tirto.id - Sulistyawati terduduk lemas di ujung salah satu lorong RSUD Koja, Jakarta Utara, pekan lalu. Tatapannya menunduk ke layar gawai. Dia memandangi foto bersama ayahnya saat liburan di kawasan Puncak, Bogor, akhir 2019 lalu. Keduanya tersenyum lebar. Dia mengenang, saat itu, hanya ada kebahagiaan. Tetapi itu semua kini tinggal kenangan. Covid-19 merusak segalanya.
Nyawa ayah Sulistyawati gagal diselamatkan. Saat kabar itu pertama kali tiba, tangis pecah. Penyesalan dan amarah, berkumpul menjadi satu. Sulistyawati hanya bisa memandang foto terakhir itu sembari menunggu jenazah ayahnya bersiap dimandikan.
“Andai saja bisa ditangani lebih cepat,” kata Sulistyawati. Nada suaranya bergetar, “mungkin nasib ayah bisa diselamatkan.”
Awal Juli lalu, ayah Sulistyawati divonis terjangkit Covid-19. Sulistyawati panik. Sebab ayahnya memiliki komorbid—penyakit penyerta—berupa darah tinggi dan diabetes.
Langkah pengobatan pun bergegas diambil, menghindarkan ayahnya dari kejadian yang tidak diinginkan.
Ternyata jalannya tak mudah.
Sulistyawati bersama ketiga adiknya pontang-panting mencari fasilitas kesehatan di berbagai rumah sakit (RS). Di Bekasi, sekitar Sulistyawati tinggal, tak ada hasil. Bergeser ke Jakarta, sebelah Timur dan Selatan, setali tiga uang: rumah sakit penuh.
“Ada, mungkin, empat sampai lima RS yang kami datangi maupun hubungi, tapi enggak ada yang bisa [menyediakan kamar],” keluh Sulistyawati, yang sehari-hari bekerja di perusahaan telekomunikasi ini.
Situasi sempat berubah kala akhirnya mereka menemukan rumah sakit yang masih menyediakan ruang dan akses perawatan, yakni di RS Umum Daerah Koja, sekitar 16 kilometer dari tempat tinggal ayahnya. Sesampainya di sana, kondisi ayahnya semakin memburuk. Saturasi oksigennya anjlok. Meski begitu, Sulistyawati tak mau menyerah dan memperkuat harapan.
“Ayah pasti baik-baik saja,” katanya pelan, mengingat apa yang beberapa hari lalu melintas dalam pikirannya.
Tiga hari dirawat, nasib berkata lain.
Penyesalan berlipat ganda karena sudah lewat dua kali Hari Raya Idulfitri, ia dan ayahnya hanya bisa bertukar kabar melalui video call. Padahal jarak rumah Sulistyawati dengan ayahnya lebih dekat daripada ke RS Umum Daerah Koja.
“Aku sama keluarga memutuskan untuk nahan diri buat enggak ketemu ayah dulu. Kami mengantisipasi. Kami enggak ingin kena virus,” tuturnya.
Antisipasi Sulistyawati agar virus tak singgah ke lingkaran keluarganya tak kelewat mempan. Hari-hari yang ia lalu, bagi Sulistyawati sekarang, tak ubahnya mimpi buruk tanpa ujung.
Susahnya Mengakses Pelayanan Rumah Sakit
Nyaris wajah semua pengunjung di RS Umum Daerah Koja tampak tegang. Di depan ruang isolasi, bertandakan papan pengumuman bertuliskan “zona merah” serta “selain petugas dilarang masuk”, mereka menanti kabar baik dari orang-orang terdekat, yang tengah berjuang melawan serangan virus Covid-19.
Hendra termasuk dari bagian orang-orang itu. Sudah empat hari berturut-turut ia berada di RS. Lelah tak bisa ditampik dari wajahnya. Kantong matanya membesar lantaran jam tidurnya berantakan.
“Kerjaan juga udah saya tinggalin, biar diurus teman. Sekarang cuma mikirin gimana bini sembuh. Itu aja,” ujar Hendra, pekan lalu.
