tirto.id - Berharap dapat suntikan vaksin dosis pertama, Renata datang ke Gedung Pandan Sari, di daerah Kandangan, Surabaya, Jawa Timur, 28 Juli lalu. Lokasi gedung itu tak jauh dari kontrakannya. Harapan itu musnah. Transpuan 36 tahun itu tak kebagian jatah vaksin karena keterbatasan stok.
“Sebenarnya, aku juga pengen sekali divaksin,” katanya saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (24/8/2021).
Ia tak putus asa. Dua hari setelahnya, 30 Juli, ia datang ke Lapangan Thor, Wonokromo—sekitar 15 kilometer dari kontrakannya. Berharap pada hal yang sama, tapi juga mendapat hal yang sama: stok vaksinasi habis.
Bagi Renata, di hari-hari seperti ini, disuntik vaksin bak sebuah keharusan. Banyak fasilitas umum di kota yang mewajibkan pengunjung untuk divaksin terlebih dahulu. Untuk seorang transpuan seperti dirinya, yang rentan mendapat stigma dan perlakuan diskriminatif, mencari celah aman dengan divaksin menjadi sebuah solusi alternatif.
Saking penginnya untuk divaksin, Renata sampai harus dua kali mengurus surat domisili ke RT dan RW. Surat pertama yang diurus pada Juni lalu sempat hilang. Akhirnya ia urus lagi pada 5 Agustus lalu. Ia paham bahwa surat domisili itu penting bagi dirinya sebagai seorang perantau, terutama ketika agenda vaksinasi massal di Surabaya lebih mengutamakan warga dengan KTP berdomisili lokal.
“Saya urus, biar ketahuan saya benar-benar tinggal di Surabaya,” kata Renata, yang tinggal di Surabaya selama 15 tahun, merantau dari kampungnya di Lamongan.
Setiap ada pendaftaran vaksinasi lewat pranala atau kode batang, Renata selalu coba mengakses, meski - lagi-lagi - jatah vaksin selalu habis. Pada 16 Agustus, Renata nekat datang ke RSPAL Dr. Ramelan, Surabaya, karena ada kabar vaksinasi massal—jaraknya 18 kilometer dari kontrakannya. Ia kembali tak mendapat jatah vaksin. Belum patah semangat, dari sana Renata lanjut menuju lokasi vaksinasi massal di Gedung Kencana, di daerah Bubutan, Surabaya.
Tak hanya itu, ia juga sempat datang ke RS TNI AU Soemitro, Wonokromo, Surabaya—yang jaraknya 16 kilometer dari kontrakan. Hasilnya sama saja: semua stok ludes sekejap. Itu artinya, sudah lima kali Renata gagal di lima tempat berbeda.
“Alasan stok selalu habis, kuota habis. Setiap kali vaksinasi massal dibatasi kuota. Terus yang diutamakan kan warga ber-KTP Surabaya dulu. Habis stoknya di situ,” kata Renata.
Akhirnya, Renata baru mendapat dosis pertama AstraZeneca pada 24 Agustus siang di Gedung Pandan Sari. Suntikan itu pun ia dapat dengan sedikit “memaksa”, karena kebetulan salah seorang vaksinator adalah temannya sendiri. Pasalnya, ia tak mendapat undangan vaksinasi dari RT dan RW setempat, di saat warga lain dapat undangan itu.
“Di depan gedung, saya hubungi teman saya. Enggak pakai daftar, langsung masuk. Enggak pakai antre, langsung disuntik,” tambahnya.
Renata paham apa yang dirinya dilakukan belum tentu bisa dibenarkan. Namun langkah itu harus ditempuh, mau tidak mau, agar dirinya segera divaksin.
“Vaksin harusnya menyeluruh ke semua warga. Jangan ada kuota terbatas gini,” kata dia. “Pemilu, masa kampanye, coblosan, ada undangan. Vaksinasi kok enggak ada undangan seperti itu? Kenapa kita yang harus nyari? Kenapa kita harus usaha sendiri, sementara pas Pemilu kita seperti diwajibkan datang? Ketika sudah menjabat, kita transpuan seperti terlupakan.”
Kesadaran Vaksinasi Tinggi Namun Tak Difasilitasi
Ketika para pejabat mengaku telah mendapat booster dosis ketiga, yang tak sesuai peruntukannya sebab hanya tenaga kesehatan yang menjadi prioritas booster, tak sedikit warga yang masih berjuang mengais dosis vaksin.
