tirto.id - Max Binur, 41 tahun, berkunjung ke Kampung Malaumkarta di Distrik Makbon, Sorong, Papua Barat, 10 Agustus lalu. Kampung itu merupakan salah satu kantong masyarakat adat Moi—suku asli wilayah Sorong. Dari beberapa pimpinan masyarakat adat Moi di Malaumkarta, ia baru tahu bahwa program vaksinasi, yang sedang gencar dilakukan Pemerintah sejak Januari lalu: belum terlaksana.
“Belum ada proses vaksinasi di sana. Saya masih kontak-kontakan dengan kawan-kawan adat di sana. Itu kampung dampingan saya dari dulu sampai sekarang,” kata Binur kepada saya, kemarin.
Walau berasal dari suku Biak, sejak umur 10 tahun Binur sudah tumbuh dan kenal dengan suku Moi di wilayah Sorong. Apalagi, dirinya yang aktif di rumah produksi film dokumenter Papuan Voices, yang membikin dirinya harus bertemu dan berkenalan dengan banyak orang. Dari rumahnya di Kelurahan Malawele, Distrik Aimas, ia harus menempuh perjalanan 37 kilometer menuju Kampung Malaumkarta.
“Pemantauan saya, lebih banyak vaksinasi di daerah kota,” tambahnya.
Hingga hari ini, angka vaksinasi untuk masyarakat adat memang cenderung rendah. Padahal mereka bagian dari kelompok masyarakat rentan seharusnya diprioritaskan untuk divaksin, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Namun nyata di Indonesia, angka vaksinasi masyarakat rentan masih rendah. Sangat timpang angkanya dibandingkan petugas publik yang sudah 100 persen. Terlebih, di banyak kasus mereka yang tak memiliki kerentanan malah diprioritaskan, seperti anggota DPR, pejabat negara, hingga karyawan BUMN.
Di Provinsi Papua Barat sendiri, per 2 September, angka vaksinasi untuk masyarakat umum dan masyarakat rentan masih sangat jongkok. Dosis satu hanya 9,5 persen (36.043 jiwa) dan dosis kedua baru 5,7 persen (19.154 jiwa). Dari angka tersebut, kita tak pernah tahu berapa angka masyarakat adat dan umum yang telah divaksinasi.
Sedangkan angka vaksinasi untuk petugas publik, yang dalam konteks Indonesia cakupannya termasuk anggota legislatif, pejabat negara, hingga karyawan BUMD, dosis pertama sudah menyentuh angka 118 persen (137.865 jiwa) dan dosis kedua sudah 66 persen (77.660 jiwa).
Jika mau melihat angka lebih spesifik lagi di Kabupaten Sorong—tempat di mana sebagian besar masyarakat adat Moi, dosis satu masih mencapai 20.052 jiwa (23,8 persen dari target provinsi) dan dosis dua masih di angka 12.376 jiwa (14,7 persen dari target provinsi).
Di Kabupaten Sorong, menurut Binur, banyak masyarakat adat Moi yang tinggal jauh dari pusat-pusat perkotaan belum terjamah oleh program vaksinasi. Apalagi, kata dia, sejauh ini Pemerintah terkesan pasif dan hanya mengumumkan lokasi diadakannya vaksinasi saja.
“Siapa yang mau vaksin silakan datang ke Puskesmas atau tempat vaksin massal,” ujar Binur.
“Tidak ada imbauan resmi yang diberikan Pemerintah ke RT, RW, Kepala Kampung untuk mengarahkan warganya. Enggak proaktif. Warganya yang harus inisiatif datang. Hanya memberitahu tempat-tempat saja,” imbuhnya.
Kabupaten Sorong sendiri sempat menjadi zona merah pada Agustus tahun lalu, usai kampanye dan penerapan New Normal—yang cenderung tidak efektif.
Awal Juli lalu angka positif Covid-19 di Papua Barat pun sempat melonjak, mencapai 200 sampai 300 tambahan kasus baru per hari. Pemerintah Daerah sampai memberlakukan PPKM berskala besar selama dua pekan. Hingga 4 Juli, total kasus kumulatif mencapai 11.673 dan 210 jiwa yang meninggal.
Jika tidak ada upaya mitigasi sesegera mungkin, masyarakat adat rentan terpapar Covid-19.
Ketua Harian Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Papua Barat, Derek Ampnir, mengakui hingga saat ini masyarakat adat belum divaksin. Menurutnya, masyarakat adat akan diberi sosialisasi terlebih dahulu sebelum divaksin. Sosialisasi akan dilaksanakan pada pekan ke-2 bulan ini.