Sebelum istrinya dirawat inap, Hendra bersusah payah mencari fasilitas kesehatan ke berbagai penjuru Jakarta. Dia dikejar waktu dan terhimpit keadaan kesehatan istri yang berangsur menurun. Satu rumah sakit didatangi, penuh. Menuju yang kedua, kembali penuh. Begitu seterusnya hingga, menurut penuturan Hendra, enam rumah sakit.
“Sampai akhirnya setelah tujuh rumah sakit, bini baru bisa dapat perawatan yang memadai,” tuturnya.
Sebagai gambaran krisis layanan kesehatan ini, berdasarkan data SIRANAP 3.0 per 14 Juli kemarin saja, ada 39 orang yang mengantre untuk mendapatkan ruang IGD khusus Covid-19 di RS Umum Daerah Koja.
“Lega banget rasanya,” lanjut Hendra. “Saya sampai nangis bilang, ‘Syukur, ya Allah!”
Istri Hendra merupakan korban PHK saat pandemi Covid-19. Sebelum dirawat di RS, kegiatannya membuka warung kecil di rumah. Sedangkan Hendra, bekerja sebagai sopir di perusahaan kargo yang berlokasi di Jakarta Barat.
“Pokoknya cari uang sebisa mungkin, apa pun dilakukan, supaya bisa bertahan. Meski kalau dipikir-pikir susah juga, ya, kondisi sekarang ini,” jelas lelaki 45 tahun ini.
Hendra tak sendirian. Di luar sana, kejadian serupa muncul bergantian, menandakan betapa mengerikannya virus ini menerjang kehidupan masyarakat. Di Surabaya, misalnya, seorang pasien meninggal setelah gagal memperoleh perawatan intensif di rumah sakit, setelah lebih dari dua kali mencari pertolongan.
Di Jawa Barat, kasus serupa juga terjadi. Seorang pasien lanjut usia terkonfirmasi positif Covid-19 di Garut meninggal dunia lantaran kesulitan mendapatkan pelayanan medis akibat penuhnya RS.
Berdasarkan data LaporCovid-19, sepanjang Juni hingga awal Juni terdapat 265 pasien Covid-19 meninggal dunia di luar rumah sakit. Mereka tak terselamatkan nyawanya saat menjalani isolasi mandiri, kala mencari fasilitas kesehatan, atau ketika menunggu antrean Instalasi Gawat Darurat (IGD).
Lebih rinci lagi, 265 kematian tersebut tersebar di 47 kota di 10 provinsi. Di Jawa Barat terdapat 97 kematian di luar rumah sakit, di Yogyakarta terdapat 63 kematian di luar rumah sakit, di Banten terdapat 40 kematian, Jawa Tengah 22 kematian, Jawa Timur 18 kematian, DKI Jakarta 17 kematian, Riau 5 kematian, Lampung 2 kematian, Kepulauan Riau dan NTT masing-masing ada 1 kematian.
Kondisi di atas berbanding lurus dengan kenyataan di rumah sakit itu sendiri. Data bed occupancy rate (BOR), atau tingkat keterisian tempat tidur, RS rujukan COVID-19, bisa dikata, makin kritis.
Berdasarkan rekapitulasi Kementerian Kesehatan (PDF) per 27 Juni 2021 terdapat enam provinsi yang memilliki BOR di atas 80 persen yakni DKI Jakarta (93 persen), Banten (91 persen), Jawa Barat (89 persen), Jawa Tengah (87 persen), dan Yogyakarta (86 persen). Jika diperdalam lagi, ada kurang lebih 37 kabupaten/kota yang memiliki BOR di atas 90 persen.
Penuhnya RS tak bisa dilepaskan dari jumlah kasus positif yang terus bertambah—tak terkendali—seiring bergantinya hari. Angkanya mampu menembus puluhan ribu serta memecahkan rekor sebelumnya, dimulai dari akhir Juni kemarin dan bertahan hingga hari ini.
Soal kesiapan fasilitas kesehatan (faskes) ini sudah menjadi bahan perbincangan sejak tahun lalu, tepatnya kala penambahan kasus belum seganas sekarang. Banyak pakar dan dokter memperingatkan bahwa faskes Indonesia akan kolaps bila tidak ada langkah mitigasi yang tepat guna memutus mata rantai penyebaran virus.