Dalam catatan yang dihimpun oleh Persatuan Waria Kota Surabaya (Perwakos), dari 373 orang transpuan yang tercatat, jumlah yang divaksin tak sampai 20 orang—baik yang ber-KTP Surabaya maupun yang bukan. Angka itu tentu belum mewakili para transpuan yang tak tergabung di suatu organisasi, yang tentu jauh lebih tinggi.
Koordinator Lapangan Perwakos, Feby Damayanti, membenarkan pernyataan Renata. Pasalnya, banyak akses layanan umum saat ini yang membutuhkan vaksinasi terlebih dahulu.
Ini membuat antusiasme warga terhadap vaksin meninggi, yang seharusnya direspon dengan baik oleh pemerintah. Sayangnya kenyataan di lapangan berbanding terbalik. Sikut-sikutan mendapat vaksin terjadi di banyak daerah, sementara informasi masih minim.
Feby menyayangkan selama ini pemerintah sangat minim mengkampanyekan informasi terkait COVID-19 di kantong-kantong komunitas LGBTQ. Ia bercerita, banyak transpuan yang berada di bawah naungan Perwakos tidak memiliki literasi media yang baik, sehingga mudah terpapar disinformasi mengenai COVID-19. Sepanjang Juni-Lalu, banyak transpuan yang mengalami sakit jangka panjang mulai dari tiga hari sampai tiga minggu.
Namun, karena tak memiliki pengetahuan yang komprehensif, juga karena takut didiskriminasi, mereka enggan melapor ke Satgas COVID-19 atau memeriksakan diri ke rumah sakit. Sehingga hanya mengandalkan obat-obatan dari warung.
“Dengan tambahan-tambahan berita yang, 'nanti kalo kamu periksa maka akan dicovidkan'. Jadi, karena kurang pemahaman pengetahuan juga, mereka mendiamkan diri ketika sakit dan hanya mengonsumsi obat-obat yang dijual di warung,” kata Feby.
Pemerintah Gagap Menerjemahkan Definisi Rentan
Dari target total vaksinasi yang lebih dari 200 juta penduduk, hanya 13,4 persen—atau 18.996.660 - masyarakat umum dan rentan yang telah divaksin dosis pertama, dan baru 7.951.095 warga yang divaksin dosis kedua—atau hanya 5,6 persen.
Indonesia termasuk gagap menerjemahkan definisi masyarakat rentan tersebut dan gagal memprioritaskan. Baru pada pertengahan Agustus ini misalnya, pemerintah mengatakan akan memprioritaskan kelompok disabilitas. Dalam siaran persnya, Kementerian Kesehatan mengatakan ada 225.000 disabilitas menjadi target vaksinasi yang diharapkan selesai dilaksanakan pada bulan Oktober. Ironisnya, kelompok disabilitas justru masuk dalam sasaran tahap 3 masyarakat rentan. Total ada 562.242 penyandang disabilitas yang menjadi sasaran vaksinasi.
Padahal, WHO mengimbau agar negara memprioritaskan warga berdasarkan kelompok populasi, bukan berdasarkan risiko penularan di suatu lokasi (geografi). WHO juga sudah menganjurkan agar negara-negara yang memiliki keterbatasan akses vaksin untuk memprioritaskan beberapa jenis lapisan masyarakat. Yang pertama adalah tenaga kesehatan, kedua adalah lansia, dan yang ketiga adalah masyarakat yang secara sosio-demografi termasuk kelompok rentan.
Yang terakhir termasuk: minoritas etnis, ras, gender, agama, seksual, warga disabilitas, kemiskinan akut, warga tak punya rumah, warga di wilayah kumuh dan padat, pekerja migran upah rendah, pengungsi, hingga mereka yang hidup di tengah konflik.
Itu artinya, Renata dan kawan-kawan sesama transpuan dan komunitas LGBTQ juga termasuk ke dalam kelompok ini. Di banyak kasus, mereka masih sulit mendapat pekerjaan, akses layanan publik, hingga cenderung didiskriminasi dalam layanan vaksin.
Renata bisa jadi memang tidak paham jika stok vaksinasi di Indonesia terbatas, apalagi mengingat Indonesia bukan produsen vaksin. Namun, seharusnya Renata dan teman-teman sesama transpuan di Indonesia bisa mendapat prioritas vaksin jika Pemerintah mau ikuti anjuran WHO.
Nyatanya Kementerian Kesehatan punya skenarionya sendiri. Juru Bicara Program Vaksinasi Covid-19 Indonesia, Siti Nadia Tarmizi, menilai kelompok transgender dan LGBTQ tidak masuk ke kategori kelompok masyarakat rentan.
Menurut dia, tak semua anjuran WHO harus diikuti.
