Menuju konten utama

'Semua Rebutan': Ketika Vaksinasi Tak Memprioritaskan Warga Rentan

Kelangkaan vaksin COVID-19 terjadi di mana-mana. Pemerintah juga tidak mengindahkan anjuran WHO dengan memprioritaskan pejabat alih-alih kelompok rentan.

'Semua Rebutan': Ketika Vaksinasi Tak Memprioritaskan Warga Rentan
Ilustrasi HL Negara Gagal Prioritaskan Vaksin. tirto.id/Lugas

tirto.id - Marlinda Nau tiba dan duduk di kursi antrean di Puskesmas Kapan Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur pada 7 Agustus. Meski baru pukul 8, keadaan sudah ramai. Ia memprediksi ada 400-an warga yang sudah hadir menanti vaksinasi.

Ia menanti suntikan dosis kedua, yang sejatinya ia terima pada 27 Juli, atau 28 hari dari injeksi pertamanya di tanggal 29 Juni. Namun karena minimnya informasi dari otoritas dan tipisnya stok, jadwalnya terpaksa mundur. Dirinya bahkan hanya mendapat informasi vaksinasi dari grup WhatsApp. Saat pos daftar ulang dibuka oleh petugas, Linda segera mendaftar dan mendapat giliran jam 12 siang. Namun, baru pukul 11 siang keadaan sudah memanas. Banyak warga yang emosi tak kebagian jatah vaksin dosis kedua karena jumlahnya terbatas.

“Ada ribut sedikit, karena tidak ada manajemen yang bagus saat antrean. Semua rebutan. Di hari itu banyak juga yang enggak dapat vaksin, banyak sekali. Stok terbatas, sudah terlanjur antre [dari pagi], tidak dapat informasi yang cukup,” kata Linda kepada reporter Tirto, Senin (19/8/2021) lalu. “Untungnya saya bisa jam 12 [siang],” tambahnya.

Setelah disuntik dosis pertama, petugas pun mewanti-wanti Linda agar datang lagi setelah 28 hari. “Tak boleh lewat dari tanggal itu,” kata Linda meniru ucapan petugas. Jelang tanggal yang telah dijanjikan, Linda mengaku tak kunjung mendapat kabar resmi dari pihak Puskesmas Kapan. Ia baru mendapat kabar di hari itu pukul 12 siang. “Itu kabar bahwa ada dosis kedua, tapi jumlah terbatas hanya 100 orang. Saya tidak kebagian,” kata Linda. Lagi-lagi, kabar itu dia dapat dari teman-temannya, bukan petugas resmi.

“Ada yang rumahnya belasan bahkan 20 kilometer ke Puskesmas, antre dari pagi, setelah pihak petugas buka pendaftaran vaksin, ternyata enggak bisa ikut. Akhirnya kecewa,” kata Linda. “Sampai ribut-ribut. Yang sangat dikecewakan adalah tidak ada pemberitahuan dari petugas atau Dinas Kesehatan, bahkan vaksin [kedua] agak terlambat,” kata dia.

Hal senada juga dikeluhkan oleh warga Mollo Utara lainnya, Dicky Senda. Kepada reporter Tirto, ia bercerita bagaimana informasi mengenai vaksinasi di daerahnya kerap tiba secara mendadak: satu hari sebelum pelaksanaan dan hanya terbatas via WhatsApp.

“Sementara tidak semua masyarakat bisa akses media sosial atau WhatsApp,” katanya, Rabu (18/8/2021).

“Orang juga mulai malas. Karena sekali, dua kali, tiga kali datang terus gagal vaksin karena stok terbatas. Sementara masyarakat perlu jalan kaki jauh ke Puskesmas, atau perlu bayar ojek mahal. Kalau tidak pasti, lama-lama orang juga malas. Ini yang saya perhatikan mulai terjadi di akar rumput. Ketidakpastian membuat orang jadinya apatis,” tambahnya.

Vaksinasi di Daerah Masih Jauh dari Target

Per 22 Agustus, jumlah orang yang disuntik vaksin masih jauh dari target Provinsi Nusa Tenggara Timur. Bahkan, dari total 3.831.439 sasaran warga yang akan disuntik, dosis pertama masih berada di angka 17 persen atau 661.654 orang, dan dosis kedua masih 10 persen atau 423.720 orang.

