tirto.id - Stok vaksin sempat kosong di banyak daerah luar Pulau Jawa sejak Juni lalu. Pada saat yang bersamaan, laju vaksinasi untuk para lansia dan masyarakat rentan masih berada di angka yang rendah—semua di bawah 30 persen. Ketimpangan begitu nyata jika melihat fakta bahwa dua dosis vaksinasi untuk petugas publik sudah rampung 100 persen.
Dari berbagai kelompok rentan yang disaring World Health Organization (WHO), pemerintah Indonesia mengecualikan salah satu di antaranya yaitu, kelompok transgender. Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menganggap, Indonesia tak mengadopsi secara kaku kriteria prioritas dari WHO.
"Kami tidak menganggap itu rentan. Ini, kan, tidak harus kita mengikuti semuanya [dari WHO]. WHO hanya sebagai adopsi kebijakan," kata Siti, Senin (23/8/2021).
Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia—atau WHO—sudah menganjurkan negara-negara yang memiliki keterbatasan akses vaksin untuk memprioritaskan beberapa jenis lapisan masyarakat awal-awal injeksi. Yang pertama adalah tenaga kesehatan, kedua adalah lansia, dan yang ketiga adalah masyarakat yang secara sosio-demografi termasuk kelompok rentan.
Yang terakhir termasuk: minoritas etnis, ras, gender, agama, seksual, warga disabilitas, kemiskinan akut, warga tak punya rumah, warga di wilayah kumuh dan padat, pekerja migran upah rendah, pengungsi, hingga mereka yang hidup di tengah konflik.
"Diskriminasi tidak ada hubungannya sama rentan. Memangnya, diskriminasi ada hubungannya dengan rentan?" ujar Siti. Namun jika transgender tergolong miskin, negara baru akan menganggapnya sebagai kelompok rentan.
Sejak awal, Kementerian Kesehatan telah menargetkan total 208.265.720 warga yang diinjeksi vaksin—dengan ragam ketersediaan vaksin yang ada. Menurut Pemerintah, jika 70 persen dari total tersebut sudah divaksin, itu artinya kekebalan kelompok—atau herd immunity—bisa tercapai. Meski belakangan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pesimis. Menurutnya varian Delta tak memungkinkan bagi hadirnya kekebalan kelompok atau herd immunity.
Indonesia butuh sebanyak 426.000.000 dosis vaksin, dan baru menerima sekitar 160.000.000 dosis vaksin—atau sekitar 30 persen. Inilah yang menjadi dalih mengapa sejak Juni lalu sempat ada kekosongan vaksin di banyak daerah, terutama di daerah luar Pulau Jawa.
“Karena kami sudah sampaikan bahwa vaksin ini datangnya bertahap. Setiap minggu kami akan merilis sejumlah vaksin sesuai dengan selesai masa rilisnya,” tuturnya.
Masalah prioritas penerima vaksin ini menjadi ironi saat Pemerintah Indonesia justru memasukkan petugas publik ke dalam target awal. Mereka adalah: wakil rakyat, pejabat negara, pegawai pemerintah, TNI, Polri, Satpol PP, perangkat desa, BUMN, BUMD, dan pemadam kebakaran—orang-orang yang menurut WHO tak perlu masuk target awal.
Dengan vaksinasi petugas publik yang sudah mencapai 100 persen untuk dua dosis, setidaknya total sudah menghabiskan 45 juta dosis vaksin. Padahal, masih banyak kategori masyarakat yang lebih prioritas seperti lansia dan masyarakat rentan—yang saat ini angkanya masih sangat rendah.
Ini belum termasuk bagaimana Pemerintah tidak membedakan data penerima antara masyarakat rentan dan masyarakat umum. Kedua kategori itu dijadikan satu angka, sehingga publik tidak benar-benar bisa membedakan mana yang rentan dan mana yang umum. Itu artinya, penerima vaksin untuk masyarakat rentan lebih rendah lagi dari data yang sudah terpublikasi—itu pun angkanya masih rendah.
Berikut perbincangan lengkap Haris Prabowo, jurnalis Tirto dengan Siti melalui sambungan telepon:
Usai vaksin Pfizer masuk ke Indonesia, bagaimana perkembangan terkini program vaksinasi?
Pfizer sudah didistribusikan saat ini ke Jakarta, Jabodetabek sudah mulai didistribusikan. Kalau Jakarta sudah mau mulai vaksinasi, untuk daerah lainnya mungkin akan diatur oleh Dinas Kesehatan.
Menteri Kesehatan bilang rencananya di bulan Agustus dan September akan masuk vaksin masing-masing 75 juta dosis. Kalau sampai akhir tahun itu target berapa total vaksin yang akan disediakan?
Kalau sampai akhir tahun, setidaknya 400-426 juta dosis itu dikirimkan di akhir tahun secara bertahap. Setiap bulan antara 60-80 juta dosis.
Jadi 400 juta sudah ada pada akhir tahun targetnya?
Iya.
