tirto.id - Program vaksinasi Covid-19 di Papua dan Papua Barat terganjal hoaks dan jejak represif negara. Gagalnya pemerintah menyentuh akar rumput, membuat masyarakat— di daerah yang koneksi internetnya buruk ini—ditimbun beragam informasi palsu, tanpa sempat mengonfirmasinya. Di sisi lain, muncul resistensi karena tindakan represif dan rasis dari negara yang menahun. Ini semua terjadi pada saat kasus Covid-19 memuncak, rumah sakit penuh, dan krisis stok oksigen medis.
Maria, salah satu warga Papua Barat yang termakan hoaks. Dia terjangkit Covid-19 pada November tahun lalu. Dia menderita gejala ringan dan hanya perlu isolasi mandiri. Sudah hampir setengah tahun ia dinyatakan sembuh, namun hingga kini ia menolak vaksin Covid-19.
“Persoalannya, kakak saya sudah divaksin dua kali dan sekarang malah dirawat di rumah sakit karena Covid-19. Padahal, sebelum vaksin dia sehat, enggak seperti saya yang terpapar Covid-19,” terang perempuan 24 tahun itu saat dihubungi reporter Tirto, Sabtu (24/7/2021).
Peristiwa itu diperkuat hoaks yang ia terima: banyak orang yang meninggal tak lama setelah menjalani vaksinasi.
“Banyak info di media juga yang bilang kayak gitu,” ia menambahkan. “Jadi, rasanya, seperti enggak berani dan enggak mau buat vaksin.”
Maria tinggal di Kaimana, Papua Barat. Desas-desus soal orang meninggal setelah disuntik vaksin Covid-19 memang santer di provinsi tersebut. Beberapa hari setelah saya berbincang dengan Maria, tepatnya Rabu (28/7/2021), warga yang tergabung dalam Spontanitas Peduli Suku Besar Arfak memblokir jalan di sejumlah distrik wilayah Kabupaten Manokwari. Mereka menyatakan menolak keras vaksin Covid-19.
Penyebabnya, mereka termakan kabar hoaks yang berbunyi: Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan meninggal dunia setelah disuntik vaksin Covid-19. Bupati Manokwari Hermus Indou mengklarifikasi, kabar itu sepenuhnya palsu.
"Pelaku penyebar hoaks [melalui Facebook] tersebut sudah datang dan memohon maaf dari Bapak Gubernur [Mandacan] pagi tadi di rumah kediaman Gubernur," kata Indou, menenangkan warganya yang protes.
Sedangkan permasalahan lainnya, beredar kabar bohong berupa: vaksin Covid-19 bertujuan memusnahkan etnis Melanesia. Wakil Gubernur Papua Barat Mohamad Lakotani mengakui, seperti dikutip dari Antara, Senin (19/7/2021), ada warganya yang beranggapan begitu. Dia buru-buru membantah informasi palsu itu dan meminta warganya tak termakan hoaks.
Permasalahan serupa juga terjadi di Papua. Faktor yang menyebabkan rendahnya capaian vaksinasi di Papua adalah penyebaran hoaks yang begitu kencang di kalangan masyarakat. Hal itu diungkapkan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Robby Kayame.
Beberapa hoaks yang beredar di Papua yaitu, ada kandungan berbahaya dalam vaksin hingga vaksin menyebabkan kematian. Bahkan ada informasi palsu yang mengatakan Ketua DPRD Mimika Robby K. Omaleng, meninggal akibat vaksin.
“Dan ini juga bisa ditarik ke masalah yang lebih luas lagi: muncul anggapan bahwa Covid-19 bukan masalah Papua,” ujar Kayame.
Capaian vaksinasi di Papua, baik dosis pertama maupun kedua, menurut Robby Kayame, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, tak sampai 20 persen dari total penduduk. Wilayah yang paling rendah tingkat vaksinasinya, Robby menambahkan, kebanyakan berada di pegunungan, mencakup Tolikara, Yakuhimo, sampai Jayawijaya.
Sedangkan di Papua Barat kondisinya tak jauh berbeda. Per 26 Juli, capaian vaksinasi masih di bawah angka 20 persen: 19,6 persen untuk dosis pertama dan 8,1 persen di dosis kedua. Deretan yang tinggi capaian vaksinasinya antara lain Kabupaten Manokwari, Kabupaten Fak-fak, Sorong, serta Kabupaten Raja Ampat. Yang rendah: Kabupaten Maybrat, Kabupaten Tambrauw, dan Kabupaten Pegunungan Arfak.
Berbagai rumah sakit di Papua dan Papua barat kini penuh. Di Papua Barat misalnya yang memiliki sepuluh rumah sakit. Berdasarkan data Siranap per kemarin pukul 23.00, hanya tersisa total empat kasur kosong ruang IGD khusus Covid-19 dari dua rumah sakit. Sebanyak delapan rumah sakit lainnya dalam kondisi penuh. Sedangkan di Papua yang memiliki 13 rumah sakit, hanya tersedia total sembilan kasur kosong ruang IGD khusus Covid-19, dari empat rumah sakit. Sembilan rumah sakit lainnya penuh pasien.
Keadaan semakin diperparah dengan, kini di Papua dan Papua Barat terdapat 22 virus Covid-19 varian Delta. Mutasi yang pertama kali ditemukan di India ini, paling berbahaya.
Ingatan Kolektif Represi & Rasisme yang Berulang
Ada faktor lain yang tidak dapat dipisahkan dari rendahnya capaian vaksinasi di Papua, yang sudah mengakar kuat berpuluh-puluh tahun lamanya: represi aparat dan pembungkaman.
Ini dialami sendiri oleh Nelius. Sejak kecil sampai dewasa ini, ia akrab dengan tindakan represif dan rasisme yang dilakukan negara. Kejadian-kejadian itu membuatnya menyimpan ingatan buruk—dan trauma—terhadap Indonesia. Ini pada akhirnya menggerus kepercayaannya atas kehadiran aparat di sana.
Salah satu ingatan buruk itu termanifestasi melalui peristiwa waktu ia kuliah. Semasa mahasiswa, Nelius kerap berurusan dengan aparat karena aktivisme politiknya. Dia berkali-kali diintimidasi hingga dipukul lantaran dianggap “bermasalah” oleh aparat keamanan pemerintah.
“Waktu saya jadi mahasiswa sering sekali dikejar aparat, bahkan sampai dipukul juga, karena saya dan teman-teman ikut aksi,” terang lelaki 30 tahun asal Jayapura ini kepada reporter Tirto, Minggu (1/8/2021).
Bertahun-tahun setelahnya, ingatan buruk tersebut tidak tergerus karena kekerasan kepada sipil terus berulang di Papua. Satu kasus selesai, muncul satu kasus lainnya. Sehingga mendorong Nelius menaruh curiga dan rasa tak percaya atas kehadiran aparat Indonesia, tak terkecuali soal vaksinasi.
“Saya sementara menolak vaksin karena ada keterlibatan aparat di sana. Jangan-jangan yang dibawa aparat itu bukan vaksin beneran. Jangan-jangan itu obat berbahaya karena selama ini mereka sudah berlaku keras terhadap orang-orang Papua,” jelasnya.
Nelius mengaku tidak sendirian. Banyak dari temannya yang juga menolak vaksin. Mereka punya satu kesamaan: punya ingatan kolektif yang buruk kepada pemerintahan Indonesia.
Ingatan kekerasan dan penderitaan yang dilakukan oleh aktor negara di Papua dan Papua Barat seperti ini, menjadi ingatan kolektif. Peristiwa masa lalu yang menyakitkan secara fisik dan psikis itu diwariskan antar generasi. Ini yang diistilahkan Johann Baptist Metz sebagai: memoria passionis. Salah satu yang rajin mencatat dan mendiskusikan ingatan penderitaan ini ialah Sekretariat Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Fransiskan Papua.
Ketua Sinode Gereja Kingmi Papua Benny Giay menegaskan, ini persoalan serius. Dalam perkembangannya bisa mengganjal program pemerintah menangani pandemi Covid-19.
“Sejak 1980-an, masyarakat Papua selalu main di lapangan yang Indonesia persiapkan,” kata seorang paitua paling dihormati di Papua itu, memberikan analogi situasi sosial-politik Papua. Pada tahun tersebut, Papua Barat belum menjadi provinsi baru.
Ironisnya, lapangan itu penuh dengan kekerasan, pembunuhan, penyiksaan, sampai eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran. Ini lantas membikin masyarakat Papua, mengutip pernyataan Benny, “tidak punya kepercayaan ke Indonesia.”
Ini bukan semata klaim. Laporan Amnesty International Indonesia berjudul “Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati”: Pembunuhan dan Impunitas di Papua (2018, PDF), menyebutkan sepanjang 2010 hingga 2018 ada 95 orang di 65 kasus yang menjadi korban pembunuhan di luar hukum oleh aparat—TNI dan Polri.
Sebagian besar kasus pembunuhan di luar hukum berlangsung di luar konteks non-politik—41 kasus dan 56 korban. Banyak yang terjadi saat aparat keamanan berusaha untuk menangani protes damai, gangguan publik, atau menangkap tersangka.
Yang miris dari kasus pembunuhan itu ialah kecilnya pertanggungjawaban dari instansi terkait. Sekira 25 kasus tidak dapat penyelidikan dan 26 kasus penyelidikannya tidak diumumkan ke publik.
Satu dari sekian kasus yang masuk dalam laporan Amnesty International Indonesia yakni penembakan di Paniai, menewaskan empat orang dan melukai belasan lainnya. Insiden tersebut terjadi kala ratusan orang mendemo markas polisi dan militer setempat sehubungan dengan kasus dugaan pemukulan terhadap 11 remaja Papua oleh anggota militer. Sampai sekarang, kasus pelanggaran HAM ini tak pernah disusut dan diadili secara tuntas.
Jika statistik di atas tak cukup untuk menggambarkan betapa masyarakat Papua hidup dalam belenggu represi, Anda bisa simak kasus-kasus berikut. Pada 2019, konflik antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) dan militer Indonesia meletus di Nduga. Pendekatan militeristik yang diambil Presiden Joko Widodo lalu menghasilkan krisis kemanusiaan berskala besar: puluhan ribu orang dipaksa mengungsi dan ratusan lainnya meregang nyawa.