Dari semua kategori, dosis pertama untuk lansia masih 10 persen atau 41.780 orang, sedangkan masyarakat rentan—yang tidak dibedakan jelas dengan masyarakat umum—baru tercapai 5 persen atau 143.304 orang dari total 2.4 juta jiwa penduduk layak vaksin. Kategori tenaga kesehatan dan petugas publik sudah 100 persen lebih.

Infografik HL Negara Gagal Prioritaskan Vaksin

Infografik HL Negara Gagal Prioritaskan Vaksin. tirto.id/Lugas

Kepala Dinas Kesehatan NTT, Messerassi B. V. Ataupah, membantah jika masyarakat tak mendapat informasi yang cukup mengenai vaksinasi. Ia mengklaim jika semua Puskesmas atau fasilitas kesehatan di NTT melayani setiap saat. Kata dia, kekosongan stok vaksin di NTT juga sudah tidak ada sekarang.

“Sekarang ketersedian vaksin yang didistribusikan dari pusat sudah baik. Jadi tinggal teman-teman [pejabat] dari Kabupaten dan Kota diminta buat rancangan percepatan saja,” kata dia saat dikonfirmasi reporter Tirto, Sabtu (21/8/2021).

Kekosongan di Luar Pulau Jawa

Kosongnya stok vaksin di Indonesia bukan masalah baru. Di Pulau Sumatera sendiri, beberapa daerah sempat mengalami kekosongan stok vaksin hingga awal Agustus. Salah satunya di Provinsi Bengkulu. Gubernur Rohidin Mersyah sampai melayangkan surat penambahan stok vaksin ke Kementerian Kesehatan, Senin (26/7/2021).

Begitu juga dengan Aceh dan Kepulauan Riau. Pada Juli lalu, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau, Mochammad Bisri, mengaku sampai tiga kali menyurati Kementerian Kesehatan. Kelangkaan stok vaksin juga dirasakan sampai Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Sedangkan di Pulau Jawa kelangkaan stok vaksin mulai terasa sejak awal Agustus. Setidaknya Gubernur Jawa Barat Ridwal Kamil dan Dinas Kesehatan Jawa Timur mengakui kekosongan itu. Bahkan, kekosongan vaksin juga terjadi di kota besar seperti Yogyakarta.

Sejak awal, Kementerian Kesehatan telah menargetkan total 208.265.720 warga yang mendapat vaksin—dengan ragam ketersediaan vaksin yang ada. Menurut Pemerintah, jika 70 persen dari total tersebut sudah divaksin, itu artinya kekebalan kelompok—atau herd immunity—bisa tercapai.

Dalam sebuah diskusi daring pada 20 Agustus lalu, Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, menyebut dari kebutuhan sebanyak 426.000.000 dosis vaksin, Indonesia baru menerima sekitar 160.000.000 dosis vaksin—atau sekitar 30 persen.

“Otomatis pasti tidak akan bisa tersebar secara merata dan tidak bisa semua orang mendapatkan vaksinasi dalam satu waktu sekaligus,” kata dia.

Hingga per 22 Agustus, dosis pertama baru tercapai 27.53 persen—atau 57.339.307 warga—dan dosis kedua baru 15.18 persen—atau 31.601.868. Dari total dosis pertama itu, hanya kategori tenaga kesehatan dan petugas publik yang sudah mencapai 100 persen. Dosis kedua, tenaga kesehatan pun sudah mencapai 100 persen, sedangkan petugas publik sudah mencapai 99 persen.

Organisasi Kesehatan Dunia sudah menganjurkan agar negara-negara yang memiliki keterbatasan akses vaksin untuk memprioritaskan beberapa jenis lapisan masyarakat awal-awal injeksi. Yang pertama adalah tenaga kesehatan, kedua adalah lansia, dan yang ketiga adalah masyarakat yang secara sosio-demografi termasuk kelompok rentan.

Yang terakhir termasuk: minoritas etnis, ras, gender, agama, seksual, warga disabilitas, kemiskinan akut, warga tak punya rumah, warga di wilayah kumuh dan padat, pekerja migran upah rendah, pengungsi, hingga mereka yang hidup di tengah konflik.