Sejak bulan Juni lalu sempat ada kekosongan vaksin di banyak daerah, terutama di daerah luar Pulau Jawa. Bahkan sampai awal Agustus [terjadi kekosongan vaksin] di Jawa Timur dan Jawa Barat. Kalau dari Kemenkes sendiri menilainya bagaimana? Kenapa ada kekosongan seperti itu?
Karena kami sudah sampaikan bahwa vaksin ini datangnya bertahap. Setiap minggu kami akan merilis sejumlah vaksin sesuai dengan selesai masa rilisnya. Jadi, tentunya daerah dalam hal ini harus cermat dalam melakukan distribusi vaksinnya. Misalnya, dosis satu seperti apa, dosis dua berapa jumlahnya yang akan dialokasikan. Jadi itu perlu dilakukan pengaturan.
Memang tidak bisa dilakukan vaksin sekaligus karena jumlah vaksin itu terbatas. Walaupun misalnya kita datang [vaksin] saat ini jumlahnya 77 juta. Tapi, tidak 77 juta itu semuanya bisa langsung kita gunakan untuk vaksinasi. Karena dia [vaksin] itu ada prosesnya untuk menjadi vaksin jadi.
Termasuk uji kualitas?
Iya. Selain itu, kalau vaksin setengah jadi ada proses menjadi vaksin jadi sampai quality control. Tapi kalau vaksin jadi prosesnya ada pemeriksaan untuk memastikan proses quality control-nya. Baik vaksin jadi maupun vaksin setengah jadi itu ada proses sebelum kami distribusikan. Jadi, tidak bisa serta merta ketika vaksinnya datang langsung bisa kami distribusi.
Jika melihat dari data per hari ini, vaksinasi untuk lansia dan masyarakat rentan ini angkanya masih tergolong rendah. Kalau dibandingkan dengan petugas publik ini sudah hampir 100 persen dan sudah menghabiskan 45 juta dosis untuk tenaga publik saja, apakah memang Kemenkes mengikuti standar WHO mengenai prioritas vaksinasi di masyarakat rentan?
Sudah. Kalau kita berbicara prioritas vaksin, tenaga kesehatan itu yang pertama. Di WHO itu tidak menyebutkan masyarakat rentan definisinya seperti apa. Pertama adalah tenaga kesehatan. Kemudian, yang kedua masyarakat yang memang memiliki resiko besar, yaitu termasuk pemberi layanan publik [tenaga publik]. Itu sudah sesuai.
Dan kalau lansia belum mencapai vaksin, tidak berarti kita tidak melaksanakan lebih dulu vaksinasi untuk masyarakat umum. Karena masyarakat umum juga termasuk masyarakat rentan. Rentan itu definisinya banyak, sebagai rentan karena geospasial atau kondisi tingginya resiko penularan di wilayah tersebut. Itu termasuk masyarakat rentan.
Kemudian, secara status ekonomi, dia juga termasuk masyarakat rentan. Artinya, sejak kita memulai vaksinasi untuk masyarakat, itu sudah mencakup semua. Tetapi, bukan berarti vaksinasi pada lansia tidak kita prioritaskan. Makanya kita selalu mengingatkan [tiap daerah] untuk menyegerakan lansia mendapatkan vaksinasi.
Pemberi pelayanan publik itu termasuk kelompok rentan juga. Karena dia memiliki resiko memberikan pelayanan publik. Jadi, untuk menjaga supaya dia tidak menjadi sumber penularan ke orang lain dan dia tertular dari orang lain. Maka, dia didahulukan mendapat vaksinasi.
Kalau mengacu pada WHO ini adalah petugas publik yang benar-benar sulit untuk berjaga jarak. Misalnya, petugas pemadam kebakaran, polisi, dan pelayanan kota segala macamnya. Tetapi, dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 4638, petugas publik juga termasuk DPR, anggota DPRD, BUMN, dan pejabat negara lainnya. Maksudnya, mungkin sebenarnya mereka tidak terlalu rentan karena bisa WFH..
Siapa bilang? Kan, semua itu pemberi pelayanan publik. Pemberi pelayanan publik itu siapa saja, termasuk mereka [pejabat publik]. Memangnya jurnalis bukan pemberi pelayanan publik?
Ada jurnalis yang bisa WFH, ada yang tidak..
Artinya tetap sama, kan. Pada prinsipnya yang melakukan tugas harus memberikan pelayanan publik itu artinya yang kita masukkan dalam kategori tersebut [tenaga publik].
Kalau kita bicara risiko, tentunya tenaga kesehatan utamanya. Maka dari itu tenaga kesehatan dahulu. Tetapi jika kita berbicara petugas pelayanan publik, artinya mereka yang memberikan pelayanan publik resiko terpaparnya lebih tinggi dibandingkan yang lain.
Kalau dari kategori penerima vaksin, tidak membedakan antara masyarakat rentan dan masyarakat umum. Ini dijadikan satu angka. Ini alasannya bagaimana?
Ya, untuk mempercepat vaksinasi.
Maksudnya, akhirnya publik sulit untuk memantau berapa masyarakat rentan, misalnya disabilitas, transgender, warga miskin. Tentunya agak sulit membedakan, misalnya ada warga biasa yang sebenarnya tidak terlalu rentan..