Apalagi, kata Ampnir, Pemerintah Provinsi Papua Barat telah melakukan perjanjian kerja sama dengan Dewan Adat Papua Wilayah III Doberay pada 9 Agustus lalu, salah satu poinnya mengenai sosialisasi vaksinasi. Namun ia tak menjawab dengan tegas, mengapa vaksinasi untuk masyarakat adat baru akan dilaksanakan, padahal mereka termasuk kelompok rentan.
“15 orang perwakilan masyarakat adat sudah divaksin sejak awal. Kami akan datang ke kampung-kampung adat untuk vaksinasi. Kami akan ke sana,” kata Ampnir kepada saya, kemarin malam.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Vaksinasi bagi Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan mencatat, hingga saat ini belum ada terobosan dari Pemerintah untuk bisa memaksimalkan pemerataan vaksinasi ke daerah-daerah terpencil. Menurut mereka, jangkauan vaksinasi di Indonesia belum merata dan timpang.
Padahal, kata Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi yang tergabung dalam koalisi, stok vaksin di sejumlah daerah sebenarnya masih berlimpah. Mereka mengacu ke catatan dari Kementerian Kesehatan per 25 Agustus 2021.
“Jika dibandingkan dengan rerata laju vaksinasi pekan lalu, stok vaksin di Kabupaten Maybrat, Papua Barat, diperkirakan baru habis dalam 298 hari ke depan. Di Kabupaten Yalimo, Papua persediaan vaksin baru habis untuk 1.080 hari lagi. Bahkan, stok vaksin di Kabupaten Yahukimo, Papua, baru akan tuntas 1.775 hari atau 4,86 tahun ke depan saking banyaknya,” terang Sombolinggi, pekan lalu.
Dalam pantauan AMAN, lokasi vaksinasi yang terlalu jauh dari desa menggerus minat masyarakat adat di wilayah pelosok untuk divaksinasi.
“Masyarakat adat suku Sakai di Kabupaten Bengkalis, di pedalaman Riau, juga berbagai suku lain yang tinggal di pedalaman, kalau disebut vaksinasi digelar di kota, sudah pada turun antusiasme mereka," ujarnya.
Sombolinggi mendesak, vaksinasi harus masuk ke kampung-kampung pedalaman tempat masyarakat adat tinggal. Jika vaksinasi hanya menyasar perkotaan atau wilayah pusat pemerintahan, warga bakal kehilangan minat karena susah mengaksesnya. Akibatnya, hak-hak kesehatan masyarakat adat jadi tidak terpenuhi. Penanganan pandemi secara keseluruhan pun berisiko tak tercapai.
Koalisi juga mendesak untuk Pemerintah mendirikan klinik vaksinasi darurat (berupa tenda, bangunan sementara, atau lainnya) di lokasi yang terjangkau. Lokasi penyelenggaraan vaksinasi perlu diupayakan lebih menjangkau banyak kalangan, ketimbang hanya mengandalkan lokasi di pusat kota atau pusat pemerintahan.
“Pemerintahan desa atau struktur pemerintahan terkecil hendaknya dilibatkan demi meluaskan jangkauan vaksinasi,” tuturnya.
Masalah keterjangkauan vaksinasi untuk masyarakat adat ini, belum termasuk hal-hal administratif yang menghambat program vaksinasi sejak awal. Salah satunya terkait syarat Nomor Induk Kependudukan (NIK) berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan. Di banyak kesempatan, sering ditemui masyarakat adat tak punya NIK.
Suku Moi Melawan Ekspansi yang Merusak Alam
Masyarakat adat suku Moi adalah suku mayoritas yang mendiami sebagian besar wilayah Kabupaten Sorong dan Kota Sorong di Papua Barat. Wilayah adat mereka mencakup 400.000 hektare. Mereka memiliki 10 subsuku, dengan batasan wilayah masing-masing. Semua subsuku tersebut terbagi lagi menjadi 100-an marga besar dan kecil yang disebut gelet.
“Suku Moi menyebar hampir di semua wilayah kepala burung Papua,” kata Silas O. Kalami, ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malamoi, dalam wawancara dengan Mongabay.
Namun hingga saat ini, tak pernah ada data resmi yang mengungkap jumlah masyarakat adat Moi, setidaknya LMA Malamoi memprediksi populasinya menyentuh 100 ribu jiwa.
Badan Pusat Statistik (BPS) mendata, jumlah penduduk Kabupaten Sorong secara umum mencapai 117.831 jiwa. Dari angka tersebut, Bupati Sorong Jhony Kamuru memprediksi setengah dari total populasi di Sorong tersebut, merupakan masyarakat adat Moi.