Pemerintah sayangnya, tidak membedakan data penerima antara masyarakat rentan dan masyarakat umum. Kedua kategori itu dijadikan satu angka, sehingga publik tidak benar-benar bisa membedakan mana yang rentan dan mana yang umum.

Negara Gagal Prioritaskan Vaksinasi

Masalah prioritas penerima vaksin ini menjadi ironi saat Pemerintah Indonesia justru memasukkan petugas publik ke dalam target awal. Mereka adalah: wakil rakyat, pejabat negara, pegawai pemerintah, TNI, Polri, Satpol PP, perangkat desa, BUMN, BUMD, dan pemadam kebakaran—orang-orang yang menurut WHO tak perlu masuk target awal.

Dengan vaksinasi petugas publik yang sudah mencapai 100 persen di dosis pertama dan 99 persen di dosis kedua, setidaknya total sudah menghabiskan 45 juta dosis vaksin. Padahal, masih banyak kategori masyarakat yang lebih prioritas seperti lansia dan masyarakat rentan—yang saat ini angkanya masih sangat rendah.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam keterangannya, Jumat (20/8/2021) mengatakan, pemerintah telah mengamankan 370 juta dosis vaksin hingga akhir tahun lewat bermacam skema perjanjian dan hibah. Targetnya, 200 juta rakyat dapat divaksin hingga akhir 2021.

Budi juga baru menampilkan kanal pantau stok vaksinasi di laman resmi pada 19 Agustus lalu—atau kurang lebih delapan bulan setelah program vaksinasi berjalan. Sebelumnya, publik tak bisa memantau bagaimana distribusi dan ketersediaan vaksinasi secara detail: berapa stok vaksin, penerima, hingga pemakaian di suatu daerah.

Koordinator Public Health Pandemic Talks, Pritania Astari, menilai sedari awal Pemerintah memang tidak mengikuti anjuran standar WHO terkait prioritas penerima vaksin untuk negara yang masih memiliki stok terbatas.

Padahal, kata dia, seharusnya masyarakat rentan diutamakan terlebih dahulu. Petugas publik—yang sudah dimulai sejak Februari lalu—serta masyarakat umum yang masih memungkinkan untuk melakukan pembatasan mobilitas, bisa divaksin usai semua masyarakat rentan terselesaikan. Pasalnya, saat ini petugas publik sudah selesai vaksinasi dan sudah menghabiskan kurang lebih 45 juta dosis vaksin.

“Itu berarti akan ada sekian puluh juta dosis vaksin yang bisa digunakan untuk kelompok rentan dan juga di daerah-daerah,” katanya kepada reporter Tirto, Kamis (19/8/2021). Imbasnya, terjadi kekosongan vaksin di berbagai daerah di saat angka vaksin untuk kelompok rentan masih sangat rendah.

“Gagalnya prioritaskan vaksin untuk kelompok rentan sebabkan kelangkaan vaksin,” kata dia.

Pritania melanjutkan, jika memang petugas publik tetap harus divaksin, seharusnya bisa diprioritaskan petugas publik yang sudah berumur dan petugas publik yang berada di daerah terpencil. Menurut dia, saat ini stok vaksin cenderung terpusat di Pulau Jawa. Padahal, secara geografis, Pulau Jawa memiliki kemudahan akses lalu lintas.

“Bukannya tidak boleh sama sekali ada [di Pulau Jawa], melainkan diprioritaskan dahulu kepada orang-orang yang rentan,” kata dia.

“Karena herd immunity logikanya bukan seperti, misalnya Jakarta sudah 90 persen tervaksin artinya Indonesia aman dari corona, kan enggak seperti itu. Kalau misalnya orang-orang di Pulau Jawa sudah 90% tervaksin kemudian diperbolehkan jalan-jalan, yang ada malah bisa memindahkan beban pandemi ke daerah-daerah lain yang belum sepenuhnya tervaksin,” tambahnya.

Pritania juga menyoroti bagaimana kategori masyarakat rentan dan masyarakat umum tak dibedakan oleh Kementerian Kesehatan. Per 22 Agustus, kategori tersebut sudah menginjeksi dosis pertama 18.833.154 warga—atau 13,3 persen.

Dari angka belasan juta tersebut, publik tak pernah tahu berapa banyak masyarakat yang benar-benar rentan—transgender, disabilitas, hingga miskin kota—telah divaksin.