Ketika konflik di Nduga belum memperlihatkan tanda-tanda selesai, masih di tahun yang sama, rasisme muncul, menyasar mahasiswa-mahasiswa Papua yang tinggal di asrama di Surabaya. Pemicunya Babinsa Koramil 0831/02 Tambaksari, meneriakkan umpatan "Monyet" ke mahasiswa asal Papua. Disusul tindak represif yang dilakukan Polri.
Tindakan pemerintah Indonesia itu, direspons dengan protes besar-besaran di puluhan titik daerah Papua dan Papua Barat. Menurut Adriana Elisabeth, peneliti LIPI yang puluhan tahun mendalami isu Papua, ini akan berdampak terhadap program vaksinasi Covid-19.
“Di Papua, ketika ada isu pasti hampir terkait isu lain, terutama dari aspek politik. Sama ketika ada vaksin, masyarakat curiga apakah itu betulan vaksin atau, yang paling ekstrim, alat untuk memusnahkan mereka,” ujarnya.
“Hal semacam itu,” lanjut Elisabeth, “tidak dapat dipisahkan dari memori kolektif mereka yang selama ini direpresi.”
Keadaannya jadi lebih pelik jika kita berbicara wilayah konflik seperti Nduga atau Wamena, terang Sam Awom, koordinator KontraS Papua. Setiap melihat personel militer yang turut ambil bagian dalam sosialisasi vaksin, masyarakat dirundung ketakutan. Walhasil, banyak dari mereka yang lantas memutuskan tak ingin ambil bagian.
“Mereka menganggap jangan-jangan yang diberi ini bukan vaksin, tapi racun,” katanya.
Sentuh ke Akar, Libatkan Lebih Banyak Sipil
Eben Kirksey, antropolog dari Deakin University sekaligus penulis The Mutant Project: Inside the Global Race to Genetically Modify Humans (2020) yang menaruh perhatian pada isu Papua, mengatakan, untuk menangani Covid-19 di Papua, termasuk upaya percepatan vaksinasi di dalamnya, pemerintah Indonesia mesti apa yang disebutnya “trust building” terlebih dahulu.
“Pemerintah harus melihat situasi ini dalam sejarah. Kalau mereka mau vaksin diterima, maka mereka harus kerja keras supaya dipercaya. Orang-orang Papua sudah lama menderita,” ungkapnya kepada reporter Tirto.
Salah satu yang dapat ditempuh guna membangun kembali kepercayaan masyarakat Papua, sehingga nantinya berpengaruh dalam kerja-kerja penanggulangan pandemi, ialah mengurangi keterlibatan militer. Selain itu, perlu memperbanyak relawan dari kelompok sipil dan gereja—yang punya kedekatan serta keterikatan sosial dengan masyarakat. Menurut Benny Giay, dengan begitu, ketakutan masyarakat Papua bisa diantisipasi.
“Bikin tim independen untuk monitor program vaksinasi. Salah satunya bisa lewat gereja. Sementara pihak-pihak yang dianggap mencurigakan tidak boleh ikut [melakukan] program vaksin,” kata pendeta tersebut.
Vaksin, kata Robby Kayame, punya peran krusial dalam mencegah kematian akibat Covid-19 lebih banyak. Menurut data yang dihimpun Dinas Kesehatan Papua, 70 persen dari mereka yang meninggal belum divaksin.
“Angka kematian bisa bertambah kalau vaksinasi tidak ditingkatkan. Di Jayapura saja, misalnya, ada 10 sampai 15 orang yang meninggal [karena Covid-19] tiap malam,” terang Robby.
Analisis Kayame berdasarkan data tersebut, diperkuat oleh Audryn Karma, dokter yang sekarang bertugas di Yakuhimo. Dia menegaskan, orang yang divaksin itu belum tentu bebas dari Covid-19.
“Tujuannya [vaksin] menekan angka kematian,” kata Karma. “Vaksin itu dikenalkan ke tubuh kita supaya bisa mendeteksi virus ini, bahwa akhirnya ada antibody.”
Namun penjelasan berdasarkan riset yang kuat ini, gagal menyentuh akar rumput masyarakat Papua dan Papua Barat. Adriana Elisabeth mengatakan, hoaks yang santer beredar di Papua dan Papua Barat tak dijernihkan dengan sosialisasi yang kuat.
Sosialisasi yang dilakukan pemerintah, kata Elisabeth, harus lebih detail. Mulai dari risiko sampai keberhasilan dalam penggunaan vaksin.
“Leadership benar-benar diuji dalam situasi seperti ini. Informasi yang dibagi sebetulnya tidak cukup soal berapa rekor yang sembuh atau yang sudah meninggal. Vaksin, contohnya, juga harus ada sosialisasi mengenai seberapa besar kemungkinannya untuk mencegah hal-hal terburuk, seperti kematian, terjadi,” ujar lulusan University of Tasmania ini saat dihubungi reporter Tirto.
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Dieqy Hasbi Widhana