Dari banyaknya jumlah masyarakat adat Moi di Kabupaten Sorong tersebut, tak sedikit juga yang menganggap dirinya tak membutuhkan vaksin. Ini karena sosialisasi yang kurang dan ketakutan karena memori kolektif yang kerap direpresi aparat negara—seperti terjadi di Provinsi Papua, banyak masyarakat adat yang memiliki keyakinan tertentu bahwa Covid-19 hanya wabah biasa yang muncul dari alam—seperti demam berdarah—dan segera berlalu.
Silas O. Kalami menuturkan, banyak masyarakat adat yang tidak mempermasalahkan adanya Covid-19 karena memang menganggap kekebalan tubuh secara alamiah sudah terbangun dengan segala hal yang didapat dari alam.
Para tetua adat suku Moi, merasa cukup meminum rebusan daun-daunan tertentu yang bisa diambil dari hutan sebagai upaya pengobatan tradisional. Hal-hal seperti itu sudah berlangsung secara turun temurun masyarakat adat.
“Mereka punya obat tradisional di situ [hutan],” kata Kalami kepada saya, dua hari yang lalu.
Obat-obatan tradisional itu tergerus ekspansi perusahaan kelapa sawit dan tambang mineral. Banyak wilayah hutan di Kabupaten Sorong yang terancam deforestasi yang merampas ruang hidup hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat adat. Salah satunya, terjadi di lahan masyarakat adat Moi.
“Makanya hutan itu jangan dibabat,” tegasnya.
Keserakahan yang Merampas Hak Hidup Masyarakat Adat
Bupati Sorong Jhony Kamuru digugat oleh tiga perusahaan sawit ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura karena izin konsesi mereka dicabut. Tiga perusahaan itu adalah PT. Inti Kebun Lestari, PT. Sorong Agro Sawitindo, dan PT. Papua Lestari Abadi—dengan nomor registrasi secara berurut 30, 31, dan 32/G/2021/PTUN.JPR.
Jhony Kamuru memang nekat dan berani. Pada 27 April lalu dirinya mencabut tiga jenis izin atas empat perusahaan sawit: izin lokasi, izin lingkungan, dan izin usaha perkebunan (IUP). Satu perusahaan lainnya adalah PT. Cipta Papua Plantation, akan tetapi tidak ikut melayangkan menggugat.
Saat dirinya menjabat sebagai Bupati Sorong sejak 2017 lalu, Kamuru “dilimpahi” delapan perusahaan sawit yang izinnya dikeluarkan oleh bupati-bupati periode sebelumnya. Dia mengklaim, belum pernah sekalipun memberi izin selama menjabat. Melalui berbagai hasil evaluasi dan kajian didapati, izin yang telah diberikan tersebut ternyata merugikan masyarakat adat.
Yang pertama adalah PT. Mega Mustika Plantation (MMP), lokasinya berada di Distrik Klaso. Perusahaan ini mendapat izin oleh Bupati Stepanus Malak pada 2011 lalu. Kamuru mencabut izin perusahaan itu pada 14 Agustus lalu.
Awalnya perusahaan ini mendapat luas izin konsesi sebesar 11.457 hektare. Namun, kepada saya, Kamuru mengaku izinnya yang terakhir mencapai sekitar 30.000 hektare.
Sedangkan empat perusahaan lainnya izin dicabut pada April lalu: PT Cipta Papua Plantation di Distrik Sayosa (15.671 hektar), PT Inti Kebun Lestari di Distrik Klaso dan Distrik Segun (34.400 hektare), PT Sorong Agro Sawitindo di Distrik Seget dan Distrik Segun (40.000 hektare), dan PT Papua Lestari Abadi di Distrik Klamono dan Distrik Segun (15.631 hektare).
“Jadi yang paling dasar adalah terkait perolehan tanah dan realisasi pembangunan kebun yang tidak dilaksanakan hingga jangka waktu yang telah diberikan. Izin yang diberikan memang tidak dipergunakan secara baik, terkesan itu ditelantarkan,” kata Kamuru kepada saya, kemarin.
Seluruh lahan berbagai perusahaan yang izinnya sudah dicabut itu, rencananya akan dikembalikan ke hak ulayat masyarakat adat. Kamuru menilai langkahnya tersebut sesuai dengan peraturan daerah yang ia teken pada 2017 lalu, tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat Moi (pdf).
Saya telah mencoba menghubungi dua orang kuasa hukum dari PT Sorong Agro Sawitindo dan PT Papua Lestari Abadi, Iwan K. Niode dan Juhari, via pesan teks WhatsApp. Namun hingga naskah ini tayang, belum ada respons. Dalam laman resmi PTUN Jayapura, sidang untuk PT Sorong Agro Sawitindo sudah berjalan tiga kali namun masih dalam tahap pemeriksaan. Begitu juga dengan PT Papua Lestari Abadi yang sudah tiga kali sidang dan masih dalam tahapan pemeriksaan persiapan.