“Tidak adanya pembedaan data ini mencerminkan bahwa strategi penanganan pandemi belum prioritaskan kelompok rentan. Dan hal ini stok vaksinasi tidak terdistribusi secara adil, baik, tertarget, sehingga menyebabkan kelangkaan vaksinasi, yang pada akhirnya dirasakan lagi oleh masyarakat rentan,” kata dia.

Utak-Atik Prioritas Vaksinasi

Siti Nadia Tarmizi mengklaim jika saat ini sudah tidak ada daerah yang kekosongan vaksin lagi. Kata dia, kekosongan vaksin di Kabupaten dan Kota beberapa waktu lalu bisa terjadi karena butuh proses dan uji kualitas sekitar 2-3 minggu sebelum akhirnya didistribusi.

Ia juga mengklaim jika Kementerian Kesehatan sudah mengikuti anjuran WHO mengenai prioritas vaksinasi. “Kita memulai dengan nakes, lansia, dan petugas publik. Itu sudah tepat dan baru kemudian kepada masyarakat umum yang dimulai dengan masyarakat rentan,” katanya saat dikonfirmasi, Minggu (22/8/2021).

Siti Nadia juga meminta Tirto membaca Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.01.07/MENKES/4638/2021 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).

Awalnya, keputusan itu memang merujuk Roadmap WHO Strategic Advisory Group of Experts on Immunization (SAGE), yang membagi skenario penyediaan vaksin menjadi tiga tahap. Namun, Kementerian Kesehatan memasukkan “petugas publik” sebagai prioritas, bersamaan dengan tenaga kesehatan, lansia, dan masyarakat rentan.

Tahap satu untuk tenaga kesehatan dimulai dari Januari 2021. Petugas publik tersebut masuk ke tahap dua bersama lansia yang dimulai sejak Februari 2021, anggota DPR, pejabat negara, hingga pegawai BUMN. Masyarakat rentan justru baru dimulai saat tahap tiga per Juli 2021.

Padahal tidak demikian dengan skenario yang dianjurkan WHO.

Menurut WHO, tahap satu untuk tenaga kesehatan dan lansia. Tahap dua untuk warga dengan komorbid, masyarakat rentan secara sosio-demografi, dan guru serta staf sekolah. Sedangkan, petugas publik baru masuk di tahap tiga bersama dengan perempuan hamil. Itu pun tidak semua petugas publik, hanya polisi, pelayanan kota, jasa penitipan anak, pekerja pertanian dan makanan, transportasi, dan petugas publik yang esensial.

Itu artinya, ada perbedaan cukup signifikan antara anjuran WHO dengan implementasi yang dilakukan Kementerian Kesehatan.

Di dalam sebuah diskusi daring pada 20 Agustus lalu, Siti Nadia juga menjelaskan prioritas distribusi vaksin sesuai daerah. Kata dia, alasan distribusi jumlah vaksinasi di setiap daerah tidak merata karena ada beberapa pertimbangan. Salah satunya adalah kepadatan penduduk.

Menurut Siti Nadia, wilayah besar seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur bisa mendapatkan distribusi vaksin melimpah karena penduduknya yang banyak. “Jadi secara proporsi, yang memiliki jumlah penduduk banyak seperti Sulawesi Selatan juga, itu mendapatkan vaksinasi dalam proporsi yang lebih tinggi dari yang lainnya. Karena memang harus menurunkan lanjut penularan,” kata dia.

Selain pertimbangan jumlah penduduk yang padat, juga mempertimbangkan tingginya kasus dan mobilitas yang besar di daerah tersebut.

“Ditambah lagi kalau Jawa-Bali, itu adalah penyumbang kasus 70 persen kasus positif. Dan Jawa-Bali mobilitasnya paling tinggi. Mengapa kemudian, untuk daerah yang memang jauh lebih besar, mobilitasnya jauh lebih besar, itu kita alokasikan lebih banyak,” kata dia.

Dengan demikian, pernyataan Siti Nadia tersebut secara tidak langsung mengkonfirmasi banyaknya dugaan bahwa stok vaksinasi selama ini memang terpusat di Pulau Jawa.

Baca juga artikel terkait VAKSINASI COVID-19 atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Adi Renaldi