menolak hasil ukur oleh BPN baik tanah GG1 maupun GG2. Surat itu juga melampirkan tanda tangan penolakan lebih dari 100 warga.
“Kami sebagai warga, kami hargai TNI. TNI itu Pelindung masyarakat benteng dan pagar negara. Tapi kalau mau minta tanah, ini untuk petani saja kurang. Masih banyak yang pengangguran enggak punya lahan untuk tani,” kata Manijo. Dia adalah petani penggarap lahan pesisir yang selama ini dimiliki oleh desa yang kemudian diklaim dan hendak disertifikasi hak pakai oleh TNI AD.
“Saya Punya Sertifikat, Saya Punya Hak”
Dalih “peta minute” yang digunakan TNI AD, menurut Paryanto telah menerabas hak warga yang sah. Paryanto mengatakan, di Setrojenar diketahui ada dua sertifikat hak milik tanah yang berbatasan langsung dengan laut: atas nama Satinah dan Mihad yang merupakan kerabatnya.
Berdasarkan salinan sertifikat hak milik atas nama Satinah Nomor 22 yang dikeluarkan tahun 1969, tercantum luas tanah 1.950 meter persegi. Lebar 10 meter persegi dan panjangnya 195 meter persegi. Dalam sertifikat juga ditunjukkan peta dan batas yang jelas di antaranya barat, timur, dan utara berbatasan dengan tanah milik orang lain, sedangkan batas selatan tertulis laut.
Pun demikian dengan sertifikat hak milik tanah atas nama Mihad Nomor 28 yang dikeluarkan tahun 1969. Tertera dalam salinan dokumen sertifikat, batas selatan adalah laut. Paryanto menyebut tanah milik kerabatnya ini luasnya 2,03 hektare.
Sejak 1982 TNI AD secara sepihak membangun bangunan berupa menara tiga lantai yang digunakan untuk latihan. Kemudian di samping menara juga dibangun kolam yang kerap dijadikan tempat mencuci alat-alat latihan atau kendaraan milik TNI AD.
Sepenuturan Paryanto, Mihad waktu itu menolak adanya pembangunan, ia mengadu ke kepala desa. Namun ia tak berani bersuara secara langsung, menentang pembangunan itu kepada TNI AD. Kala itu TNI AD sangat ditakuti.
“Pakde saya sakit karena memikirkan itu. Tanahnya dibangun [tanpa izin] tapi enggak berani melawan,” kata Paryanto.
“Saat itu takut bukan main,” lanjutnya. “Bergerak sedikit dibawa ke Koramil, dianggap PKI.”
Paryanto telah diamanahi keluarganya untuk menjaga tanah. Dia adalah salah satu petani yang kerap bersuara lantang menentang klaim TNI AD. Nyalinya tak pernah ciut berhadapan dengan TNI AD. Suatu ketika pimpinan Kodim datang ke rumahnya, menawari apa pun yang ia mau. Paryanto kemudian menjawab, keinginannya hanya satu yakn,i TNI tak lagi mengklaim tanah warga.
Dia tak gentar, Paryanto bilang tak segan bertaruh nyawa. Dia berprinsip, lebih baik mati berjuang untuk kepentingan rakyat daripada menjadi penghianat.
“Saya merasa bahwa ini tanah leluhur, tanah milik masyarakat kecil yang mereka enggak berani bersuara,” tegasnya.
Sertifikat hak milik di pesisir Urut Sewu yang diklaim TNI AD sebagai tanah negara juga ada di Desa Kaibon Petangkuran atas nama Tupon. Tikem, anak almarhumah Tupon yang menjadi pewaris tanah, menunjukkan kepada kami sertifikat hak milik dengan Nomor 145 yang dikeluarkan BPN pada tahun 1969.
Dalam sertifikat atas nama ibunya itu, tercantum luas tanah 560 meter persegi. Secara rinci tercantum batas tanah yakni, sebelah utara merupakan kuburan milik desa, sebelah barat dan timur tanah milik warga, serta di sebelah selatan berbatasan dengan laut.
Tanah itu sejak puluhan tahun ia manfaatkan untuk bertani, menanam tanaman palawija seperti singkong atau cabai. Tikem tak mau tanah miliknya diserobot TNI.
“Saya punya hak. Kalau mau disertifikat [TNI AD] ya tetap enggak boleh. Ini sertifikat buat apa. Ini sertifikat ada dan tanahnya ada,” kata Tikem yang kini berusia 52 tahun.
