Menuju konten utama

Memikul Pasien Covid-19 ke Peristirahatan Terakhir

Kematian akibat Covid-19 tak mengenal hari libur. Petugas pengurus jenazah memikul kerja ganda. Mereka akrab dengan peristiwa, pilunya kehilangan.

Memikul Pasien Covid-19 ke Peristirahatan Terakhir
Petugas memakamkan jenazah dengan protokol Covid di TPU Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara (7/7/21). Indonesia mengalami kenaikan kasus positif Covid-19 dalam sebulan terakhir dengan masuknya varian Delta. (tirto/Bhagavad Sambadha)

tirto.id - “Ini [jenazah] yang ke-58.”

Samar terdengar perkataan salah satu dari para petugas penggali makam di TPU Rorotan, Jakarta Utara. Saya mendekati mereka. Salah satu dari mereka adalah Sugiyarto. Saat waktu menujukkan pukul tujuh malam, ia masih sibuk menggali tanah dengan cangkul. Biasanya ia sudah rampung bekerja pukul tiga sore. Belakangan berbeda, sejak kasus Covid-19 beruntun memuncak, jam kerjanya memuai.

“Datang lagi, tuh,” celetuk teman Sugiyarto, sembari menunjuk ke subjek yang dimaksud.

Sugiyarto lekas melihatnya. Dua mobil ambulans berwarna biru dan putih datang, mengisi antrean yang sudah lebih dulu mengular.

“Yang datang sebelum Maghrib tadi juga belum selesai [dikebumikan] kayaknya, ya?” timpal Sugiyarto. Tangannya lalu menyeka keringat dan membenahi masker yang terlihat lusuh.

“Ya sudah, ayo ini selesaikan dulu,” sahut temannya, meminta Sugiyarto segera merampungkan pekerjaan membuat ceruk untuk mengubur jenazah.

Sepuluh menit berselang, di sela-sela pekerjaan itu, datang seorang petugas Satpol PP. Dia meminta Sugiyarto dan dua orang temannya pindah area.

“Butuh bantuan di sana,” kalimat singkat tersebut terdengar beradu dengan bunyi sirine dan mesin eskavator yang terus meratakan tanah.

Tanpa pikir panjang, Sugiyarto bergegas merapikan perabotannya, memakai sandal, dan berjalan dengan gerak lebih cepat. Masker lusuhnya melorot sampai bawah dagu, terlihat keringatnya yang belum sempat diseka.

Sesampainya di area yang dimaksud, Sugiyarto melihat dua petugas ambulans mengenakan APD lengkap, tengah duduk bersandar di samping ambulans. Salah satunya, menengadahkan kepala, seolah memberi pertanda bahwa ia ingin menghirup udara segar barang sebentar saja.

“Ini ada lima lagi. Jadi, tolong sedikit dipercepat, ya,” pinta petugas ambulans itu kepada Sugiyarto.

Sugiyarto kembali mengayunkan paculnya. Tak sampai setengah jam, satu liang kubur sudah siap ditempati.

Tiga orang lalu menurunkan peti jenazah yang dilapisi plastik dari mobil ambulans.

“Awas ini agak berat. Jangan cepat-cepat. Turunin pelan-pelan aja,” kata seorang petugas.

“Oke, oke, angkat dikit, tahan bentar,” petugas lainnya memberi perintah.

Peti telah dikeluarkan dari ambulans. Tiga petugas meletakkannya di atas lapisan kayu yang dipasang tepat di atas liang kubur. Empat buah tali lantas diikatkan di beberapa titik di badan peti. Setelah dirasa kokoh, Sugiyarto dan petugas lainnya diminta menarik kayu yang jadi sandaran, sedangkan petugas dengan APD lengkap menahan tali yang mengikat peti.

Usai kayu disingkirkan, tali diulur. Perlahan peti masuk ke liang lahat.

“Keluarga ada?” tanya petugas.

“Ada, Pak, tapi di sana,” jawab seorang petugas lainnya sembari menunjuk lokasi yang dimaksud.

“Ya, baik kalau begitu. Langsung saja, ya,” petugas tadi menjawab.

Sugiyarto mengeruk tanah, melemparkannya pelan-pelan ke liang tersebut. Dengan cepat, makam sudah terbentuk, lengkap dengan informasi berupa identitas serta tanggal berpulang mendiang yang tertulis: 9 Juli 2021.

Tak ada taburan bunga dan lantunan doa yang berkumandang. Semua terjadi dengan begitu cepat, mengikuti alokasi waktu yang telah ditetapkan. Agar antrean tak semakin panjang.

Di titik ini, Sugiyarto hanya bisa memandang penuh heran, sekaligus remuk tak karuan. Kematian seperti menjadi banal: melenyapkan kesedihan dan membuatnya serupa angka-angka yang tercatat belaka.