Situasi tersebut, ambil contoh, dapat dilihat dari rasio tempat tidur di rumah sakit. Terdapat delapan provinsi—berdasarkan data 2018—yang rasio tempat tidur rumah sakit-nya tidak memenuhi standar WHO—1 dibanding 1.000. Delapan provinsi itu antara lain Riau (0,98), Kalimantan Tengah (0,91), Sulawesi Barat (0,91), Lampung (0,91), Banten (0,87), Jawa Barat (0,85), NTT (0,81), dan NTB (0,71).
Artinya, dari setiap 1.000 penduduk di provinsi tersebut tak ada seorang pun yang bisa mendapat akses tempat tidur rumah sakit.
Secara umum, merujuk laporan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) per 5 April 2020, untuk rasio ketersediaan ranjang rumah sakit, Indonesia menempati peringkat 41 dari total 42 negara. Peringkat Indonesia hanya sedikit lebih baik dari India yang menempati posisi buntut dengan rasio sebesar 0,5.
“Situasi Seperti Perang. Kami Kewalahan”
Jika data-data di atas tak cukup memberi gambaran gentingnya keadaan faskes kita menghadapi gelombang pandemi, cerita dari Rendy, salah satu tenaga kesehatan di rumah sakit rujukan Covid-19 di area Jakarta Pusat, bisa jadi lampu pengingat. Dia mengaku kewalahan menangani pasien Covid-19 yang masuk tiap hari.
Rata-rata, di RS tempat ia bertugas, penambahan pasien Covid-19 bisa menyentuh sepuluh orang, mulai dari awal Juli silam. Kondisinya nyaris serupa: saturasi oksigen anjlok, disertai komorbid.
“Situasi sekarang seperti perang. Tiap hari pasti ada [pasien] yang masuk. Kami, jujur, kewalahan,” tegas Rendy.
Senada dengan Rendy, Tia, tenaga kesehatan di rumah sakit rujukan Covid-19 di Jakarta Utara, mengungkapkan, kondisi saat ini “sudah chaos”. Seminggu terakhir, katanya, fisik dan mentalnya terkuras untuk memusatkan perhatian pada pasien Covid-19. Banyak dari pasien yang ia rawat kemudian menghadapi jalan tragis berupa kematian.
“Selalu ada kabar kematian setiap hari. Ini yang menyakitkan,” ungkapnya pelan.
Meski begitu, pemerintah malah sibuk mencari dalih untuk mengaburkan kenyataan pahit itu. Awal Juli kemarin, pemerintah, diwakili Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik, Siti Nadia Tarmizi mengatakan, tak sepakat dengan anggapan bahwa faskes sudah kolaps.
“Kolaps tidak, tapi overcapacity itu iya. Karena jumlah pasien yang sangat banyak dan dalam waktu bersamaan,” jelasnya.
Sementara itu, di kesempatan yang tak jauh berbeda, Koordinator PPKM Darurat, yang juga Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan, pandemi Covid-19 di Indonesia sangat terkendali. Penilaian tersebut didasarkan pada sejumlah program, mulai dari PPKM Darurat, vaksinasi, hingga penyediaan kebutuhan pasien, yang “on the track”.
“Saya melihat 4 hari, 5 hari ke depan kita situasinya akan membaik,” tegasnya. “Jadi, kalau ada yang berbicara bahwa tidak terkendali keadaannya, sangat-sangat terkendali. Jadi yang bicara tidak terkendali itu bisa datang ke saya nanti saya tunjukin ke mukanya bahwa kita terkendali,” tambahnya.
Sulistyawati yang ayahnya meninggal setelah sulit mendapatkan akses rumah sakit, menimpali pernyataan Luhut.
“Terkendali dari mana sekarang? Banyak orang mati karena enggak dapat penanganan karena rumah sakit penuh. Ayah saya juga mati. Di mana terkendalinya?” tanya Sulistyawati geram.
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Dieqy Hasbi Widhana