“Apa bedanya transgender dengan laki-laki dan perempuan?” kata dia dalam wawancara khusus dengan reporter Tirto, Senin (23/8/2021). “Transgender tidak termasuk masyarakat rentan.”
Padahal di banyak kasus, mereka adalah kelompok masyarakat yang kerap mendapat diskriminasi fasilitas akses yang disediakan oleh negara. Apalagi tak sedikit juga yang hidup dalam ekonomi rendah dan hidup di wilayah kumuh.
“Diskriminasi apa hubungannya dengan kerentanan?” tambahnya. “Beda jika kita bicara sosial ekonomi, sosial ekonomi ke bawah itu termasuk masyarakat rentan. Itu baru masuk jika ada transgender yang tinggal di wilayah kumuh.”
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, mengkritik keras pernyataan tersebut. Kata dia, komunitas LGBTQ adalah kelompok minoritas yang seharusnya masuk masyarakat rentan.
“Padahal konteks Indonesia, transpuan ini masuk kategori rentan. Mereka pasti lebih lambat mendapatkan vaksin, karena baru-baru ini saja vaksin tidak harus ada KTP,” kata dia kepada reporter Tirto, Selasa (24/8/2021). “Dan transpuan di Indonesia dapat diskriminasi panjang dalam layanan publik.”
Menjadi sangat timpang ketika berbicara para anggota DPR, pejabat negara, hingga petinggi-petinggi BUMN—yang notabene tidak termasuk rentan—malah sudah selesai divaksin 100 persen, kata Asfinawati.
“Ini jelas diskriminasi. Diskriminasi itu termasuk tidak memberikan afirmasi kebijakan,” katanya.
Mencari Definisi “Warga Rentan”
Inisiator LaporCovid-19, Irma Hidayana, bilang acuan WHO mengenai prioritas vaksin untuk yang paling rentan adalah mereka yang paling mudah terinfeksi Covid-19. Yang utama adalah tenaga kesehatan, dan yang berikutnya adalah orang yang memiliki komorbid dan para lansia.
Pasalnya, mereka adalah orang yang memiliki ketahanan tubuh yang rendah dan keadaannya bisa memburuk jika terinfeksi Covid-19. Irma mengaku heran jika angka vaksinasi untuk lansia masih rendah jauh saat ini.
“Makanya mereka perlu dicari untuk dikendalikan komorbidnya, terus disuntik. Lansia mudah ditemui, enggak bisa bohong, dan datanya ada di Pemerintah. Melalui Kartu Keluarga, Dukcapil, setiap kelurahan punya data itu, bisa diverifikasi lagi RT dan RW,” kata dia, Selasa (24/8/2021).
Setelah itu, baru memvaksin kelompok masyarakat yang masuk wilayah rentan bersamaan dengan petugas publik. Irma menyayangkan bagaimana vaksinasi petugas publik justru ‘diselundupi’ oleh pekerja seni, selebritas, pedagang, hingga wartawan. Padahal, menurutnya, banyak dari masyarakat adat atau transpuan yang memiliki komorbid dan perlu diprioritaskan.
Irma mengatakan, jika Indonesia ingin keluar dari gelombang pandemi, vaksinasi harus dilakukan dengan cara yang tepat, salah satunya dengan menyuntik orang yang tepat—mereka yang rentan terinfeksi Covid-19.
“Masalahnya, sekarang semua terlanjur dicampur aduk. Yang enggak rentan malah dapat privilese. Ada jatah untuk vaksin Gotong Royong. Sehingga yang seharusnya menyasar ke masyarakat adat, lansia, warga di kampung kumuh, akses vaksinnya belum ada,” kata dia.
“Pemerintah, DPR, TNI, Polri, Ormas sudah dapat boosting [dosis ketiga Moderna]. Termasuk menteri dan pekerja seni, apa urgensinya? Mereka sehat,” tambahnya. “Padahal, kalau kita menyuntik jatah vaksinasi sesuai prioritas kerentanan, harusnya kita bisa selamatkan ribuan nyawa.”
Menanggapi ucapan Nadia bahwa Indonesia tak mesti ikuti anjuran WHO, Irma tak mempermasalahkan. Kata dia, Indonesia boleh tak ikuti anjuran WHO, asal mendistribusikan vaksin secara benar, setara, dan bisa diakses semua orang, terutama kelompok masyarakat yang rentan terinfeksi.
“Keadilan sosial penting bagi vaksinasi. Itu artinya terjadi pelanggaran hak atas kesehatan jika ada yang meninggal di daerah rentan dan memiliki komorbid hanya karena belum mendapat jatah vaksin,” tuturnya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Adi Renaldi