BPN & TNI AD: Harus Persetujuan Warga & Patuh Aturan
Kepala Kantor Wilayah BPN Jawa Tengah Embun Sari menjelaskan, TNI AD mendaftarkan sejumlah bidang tanah di 15 desa. Semua itu dilakukan melalui Kodam IV/Diponegoro. Namun menurutnya, pengukuran dan pematokan tanah harus berdasarkan persetujuan warga.
“Kalau masyarakatnya oke, di lapangan diukur, tanda batas sudah dipasang, pengukuran tidak ada masalah. Keluar peta bidang. Kemudian tim peneliti turun tidak ada yang komplain keluarlah sertifikat,” kata Embun yang kami temui Mei lalu. Kini ia dipromosikan sebagai Dirjen Pengadaan Tanah dan Pengembangan Pertanahan (Dirjen PTPP) Kementerian Agraria Tata Ruang (ATR)/BPN.
Embun menuturkan, saat Mei lalu baru ada tujuh sertifikat dari tujuh desa yang sudah diterbitkan. Kemudian per 4 September lalu, bertambah menjadi sembilan sertifikat. Saat ini, tersisa enam sertifikat yang menunggu persetujuan warga.
“Karena perkembanganya kan berubah terus sewaktu-waktu, kondusif atau tidak. Setuju atau tidak masyarakat di desa. Kalau tidak setuju ya sudah, selesaikan dulu,” ujarnya.
Namun Bupati Kebumen Arif Sugiyanto menuturkan, tanpa menyebut nama desanya, ia memastikan akan ada satu desa lagi yang sertifikatnya keluar. Dia menyampaikan itu saat saat memberikan sambutan dalam acara, penyerahan sertifikat hak pakai TNI AD di Korem 072/Pamungkas, 4 September 2021 lalu
“Ini merupakan tantangan yang ada 15 bidang dapat terselesaikan. Insya Allah 10 bidang [tersertifikat hak pakai TNI AD]. Karena yang ke-10 sedang dalam proses dan intinya sudah selesai,” kata Arif.
Sementara itu Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika dalam kesempatan yang sama mengatakan, dalam proses pengajuan sertifikat hak pakai itu, TNI AD akan mematuhi dan mengikuti aturan hukum yang berlaku.
“Jadi kalau ada warga yang merasa tidak menerima atau belum dilibatkan. Intinya kami ikut aturan hukum saja. Jadi untuk lahan-lahan atau wilayah yang belum ada sertifikat hak pakainya kami tidak akan kemudian serta merta-merta seolah kami pemilik sertifikat hak pakai,” kata Andika.
Andika menegaskan, TNI AD tidak akan turun ke lapangan atau memaksakan secara sepihak, wilayah yang belum secara resmi keluar sertifikat hak pakai oleh TNI AD.
“Kalau sertifikat yang dimiliki oleh warga itu juga dikeluarkan oleh BPN. Jadi itu sesuatu yang menurut saya legal. Jadi suatu saat nanti dari perkembangan Angkatan Darat merasa itu masih bisa kita lakukan pembicaraan, akan kami lakukan pembicaraan,” ujarnya.
Kemudian mengenai bangunan menara dan kolam yang didirikan TNI AD di lahan milik Mihad di Desa Setrojenar tanpa izin, Andika mengatakan, akan melakukan evaluasi terkait itu. Menurutnya, bangunan itu dipergunakan untuk latihan militer.
“Jadi ini bangunan yang menurut saya selama itu ada di lahan yang sudah sertifikat hak pakainya. Tapi kalau memang belum keluar [sertifikat hak pakai] dan kelihatannya kita lihat perkembangannya kalau memang sulit ya pasti akan evaluasi, intinya kami akan patuh pada legalitas,“ tuturnya.
Selain melakukan wawancara langsung dengan Jenderal Andika, kami juga telah melakukan upaya konfirmasi kepada pimpinan Kodam IV/Diponegoro, sebagai pihak yang disebut BPN mengajukan pendaftaran sertifikasi bidang tanah di 15 desa di Urut Sewu. Kami menghubungi Plh Kapendam IV/Diponegoro Letkol Inf Muchlis Gasim, melalui aplikasi pesan singkat, pada 30 Juli 2021, untuk mengajukan permohonan wawancara, akan tetapi belum ada respons hingga laporan ini tayang. Surat permohonan wawancara yang kami kirimkan ke Kodam, pada 20 Agustus 2021, juga belum ditanggapi.
==================
Laporan ini terselenggara berkat kolaborasi dengan sejumlah jurnalis di antaranya Jamal Abdun Nashr (Tempo), Stanislas Cossy (Serat.id), Rudal Afgani Dirgantara (Liputan6.com), dan Anin Kartika (Radio KBR).
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana