tirto.id - Anggaran belanja Kementerian Kesehatan (Kemenkes) disunat menyusul instruksi efisiensi anggaran kementerian/lembaga (K/L) yang diteken Presiden Prabowo Subianto. Anggaran Kemenkes yang dipangkas mencapai Rp19,6 triliun dari total belanja Rp105,6 triliun yang dialokasikan pada 2025.
Efisiensi anggaran dilakukan sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD yang terbit bulan lalu.
Seturut Inpres Nomor 1/2025, terdapat 16 pos pengeluaran yang dipangkas dengan total mencapai Rp306,6 triliun. Itu meliputi efisiensi Rp256,1 triliun belanja kementerian/lembaga dan Rp50,5 triliun untuk transfer ke daerah (DAK).
Kemenkes merupakan salah satu K/L yang terkena perampingan. Namun, ada pula sejumlah K/L yang tidak terdampak efisiensi anggaran, di antaranya Kementerian Pertahanan, Polri, Mahkamah Agung, Kejaksaan, Badan Pemeriksa Keuangan, BNN, Badan Pengawasan Keuangan, hingga Bendahara Umum Negara.
Keputusan pemerintah memangkas anggaran di sektor kesehatan lantas memunculkan kekhawatiran. Terlebih, masyarakat takut hal itu akan turut memengaruhi layanan kesehatan esensial. Oleh karena itu, sebagian kalangan mendesak agar efisiensi anggaran belanja Kemenkes dikonsepkan dengan matang agar tujuan perampingan di pos nonesensial berjalan efektif.
Peneliti Global Health Security dari Griffith University, Dicky Budiman, menilai bahwa perampingan anggaran idealnya tidak menyasar dua sektor penting, yakni kesehatan dan pendidikan. Pasalnya, rekomendasi World Health Organization (WHO) terhadap belanja pengeluaran kesehatan masyarakat adalah sebesar 5 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Namun, kata Dicky, Indonesia masih belum mencapai proporsi tersebut untuk belanja kesehatan.
Seturut data Bank Dunia, persentase pengeluaran kesehatan masyarakat Indonesia terhadap PDB meningkat dari 2,6 persen pada 2014 menjadi 3,2 persen pada 2022. Meski begitu, persentase tersebut masih lebih rendah ketimbang rata-rata negara berpenghasilan rendah yang sebesar 4,9 persen.
Dan lagi, UU Omnibus Law Kesehatan sudah menghapus mandatory spending 5 persen untuk sektor kesehatan.
“Padahal, bicara kesehatan adalah sektor investasi sumber daya manusia terbesar ke depan. Apalagi, jika dikaitkan dengan [cita-cita] Indonesia Emas 2045. Kan ini bicara ibu, calon ibu, dan anak generasi mendatang,” ucap Dicky kepada wartawan Tirto, Jumat (7/1/2025).
Nasib Program Kemenkes
Dicky memahami bahwa efisiensi anggaran K/L harus diambil sebagai respons keterbatasan anggaran pemerintah. Namun, kebijakan ini sebaiknya tidak lantas mengorbankan hak dan kewajiban negara untuk menjamin kesehatan warganya.
Kesadaran tersebut mestinya menjadi pertimbangan penting pemerintah dan DPR sebelum menetapkan pos-pos perampingan. Dia menyayangkan sektor pendidikan dan kesehatan turut menjadi sektor yang anggarannya disunat, tapi beberapa sektor lain yang tidak terlalu esensial justru tak terimbas.
“Ini satu kelemahan Indonesia ya, yakni tidak memiliki dasar pembangunan jangka panjang kesehatan yang dipatuhi sehingga keberlanjutan satu program dan pembangunan ini menjadi menurun. Sehingga, harus dimulai dari nol atau dari awal lagi,” ujar Dicky.
Sementara itu, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, mengaku sudah mengajukan ke DPR dan disetujui besaran efisiensi adalah Rp19,6 triliun. Meski begitu, Budi menyebut realokasi anggaran ini berdampak pada kebutuhan program prioritas pemerintah, yakni skrining kesehatan gratis.
Maka target program yang tadinya menyasar 200 juta orang, kini mesti disesuaikan menjadi 100 juta orang. Tak hanya itu, perampingan anggaran Kemenkes juga disebut akan memengaruhi anggaran pengadaan vaksin dan obat.
Namun, Budi mengklaim bahwa stok obat dan vaksin untuk dua bulan ke depan sudah tersedia. Hal itu setidaknya bisa mengantisipasi dampak pengurangan anggaran obat dan vaksin pada tahun ini.
”Kita akan melihat lagi selama enam bulan, realisasinya di bulan Mei atau Juni, untuk melihat penyerapannya seperti apa. Tapi, yang bisa dipastikan adalah kami, pemerintah, Ibu Menteri Keuangan, Pak Presiden, tidak mungkin mengurangi layanan kesehatan,” kata Budi saat diwawancarai awak media usai menghadiri acara Orientasi Pusat Peserta Didik Program Pendidikan Dokter Spesialis di RSPPU di Jakarta, Kamis (6/2/2025).
Pengurus Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Iqbal Mochtar, memandang bahwa masyarakat sebaiknya tidak buru-buru berburuk sangka terhadap keputusan pemerintah. Menurutnya, di K/L memang terdapat pos-pos belanja yang mestinya ditekan sebab tak penting dan nonesensial.
Hal itu, kata dia, juga terdapat di Kemenkes. Pos belanja nonesensial itu di antaranya kunjungan ke luar kota, upacara seremonial, hingga acara-acara yang tak terlalu penting.
Iqbal memahami bahwa efisiensi anggaran kesehatan akan mendistorsi beberapa program di masyarakat. Itulah sebabnya Menteri Kesehatan dan jajarannya harus mampu memprioritaskan dan mengefisienkan program-program esensial yang dibutuhkan rakyat.
“Kalau ada pengurangan anggaran maka akan ada distorsi program kesehatan. Kita berharap maka dari itu distorsi yang terjadi tidak dalam skala masif dan menyeluruh atau principal yang esensial,” ucap Iqbal kepada wartawan Tirto, Jumat.
Menurutnya, program kesehatan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti pengadaan vaksinasi dan obat-obatan, sebaiknya jangan ditawar-tawar, apalagi dikurangi. Dia setuju ada perampingan anggaran belanja, tapi harus sesuai dengan tujuan Inpres Nomor 1/2025, yakni demi efisiensi.
Inpres tersebut juga tidak bisa disimpulkan bahwa pemerintah saat ini tidak memikirkan sektor kesehatan. Buktinya, kata Iqbal, pemerintahan Prabowo menelurkan program-program yang berfokus pada gizi dan kesehatan, seperti makan bergizi gratis (MBG) dan skrining kesehatan gratis.
“Ini kan jauh berbeda dengan Pemerintah Jokowi sebelumnya, tapi inginnya ini efektif dan efisien sehingga ada pos-pos tertentu yang harus dikurangi,” terang Iqbal.
Diberitakan sebelumnya, Ketua Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Felly Estelita Runtuwene, mengusulkan agar Kemenkes menjalin komunikasi dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk mengurangi nominal efisiensi anggaran agar alokasi dana untuk obat dan vaksin tidak terganggu.
Menurut Felly, pemangkasan anggaran belanja Kemenkes yang terlampau besar terlalu berisiko karena berhubungan dengan pelayanan masyarakat.
Felly menjelaskan bahwa mulanya pagu anggaran Kemenkes adalah Rp105,7 triliun. Sebanyak Rp46 triliun digunakan untuk pembayaran BPJS Kesehatan Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Rp2,5 triliun lainnya untuk membayar BPJS kesehatan peserta bukan penerima upah (PBPU).
Berarti, kata dia, hampir Rp50 triliun telah digunakan untuk BPJS Kesehatan Ini akan semakin berkurang jika efisiensi anggaran Kemenkes terlalu besar.