Kalau disabilitas itu sudah diprioritaskan, kok, untuk mendapatkan vaksinasi. Tinggal bagaimana mempercepat prosesnya. Karena itu harus organisasi khusus. Kami tidak pernah menolak seorang disabilitas mendapatkan vaksinasi. Tapi kalau transgender bukan kelompok rentan. Itu hanya gender.
Tapi di WHO, mereka termasuk rentan?
Kami tidak menganggap itu rentan. Ini, kan, tidak harus kita mengikuti semuanya [dari WHO]. WHO hanya sebagai adopsi kebijakan. Apa bedanya transgender dengan laki-laki dan perempuan? Saya tanya Anda.
Karena banyak transgender hidupnya di wilayah kampung kumuh dan banyak mendapat perlakuan diskriminasi.
Diskriminasi tidak ada hubungannya sama rentan. Memangnya, diskriminasi ada hubungannya dengan rentan?
Kalau di banyak kasus di Indonesia, minoritas etnis dan minoritas agama itu termasuk rentan mendapat pelayanan..
Iya, maka dari itu, transgender tidak termasuk masyarakat rentan.
Jika kita bicara sosial ekonomi, sosial ekonominya ke bawah itu termasuk masyarakat rentan. Itu baru masuk jika ada transgender yang tinggal di wilayah kumuh.
Artinya tidak ada pertimbangan khusus untuk dijadikan satu kategori [masyarakat rentan dan masyarakat umum]?
Tidak ada. Artinya, masyarakat rentan itu dilihat dari daerah sosial ekonominya ke bawah, di DKI Jakarta bahkan sebelum kami memulai vaksinasi kepada masyarakat umum, kami sudah mulai vaksinasi masyarakat DKI yang berada di perumahan kumuh. Itu sudah dilakukan. Jadi, dilihat dari resiko penularan dan laju penularan.
Kita sama-sama tahu bahwa distribusi vaksin ke tiap daerah berbeda, misalnya DKI Jakarta. Apa indikator dari Kemenkes untuk membedakan, misalnya Jakarta dengan Sumatera Utara atau Jakarta dengan Kalimantan Tengah?
Pertama, laju penularan dan tingkat penularan. Kalau kasus Covid-19 di DKI bisa 15.000. Tapi di provinsi lain 15.000 itu bisa untuk satu bulan. Jadi, dia [DKI Jakarta] dilihat dari laju penularan, konfirmasi jumlah kasus yang positif, dan penduduk yang menjadi perhitungan kita.
Jadi, pertama dimulai dari kepadatan penduduk dahulu dan laju penularan, ya?
Iya, terutama laju penularan. Baru nantinya ada kebijakan-kebijakan lain. Tentunya, DKI Jakarta adalah ibu kota negara di mana mobilitasnya paling tinggi. Semua orang dari DKI ini kemana-mana.
Apakah bisa dikatakan kalau vaksinasi ini bukan tindakan preventif? Karena banyak daerah-daerah yang juga harus preventif untuk diberikan vaksin dahulu daripada kena Covid-19 dahulu.
Sudah jelas vaksin ini adalah salah satu upaya preventif. Tapi, distribusi vaksin ini kan yang menentukan. Karena persediaan vaksin tidak sekaligus. Kami harus menentukan prioritasnya seperti apa.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria bilang Jakarta bisa dikatakan sudah hampir mencapai herd immunity. Beberapa peneliti bilang agak cenderung terburu-buru menyebut Jakarta sudah herd immunity. Karena takutnya warganya malah buru-buru bisa mengarah untuk jalan-jalan ke daerah-daerah. Hal itu adalah membahayakan. Bagaimana respon dari Kemenkes?
Kalau bicara kekebalan kelompok itu definisinya adalah mendapatkan vaksinasi dosis secara lengkap. Setelah itu, kita baru lihat indikator DKI Jakarta memenuhi seperti itu atau tidak.
Yang pasti, DKI Jakarta kemarin sempat dihitung oleh tim epidemiologinya, jumlah reproductive number dari Covid-19 itu sudah mendekati angka satu, bahkan sudah ingin mencapai angka satu. Artinya, jika dikatakan itu benar berada di bawah angka satu, laju penularan sudah terkendali.
Artinya tidak berlebihan klaim yang disebutkan oleh Wagub?
Iya. Karena secara perhitungan epidemiologi itu sudah mencapai angka satu reproductive number-nya. Tapi kita harus lihat dahulu, angka reproductive number ini sangat dinamis. Mobilitas sangat mempengaruhi. Jumlah orang yang divaksin itu mencapai 100 persen itu mungkin baru daerah Jakarta.
Tapi, kemudian Jakarta tidak bisa berdiri sendiri, ada kabupaten dan kota sekitarnya dan masyarakat yang melakukan mobilitas. Kalau masyarakat sekitarnya belum mencapai angka 100 persen dari sasaran vaksinasi, maka resiko penularan masih akan sangat mungkin terjadi.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Dieqy Hasbi Widhana