Namun Sugiyarto tak bisa berlama-lama bergumul dalam pikirannya. Tangannya kembali mengangkat cakul, kembali melanjutkan perkerjaan yang ia lakoni sejak pukul delapan pagi. Dia berpindah ke titik lain yang siap digali.

Jumlah kematian akibat Covid-19 yang terus menanjak, dari hari ke hari, membikin Pemprov DKI Jakarta menyiapkan lahan pemakaman baru. Satu area luas di Rorotan, daerah di antara Bekasi dan Jakarta Utara, dipilih dan diharapkan mampu menampung lebih dari 15 ribu petak makam. TPU Rorotan, melengkapi daftar area pemakaman khusus Covid-19 di Jakarta, selain Bambu Apus, Srengseng Sawah, Kramat Tiga, sampai Pondok Gede.

Sudah jam delapan lebih. Sugiyarto rampung dengan pekerjaannya. Dia duduk bersila di atas tanah yang tak rata serta penuh debu dan bebatuan. Satu batang rokok dikeluarkannya dari saku bajunya yang sudah berganti warna, dari semula hijau muda menjadi pekat dilumuri noda tanah yang kecoklatan.

Dia menyulut rokok. Menghisapnya dalam-dalam. Lalu ia hembuskan perlahan sehingga membentuk kepulan asap yang begitu padat. Dia terdiam sejenak sembari memandang jauh ke area lahan yang sebelumnya lapang, sekarang menjadi penuh petak makam.

“Saya enggak mengira kalau akhirnya sampai jadi kayak begini,” katanya pelan.

Penjemput dan Pengantar ke Peristirahatan Terakhir

Total 75 kilometer jarak yang ditempuh Ariyanto hari itu. Dia bolak-balik memacu mobilnya dari beberapa titik. Mulai dari Bekasi, Kramat Jati, hingga Jatinegara untuk kemudian dibawa ke tujuan yang sama: TPU Rorotan.

Ini kali keempat, dalam enam hari belakangan, ia bekerja di lapangan. Tugasnya: menyediakan fasilitas pengantaran bagi mereka yang kehilangan anggota keluarganya sebab Covid-19. Tempatnya bekerja, sebuah organisasi amal yang berkantor di Ciracas, Jakarta Timur.

Ariyanto tak pernah menyangka pandemi bergerak seganas seperti sekarang. Dia mengaku, ini membuat kondisi fisik dan mentalnya terguncang. Dia akrab dengan peristiwa, bagaimana pilunya orang-orang kehilangan kerabatnya.

“Saya, jujur,” kata Ariyanto kepada saya pekan lalu. “kadang enggak kuat.”

Dari balik kemudinya, Ariyanto turut merasakan kehilangan dan kegetiran yang teramat. Satu waktu, seorang anak menangis dengan luar biasa sebab ibunya gagal diselamatkan. Di waktu lainnya, seorang suami meluapkan amarahnya kepada rumah sakit karena istrinya meninggal dunia.

“Hati sangat enggak enak ngerasainnya. Saya sampai mikir, gimana kalau yang dialami mereka juga menimpa saya. Menimpa keluarga saya. Istri saya. Anak saya. Atau orang tua saya?” tuturnya.

Maka, dalam beberapa kesempatan, tangis pun turut pecah keluar dari mata Ariyanto. Yang bisa ia lakukan adalah memendamnya sendiri, sebelum akhirnya ia curahkan kepada istri tercinta lewat sambungan telepon.

“Usai bertugas, saya sempatkan telepon orang rumah. Saya cerita ke istri soal kondisi hari ini, selain juga tanya kabar dia sama anak gimana. Ini cukup membantu saya setelah hari-hari berat,” jelasnya.

Akan tetapi, ia tak bisa lebih lama menggenggam telepon dan bertukar sapa dengan sang istri. Tiba-tiba pesan masuk ke WhatsApp-nya, ia mendapatkan perintah untuk bergeser tempat.

“Saya harus ke Jatiwaringin,” ia berkata pendek.

“Ada yang meninggal. Semoga keburu dan enggak terlalu malam,” ia melanjutkan seraya melihat jam tangannya. Pukul delapan kurang seperempat.

Ariyanto sempat menaruh harap bahwa pandemi bakal selesai pada akhir tahun 2020. Orang-orang bisa kembali melakukan kegiatannya seperti biasa, tanpa dirundung ketakutan terpapar virus, atau yang lebih parah: kehilangan orang tercintanya.

Namun demikian, dari pesan terakhir yang masuk ke gawainya, ia dibuat sadar: pandemi memburuk, jalan kesembuhan masih panjang untuk dilewati, dan berita kehilangan senantiasa mengiringinya.

Baca juga artikel terkait UPDATE COVID-19 atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Faisal Irfani
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Dieqy Hasbi Widhana