Namun beberapa jam setelah naskah ini tayang, kuasa hukum PT Sorong Agro Sawitindo dan PT Papua Lestari Abadi, Juhari, merespons derasnya kritik dari masyarakat yang menyebut kliennya turut serta merusak lingkungan dan membabat hutan adat untuk perusahaan sawit. Hal tersebut yang menjadi salah satu alasan Bupati Sorong Jhony Kamuru mencabut izin dua perusahaan itu.
Juhari menilai Bupati Sorong salah sasaran jika menyebut dua perusahaan yang menjadi kliennya ikut merusak lingkungan. Dia mengklaim, dua kliennya belum melakukan aktivitas apa pun.
"Mungkin yang dimaksud Bupati [Sorong] bukan klien kami, karena sampai saat ini satu batang pohon belum ditebang. Klien kami masih mengurus beberapa izin di bidang kehutanan," kata Juhari merespons konfirmasi, 3 September siang.
"Kami juga tidak pernah menggadaikan sebagai jaminan izin kami di bank sebagaimana pernyataan Bupati," tambahnya. Jauhari berujar, dalam persidangan nanti akan membuktikan masyarakat pemilik hak ulayat mendukung perusahaan kliennya.
Sedangkan Kamuru tak menampik jika ada anggapan umum bahwa keputusan berani yang ia ambil, berkaitan dengan identitasnya sebagai anak kandung dari adat suku Moi. Apalagi, ia merasa langkah yang ia putuskan telah sesuai aturan: selaras dengan pengakuan HAM, kelanjutan pembangunan, dan mendukung kelestarian alam.
“Kerja Bupati ini kan melayani masyarakat,” kata dia, tenang.
Dia juga tak takut jika suatu saat keputusannya ternyata berbentuk dengan kebijakan pemerintah provinsi atau pusat, yang seringkali mengedepankan motif ekonomi politik.
“Takut seperti apa ya? Kalau ada di jalur yang benar, tetap di pihak yang benar, saya pikir cepat atau lambat kebenaran akan menjadi pemenang,” tegasnya.
Di mata Kamuru, kehadiran perusahaan-perusahaan sawit hanya memberangus habitat flora dan fauna yang ada di hutan-hutan milik masyarakat adat. Ketika sebelumnya masyarakat adat dengan mudah bisa dapat hasil buruan di hutan, akan tetapi tidak saat zaman kiwari. Sumber-sumber mata air pun saat ini sudah kering.
Kepada saya, ia sekali lagi menegaskan: masyarakat Papua punya kehidupan yang benar-benar bergantung kepada alam.
Salah seorang tokoh perempuan adat Moi, Frida Klasin juga berbicara hal serupa. Kebijakan yang dikeluarkan Bupati tersebut, sedikit banyak memberikan gambaran konkret bagaimana masyarakat adat Moi selama ini menghadapi derasnya investasi perusahaan sawit ke hutan-hutan adat.
Menurut Klasin, hutan di mata perempuan adat Moi bukan hanya perkara pohon-pohon maupun luasan wilayah, akan tetapi juga identitas masyarakat adat yang mengandung hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Banyak hutan-hutan adat, terang Klasin, yang memiliki tempat keramat dan tak dikenal. Ini yang hanya bisa dikenali oleh para masyarakat adat itu sendiri.
“Penghancuran hutan juga termasuk penghancuran hak ekosob bagi masyarakat adat,” kata Klasin dalam sebuah diskusi daring, akhir Agustus lalu.
Menurut Klasin, apa yang dilakukan oleh Kamuru bisa dianggap sebagai kritik kepada Pemerintah Pusat yang selama ini selalu mengeluarkan kebijakan tanpa melibatkan masyarakat adat. Dalam banyak kasus, masyarakat adat yang hidup wilayah yang kaya akan sumber daya alam, akan tetapi ruang hidupnya terampas dan hak-hak dasarnya tak terpenuhi.
“Bagi saya merupakan sebuah pelanggaran dan terstruktur dilakukan oleh negara,” tegas Klasin. Menurutnya, harus dipikirkan bersama konsep pengelolaan hutan yang tujuan utamanya untuk kesejahteraan masyarakat adat.
----------
Adendum:
Pada pukul 14.10, redaksi menambahkan pernyataan dari kuasa hukum PT Sorong Agro Sawitindo dan PT Papua Lestari Abadi dalam laporan ini.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Dieqy Hasbi Widhana