“Paling tidak dari Rp19 triliun dia kembalikan sekitar Rp10 triliun-lah. Rp10 triliun agar program-program yang menyangkut obat, vaksin, kemudian beasiswa tenaga kesehatan ini tidak terganggu.” kata Felly usai menghadiri acara CISDI di i-Hub Office & Coworking, Kebon Sirih, Jakarta Pusat pada Kamis (6/2/2025).
Atur Skala Prioritas
Associate Professor Public Health dari Monash University Indonesia, Grace Wangge, justru mempertanyakan kenapa efisiensi anggaran Kemenkes tidak dilakukan sejak dulu. Menurutnya, kebijakan efisiensi anggaran bersifat baik bila sesuai dengan tujuannya.
Meski demikian, Grace menekankan bahwa efisiensi anggaran tidak lantas berarti menghapus program-program kesehatan.
Grace mendukung jika efisiensi yang dimaksud misalnya berupa pengurangan anggaran untuk perjalanan dinas. Namun, efisiensi bakal jadi ancaman bagi sistem kesehatan nasional bila ia berarti mengurangi program stok obat dan vaksin, akses pemeriksaan gratis, atau bahkan mengurangi kinerja staf Kemenkes.
“Pemeriksaan kesehatan gratis yang baru akan dilaksanakan pun sudah dipikirkan untuk dikurangi. Padahal, kalau esensinya ingin melacak kesehatan masyarakat, program ini bagus,” ucap Grace kepada wartawan Tirto, Jumat.
Menurut Grace, apabila program skrining kesehatan gratis sepi peminat, itu bukan menjadi pembenaran atas pengurangan target sasaran. Kemenkes justru perlu mempersiapkan anggaran demi evaluasi dan memotivasi orang untuk ikut pemeriksaan kesehatan gratis.
Grace juga mengingatkan bahwa kondisi global saat ini sedang tidak stabil karena Pemerintah Amerika Serikat menghentikan program bantuan internasionalnya. Banyak program kesehatan di Indonesia yang terdampak kebijakan itu lantaran tak punya anggaran yang cukup.
Oleh karena itu, Grace berharap Presiden Prabowo meningkatkan komitmennya untuk sektor kesehatan dan pendidikan agar keduanya tidak sebatas jadi program pendukung.
“Apalagi, ketika MBG sebagai program unggulan ini bisa-bisanya dilepaskan dari program kesehatan. Padahal, besar muatan gizi dan kesehatannya. Dari pemisahan itu saja, sudah tampak ada kesalahan tata kelola yang mendasar, bukan hanya di sektor kesehatan,” ujar Grace.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum II Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Mahesa Paranadipa Maikel, mengatakan bahwa sebelum terbitnya Inpres Nomor 1/2025, anggaran kesehatan sebetulnya masih di atas 5 persen dari total APBN 2025 (sebesar Rp218,5 triliun). Jika mengacu rekomendasi mandatory spending WHO saat UU Kesehatan belum jadi Omnibus Law, angka tersebut masih bisa diterima.
Kata Mahesa, efisiensi anggaran Kemenkes dikhawatirkan bakal memengaruhi program prioritas peningkatan fasyankes, baik FKTP maupun FKTRL, di Indonesia. Jika pengurangan itu berdampak pada program high impact di masyarakat—seperti pengentasan penyakit menular, penyakit katastropik, pengentasan tangkes, hingga target imunisasi dasar, efisiensi ini malah membawa dampak negatif.
Sektor kesehatan harus tetap dipandang sebagai hal fundamental dan hak seluruh rakyat. Kewajiban negara adalah memastikan amanah konstitusi terkait kesehatan nasional dijalankan dengan baik.
Oleh karena itu, komitmen anggaran kesehatan sebaiknya mengacu kepada rekomendasi WHO mengenai mandatory spending sektor kesehatan, yakni minimal 5 persen PDB.
“Pemerintah tinggal memastikan anggaran digunakan tepat sasaran, penyerapannya diawasi secara ketat dari pusat sampai ke daerah, prioritaskan pada program-program yang high impact kepada masyarakat,” ungkap Mahesa kepada wartawan Tirto, Jumat.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi